Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

TAKLUKNYA FAKTA & KEBENARAN

oleh : Masduki Baidlowi
Ketua MUI Bidang Infokom

Ibarat adu jalan cepat berita yang benar (data dan fakta) itu berjalan tertatih-tatih. Ia hanya bergerak secara linier. Sementara berita bohong (hoax) berjalan sangat cepat, bahkan melompat-lompat secara eksponensial. Apa akibatnya?

Gampang ditebak. Kebenaran atau fakta kalah total. Ia dicampakkan masyarakat. Hoax lah sebagai pemenang: ia dipercaya dan diyakini publik. Singkatnya, kebohongan yang diulang-ulang lewat berbagai media (multi platform) akhirnya akan menjadi keyakinan publik. Itulah gambaran sederhana tentang post truth (pasca kebenaran). Era yang sedang kita alami sekarang.

Ada contoh menarik. Presiden Jokowi suatu saat bercerita bahwa, lebih dari sepuluh juta rakyat Indonesia percaya kalau dirinya adalah PKI. Informasi bahwa Presiden Indonesia asal Solo itu PKI, jelas berita bohong. Tetapi rakyat sangat yakin dan percaya atas berita bohong tersebut.

Keyakinan publik bisa demikian melekat karena berita bohong itu dibuat berulang-ulang menggunakan teknik buzer dengan teknologi cyber army yang amat canggih. Narasi beritanya pun dibuat dengan angle (sudut pandang) serta fokus yang berbeda-beda. Tak lupa, untuk meyakinkan publik biasanya berita bohong itu dibumbui fakta palsu dan argumentasi yang logis.

Post truth berjalan mengikuti derasnya penggunaan media sosial seiring dengan perubahan sistem informasi dari era konvensional ke sistem digital. Bahkan turunan (derivasi) dari post truth ini telah muncul propaganda model baru yang disebut “damkar kebohongan” (firehose of falsehood).

Metode ini semula dipakai Presiden Putin di Rusia saat merebut Semenajung Krimea di Laut Hitam dari Negara Ukraina. Karena berhasil, maka ditiru Donald Trump dalam kampanye di AS untuk merebut kursi Presiden. Kalangan yang Pro-Brexit (setuju Inggris keluar dari Uni-Eropa), juga memakai metode serupa dan berhasil. Begitu pula negara-negara lain seperti kampanye yang memenangkan Presiden Bolsonero di Brazil. Bahkan, metode ini juga dipakai dalam kampanye pemilihan presiden di Indonesia yang terakhir.

Post truth berikut turunannya firehose of falsehood (FoF) berjalan seiring dengan maraknya media sosial yang digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat. Dari total 263 juta penduduk Indonesia saat ini sudah 150 juta lebih pengakses informasi lewat internet. Sebagian besar (90%) pengakses internet itu menggunakan gajet atau smart phone untuk media sosial.

Fakta lain menunjukkan, pengguna medsos sebagian besar adalah generasi X (umur 25-40) dan milenial (umur 18-25) yang biasa disebut sebagai digital native generation (generasi yang cara memperoleh informasi murni lewat sistem digital). Sementara penduduk yang berumur 40 tahun ke atas disebut sebagai generasi baby boomer.

Istilah baby boomer semula dipakai di AS untuk penduduk yang lahir pasca Perang Dunia II atau setelahnya dengan rentang waktu yang tak terlalu jauh. Kelompok ini juga disebut sebagai generasi yang berpindah (migrasi) karena semula mereka memperoleh informasi lewat kertas (koran atau majalah), kemudian berpindah ke cara baru: sistem informasi digital.

Contoh lain post truth adalah Tragedi hancurnya negara Irak di awal 1990-an. Negeri 1000 satu malam di bawah pimpinan Sadam Husein ini dituduh punya senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction). Dalang penuduhnya tak lain adalah AS dan Inggris yang kemudian diikuti negara-negara sekutunya. Semula tak ada satu negara pun yang percaya atas tuduhan tersebut.

Tetapi lama-lama setelah berita itu diulang-ulang dengan berbagai angle dan argumentasi yang logis, publik banyak yang percaya. Tekniknya pihak AS, antara lain, membeberkan foto-foto muntase korban perang Iran-Irak serta korban Suku Kurdi yang ingin merdeka dari Irak di berbagai media internasional.

Akibat psikologisnya, pemerintah dan rakyat di negara-negara Teluk saat itu ketakutan lantaran percaya bahwa Irak punya senjata yang secara aturan internasional memang dilarang. Saat itulah Irak lantas dihabisi oleh Tentara Sekutu pimpinan AS (Presiden George Bush) dan Inggris (Perdana Menteri Tony Blair).

Irak luluh-lantak. Harta kekayaan dan berbagai artefak sejarah kebesaran masa lalu yang tak ternilai harganya itu dijarah AS dan Inggris. Begitu pula pundi-pundi ghonimah dari kekayaan minyak yang berada di perut bumi negeri Babilonia (saat itu Irak adalah tiga besar pengekspor minyak dan gas dunia setelah Arab Saudi dan Iran) ini mengalir deras ke AS dan Inggris.

Akibat lanjutannya: rakyat Irak kini terlunta-lunta didera kemiskinan. Mereka mau mengungsi ke Eropa (termasuk ke Inggris) atau ke AS ditolak mentah-mentah. Pertanyaannya: di mana senjata pemusnah massal yang jadi tuduhan serta alasan untuk menyerang Irak itu. Adakah ia? Tidak pernah ada. Tetapi begitulah, era post truth telah dimulai dan digunakan secara zalim oleh AS dan sekutunya dengan sangat efektif.

Sukses di Irak, dengan teknik dan metode yang hampir serupa, AS dan sekutunya berpindah menyerang Libya, negara kaya minyak lainnya di Timur Tengah. Tak butuh waktu lama, negeri yang dipimpin Kolonel Muammar Kadhafi itu runtuh tinggal puing-puing. Bahkan sang kolonel Khadafi pun akhirnya mati mengenaskan.

Ada keuntungan ganda di balik petualangan politik dan militer AS dan sekutunya ini. Pertama, secara ekonomi AS dan sekutunya memperoleh ghonimah yang luar biasa, berupa kontrol terhadap produksi minyak dunia serta penguasaan jaringan bisnis minyak tingkat dunia. Semuanya makin dalam genggaman AS.

Kedua, secara politik negara Israel sebagai sekutu AS sangat diuntungkan: ia kehilangan musuh-musuh utamanya tanpa Israel ikut berperang. Irak dan Libya termasuk dua dari empat negara (Irak, Iran, Suriah dan Libya) yang dimusuhi Israel.

Itulah sebabnya, petualangan AS berikutnya hendak menaklukkan Suriah dan Iran. Namun terhadap dua negera yang disebut terakhir, AS mendapat ganjalan serius. Iran dan Suriah meladeninya dengan amat cerdik.

Dengan narasi dua contoh di atas, nampak jelas, betapa bahaya Era post truth berikut turunannya metode FoF tersebut. Bahaya karena, untuk membangun keyakinan publik tak dibutuhkan lagi fakta dan kebenaran. Kepercayaan publik cukup dibangun di atas kebohongan.

Nah, era post truth dan FoF itu, kini sedang melanda negeri ini. Hati-hatilah, karena yang dimainkan di antaranya isu agama, suku dan kesenjangan ekonomi. Akibatnya, sendi-sendi kebangsaan yang sudah lama kita bangun retak berlahan-lahan.

Masduki Baidlowi
Ketua MUI Bidang Infokom
Exit mobile version