Oleh : Muhammad Fakhruddin
Anggota Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Pusat
Kejayaan Kesultanan Banten masih bisa kita jumpai jejak-jejak peninggalan sejarahnya di situs Banten Lama, Serang, Banten. Kawasan situs Banten Lama yang memiliki luas sekitar 18,5 kilometer persegi merupakan bekas kota Kesultanan Banten yang sampai saat ini merupakan situs yang terus menarik perhatian, baik dari sisi penelitian, pelestarian, maupun pemanfaatannya.
Sayangnya, beberapa sisa-sisa bangunan yang berada di situs tersebut tinggal puing-puingnya saja. Tidak ada satupun sejarah peningggalan kepurabakalaan Banten yang masih utuh apalagi berfungsi, kecuali Masjid Agung.
Di tempat ini terdapat beberapa bukti peninggalan masa kejayaan Kesultanan Banten di antaranya Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, makam Sultan Maulana Hasanudin, Masjid Agung Banten, Masjid Pecinan, Danau Tasikardi, dan Pelabuhan Karangantu.
Gambar kuno yang melukiskan kota Banten memperlihatkan letak pintu masuk ke pelabuhan di tepi aliran Sungai Cibanten. Kapal-kapal dagang yang besar menggunakan perahu kecil untuk merapat ke pantai, bahkan tidak sedikit perahu dan kapal kecil berlayar hingga masuk ke pedalaman lewat Cibanten.
Guna menunjang berbagai aktivitas untuk memajukan pedagangan, Kesultanan Bantan tak hanya mendirikan sarana berupa bangunan akan tetapi juga menerbitkan mata uang. Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Banten Lama berhasil ditemukan uang logam berbentuk utuh maupun pecahan.
Mata uang tersebut memuat huruf dan kata dalam tulisan Jawa yang berarti “Pangeran Ratu”. Serta ada tulisan dari huruf Arab dan terdapat di salah satu sisi mata uangnya yang berarti “Pangeran Ratu ing Banten”.
Walaupun kedua mata uang tersebut tidak menerangkan angka tahun, namun dari nama yang tertulis dapat dipastikan bahwa mata uang tersebut dibuat dan diedarkan semasa pemerintahan Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten yakni dari tahun 1580-1596.
Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Sayangnya, kejayaan itu kini tinggal kenangan. Peninggalan sejarah seperti Keraton Surosowan mengalami beberapa kali penghacuran. Penghancuran yang pertama kali terjadi pada tahun 1680. Kehancuran kedua, dan ini yang terparah, adalah pada tahun 1813, ketika Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Herman Deadels memerintahkan penghancuran keraton.
Selain bangunan fisiknya yang dihancurkan, data sejarahnya pun dihilangkan. Kanapa? karena Kesultanan Banten terkenal sebagai kerajaan yang paling tidak mengenal kompromi dengan penjajah, apalagi penjajahnya itu adalah orang kafir.
Meskipun sudah mengalami kekalahan dan diambang kehancuran, Kesultanan Banten dan rakyat Banten tetap melakukan perlawan yang dilanjutkan oleh para kiai.
Kendati terbuka dan mau bekerjasama dengan negara dan bangsa manapun, namun dalam hal aqidah, Kesultanan Banten tidak mengenal kompromi. Sehingga Belanda memutuskan untuk meluluhlantakkan Kesultanan Banten, termasuk peninggalan sejarahnya.