Oleh : Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Syahdan, suatu saat akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Kapan? “Ketika para pendusta dipercaya, sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Penghianat diberi amanat, sementara orang yang amanat dianggap khianat.” Demikian sabda Nabi dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Hurairah.
Nabi juga mengindikasikan pada situasi kehidupan yang anomali itu, akan tampil sosok-sosok yang disebut Ruwaibidhah. Sahabat bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu”? Baginda Rasul menjawab, yakni “Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak.” (HR. Ahmad).
Ketika para elite suatu negeri memiliki perangai Ruwaibidhah, maka sejak itulah kekisruhan berbangsa datang silih berganti. Maka, betapa penting isi hati dan kepala para pemimpin yang berongga luas dan kaya. Luas dan kaya ruhani, wawasan, serta pola tindak yang mengandung serba kebajikan layaknya para pemimpin sejati berbingkai kerisalahan. Bukan para petinggi negeri yang kerdil visi dan ruhani.
Para pendiri bangsa di Republik ini dikenal sebagai sosok-sosok negarawan yang cerdas dan menjunjung tinggi kebajikan. Bung Karno, Hatta, Natsir, Kasimo, Ki Bagus Hadikusumo meski sering berbeda pandangan, mereka saling menaruh percaya. Bahkan, tatkala Soekarno tengah berbenturan keras dengan kalangan Islam di tengah badai politik nasional yang kian memanas, tokoh sentral Indonesia itu masih kukuh menetapkan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Para pemimpin sejati dan negarawan memang memiliki karakter utama, ucapannya dapat dipegang lahir dan batin. Mereka pecinta nilai-nilai kebajikan utama. Sekali mereka berjanji dan mengikrarkan satu hal, mereka menepatinya. Sikapnya kesatria, berani berkorban demi penyelamatan bangsa. Bung Hatta di puncak pengabdiannya lebih memilih uzlah dari kekuasaan yang mulai pongah demi keutuhan negeri.
Nilai kebajikan
Para pemimpin negeri selalu diuji Tuhan atas jabatan dan kekuasaannya. Bahwa jabatan itu mandat, bukan pulung atau anugerah gratis kekuasaan. Mandat itu amanat yang mesti ditunaikan dengan keterpercayaan tinggi. Dalam menunaikan amanat itu para pemimpin bukan sekadar menunaikan tugas-tugas fungsional, lebih-lebih yang bersifat praktis; tetapi tidak kalah pentingnya menegakkan nilai-nilai ideal kehidupan. Bagimana mengurus negeri dengan prinsip-prinsip bernegara yang benar.
Menjadi para pemimpin partai politik pun tak perlu angkuh diri seakan kekuasaannya milik sendiri dan lepas dari pertanggungjawaban publik. Kedudukan politik tersebut merupakan mandat rakyat, bukan warisan dinasti atau pusaka yang berkeramat. Bukan pula sebagai kendaraan kekuasaan belaka, yang boleh dioperasikan dengan semaunya sendiri. Jadikan partai politik dan kekuasaan sebagai wahana sebesar-besarnya untuk mengurus hajat hidup dan kebajikan publik.
Negara dan kekuasaan itu menurut Plato harus melandaskan diri pada kebajikan, sedangkan kebajikan ditopang pengetahuan. Artinya, dalam mengurus negara tidak boleh lepas dari dasar-dasar kebajikan yang kaya ruhani dan persepektif. Mengurus negara bukan sekadar membangun jagad fisik, tetapi juga ruhani bangsa. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, demikian frasa dalam lagu Indonesia Raya. Maka para pemimpin dan pejabat negara harus memiliki idealisasi kebajikan di dalam dirinya dan dalam mengurus negerinya.
Persoalan bangsa biasanya dimulai ketika para pemimpin negeri kehilangan nilai kebajikan yang mesti ditepatinya dalam kata dan laku. Berikrar tidak akan membela yang salah, malah mengerahkan segala daya dan kekuatan untuk menjadikannya bertahta. Suara lirih hingga nyaring tentang pentingnya nilai-nilai utama dalam mengurus kehidupan orang banyak malah tak mengusik hati karena kuatnya rasa digdaya. Mata air kebenaran tak mampu menggugah kesadaran yang membatu.
Karena prinsip kebajikan, maka para pemimpin negeri memiliki sifat futuwah yang memancarkan jiwa kesatriaan atau kenegarawanan. Dia bunuh ego dan kepentingan sempit dirinya demi kemaslahatan yang lebih luas. Dia legawa menerima apapun yang positif jika hal itu untuk kepentingan bangsa dan negara. Sebaliknya, dia lepas apapun yang dapat menjadi benih kerusakan di tubuh bangsa, meski menyangkut orang terdekat. Belajar adil meskipun pahit.
Pemimpin agama pun harus menunjukkan teladan dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan. Para tokoh agama dengan ilmu agamanya yang kental jangan larut dalam pesona kebenaran semu karena tingginya hasrat kuasa, kepentingan, dan pesona inderawi. Melarang orang lain mempermainkan dan mempolitisasi Tuhan, Nabi, dan kitab suci malah diri sendiri melakukan hal sama demi kepentingan sesaat. Sama-sama menjual agama dengan harga termurah, samanan qalila.
Mati kesadaran
Para pemimpin bajik biasanya bertumpu pada kebenaran nurani, selain rasionalitas yang jernih dan cerdas. Nabi mengajarkan agar bertanya pada nurani ketika diri bimbang antara benar dan salah. Hati itu biasanya bening, tak bisa dibohongi. Meski lidah berkata benar dan baik, tetapi hati tak pernah dusta manakala yang terjadi sesungguhnya salah dan buruk. Allah menciptakan hati autentik atau qalbu salim senapas dengan pikiran jernih, yang sama-sama jujur menyuarakan kebenaran dan kebaikan sejati dari Dzat Ilahi.
Namun, biasanya suara hati dan pikiran hati yang jernih sering dikalahkan oleh hawa nafsu yang membara. Nafsu duniawai atau inderawi yang haus akan kedigdayaan ego diri, harta atau materi, dan tahta yang membara melebihi takaran. Pesona duniawi yang satu ini tak kenal agama, suku, ras, dan golongan. Kalangan agama pun bisa terjangkiti, bahkan dengan sumir maupun terbuka dengan menggunakan dalil kitab suci, nabi, dan Tuhan yang boleh jadi jauh lebih “khusyuk” ketimbang orang sekuler karena mengalami “sakralisasi”.
Ulah ugal-ugalan orang “sekuler” maupun “beriman” yang mematikan suara hati yang jernih sama hasilnya, melahirkan kegaduhan hidup bersama. Mereka biasanya muka badak di jalan salah dengan keyakinan tinggi merasa berada paling benar. Bedanya yang satu memakai nalar verbal yang tampak cerdas di permukaan tetapi sesungguhnya mengecoh kebenaran. Satunya lagi berbingkai dalil agama yang kental ditunjang retorika indah dalam alfabeta “kesucian” yang semu dan memetikan kebenaran hakiki. Menjadi pemimpin kaum beriman malah kasar hati dan mengecoh umat.
Dibalut hawa nafsu sesaat, tidak jarang pikiran verbal menyesatkan pikiran dan tindakan jernih yang bersarang di hati. Meras berada dalam bungkai jiwa berpikir merdeka, yang mencuat malahan pilihan kerdil. Bertahan dalam kebenaran absurd, yang mewujud justru keangkuhan diri. Merasa menjadi insan cendekia atau ulama yang jumawa, tetapi ujaran dan hasil tindakannya kerdil menyalahi kebenaran dan kebajikan yang sublim. Mereka gampang berpandangan ekstrem, padahal Tuhan mengingatkan bahwa ciri ulil-albab dan orang yang memperoleh hidayah ialah “yang mendengar setiap pendapat lalu mengikuti mana yang terbaik di antaranya” (QS Az-Zumar: 18).
Nalar verbal berbalut nafsu sesaat seringkali mengicuh. Asal kontroversial dan menyempal dari arus umum disebut maju dan melintasi. Tidak pernah dipersoalkan substansi dan hakikat ujarannya. Sudah tahu salah tetap dijalani dan didukung karena yang ada di pikiran adalah kalkulasi-kalkulasi kegunaan yang sarat kepentingan. Kebenaran hanya dilihat dari luar secara verbal, tak pernah diselami hingga ke lubuk terdalam yang hakiki.
Dunia hanya dicanda dengan nalar syariat yang kering, tanpa masuk ke lubuk hakikat dan makrifat untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi! Karena matahati tertutup hawa nafsu dan nalar verbal yang mengecoh, maka yang tampil adalah sosok-sosok bebal diri yang mati kesadaran ruhaninya. Mereka merasa digdaya atas nama apapun, lalu tebal muka dan tak mau diberi peringatan berbuah kebenaran dan kebaikan yang utama.
Mereka tumpul akal dan ruhaninya dalam membaca tanda-tanda zaman yang diisyaratkan Tuhan. Semua baru tersentak setelah apa yang terjadi sungguh mengejutkan dan di luar perkiraan, bahwa takdir Allah menentukan jalannya sendiri (QS Al-Hadid: 22): bahwa tidak ada suatu kejadian apapun yang menimpamu kecuali atas ketentuan-Nya, dan bagi Allah semuanya mudah!
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Ahad, 23 April 2017 | 12:55 WIB