Oleh : Arif Fahrudin (Anggota Satgas Covid 19 MUI / Sekretaris LPBKI-MUI)
Penulis lebih nyaman memosisikan upaya keluar dari pandemi wabah Korona dengan pilihan redaksi penanggulangan, penanganan, atau penyelesaian. Bukan dengan redaksi melawan, mengatasi, memerangi, atau menolak. Alasan ini berdasarkan cara pandang penulis terhadap virus Korona itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di dunia ini kecuali atas izin Allah Swt.
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ
وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِى ظُلُمَٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (QS.Al-An’am: 59).
Selain sebagai takdir Allah Swt, dihadirkannya Korona oleh Allah Swt ke muka bumi sejatinya lebih tepat diposisikan sebagai ujian (bala’) daripada memandangnya sebagai hukuman atau azab bagi manusia. Bala’ adalah bagian dari musibah yang terjadi karena kecerobohan manusia sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt,
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Dengan demikian, Korona sejatinya adalah juga makhluk ciptaan Allah Swt yang dihadirkan oleh Allah Swt ke muka bumi untuk menguji manusia sekaligus mengoreksi tata kelola lingkungan dan kebudayaan yang dikembangkan manusia di muka bumi ini.
Maka menarasikan ikhtiar solusi terhadap pandemi wabah Korona dengan penggunaan diksi penanggulangan, penanganan, atau penyelesaian terasa lebih tepat karena memosisikan kita dengan Korona secara setara (equal) – kausalistik – kontemplatif sebagai sesama makhluk ciptaan Allah Swt. Itu adalah bagian mengimplementasikan sifat keadilan Allah Swt atas seluruh makhluk-Nya. Bagaimanapun juga, Korona juga makhluk ciptaan Allah Swt. Korona tidak boleh dipandang sebagai hina dan bahaya. Sejatinya yang bahaya adalah perilaku manusia sendiri yang tidak mau “melek” dan bahkan abai terhadap norma-norma dan etika menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yang mengakibatkan virus Korona mendapatkan jalan untuk berkembang dan mewabah melemahkan orang-orang yang sistem imunitasnya lemah. Inilah yang dimaksudkan oleh ayat Al-Qur’an berikut:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah pun.” (QS. An-Nisa’: 40).
Dalam sebuah hadis disebutkan,
لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ
“Jika seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak berbuat zalim dengan menyiksa mereka” [HR, Abu Dawud].
Allah Swt telah mengharamkan perbuatan zalim meskipun terhadap diri-Nya dan melarangnya dengan keras semua pihak berbuat zalim. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nashaihul ‘Ibad mengutip sebuah hadis Qudsi menyebutkan,
يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمَاً فَلا تَظَالَمُوْا
“Wahai hamba-Ku (Allah Swt), sesungguhnya Aku (Allah Swt) mengharamkan (berlaku) zalim atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antaramu. Maka janganlah kalian saling menzalimi [HR, Muslim 2577].
Maka, penanggulangan Korona mengandung makna agar seluruh pihak melakukan upaya-upaya preventif agar virus Korona tidak menjangkiti manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt,
وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Penanganan Korona bermakna agar aspek humanis hendaknya tetap dikedepankan dalam pengambilan kebijakan pemutusan rantai persebaran Korona. Hendaknya melihat pasien Covid 19 tidaklah dengan cara pandang yang jijik, rendah, dan penuh acuh. Pasien Covid 19 juga manusia, sosok yang lebih mulia dari segala makhluk Allah yang diciptakan di dunia. Apalagi sampai menolak pemakaman jenazah pasien Covid 19. Maka, sayangilah pasien Covid 19 dan semua pihak yang terdampak secara ekonomi dan sosial dengan sepenuh empati. Membantu mereka agar tetap semangat menuju kesembuhan dan tetap survive. Yang berharta mendonasikan harta yang dimilikinya dalam bentuk uang, bahan makanan, dan alat-alat kesehatan.
Terlebih lagi terhadap kebijakan pemerintah.
Penanganan Korona meniscayakan kesigapan tenaga medis meliputi dokter, tenaga kesehatan, rumah sakit, relawan, dan ketersediaan obat-obatan secara cukup. Agar pasien Covid 19 secara cepat dan sigap tertangani dengan baik dan profesional.
Pemerintah wajib memastikan terselenggaranya jaring pengaman sosial bagi rakyatnya yang terdampak secara ekonomi berupa hilangnya penghasilan akibat kebijakan yang diambil pemerintah dalam pembatasan sosial atau isolasi parsial.
Al-Qur’an surah Al-Quraisy dengan sangat jelas menggambarkan kewajiban bagi pemerintah terhadap rakyatnya ke dalam tiga hal. Yaitu, jaminan kebebasan beribadah (freedom of worship), jaminan ketersediaan material kesejahteraan (prosperity right), dan jaminan keterbebasan rakyat dari rasa takut dan cemas (security right).
Penyelesaian Korona bermakna agar semua pihak harus melaksanakan ikhtiar secara optimal, maksimal, dan komprehensif agar Korona tidak mudah kembali lagi menjangkiti manusia. Ada dua komponen utama dalam upaya penyelesaian wabah Korona, yaitu model intervensi negara dan disiplin warga. Negara harus akurat dan terukur dalam melakukan intervensi kebijakan penyelesaian wabah Korona. Harus sesuai dan seimbang antara kualitas virus, model intervensinya, dan multikonsekwensi yang ditimbulkannya. Pengambilan kebijakan isolasi parsial, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga karantina wilayah (lockdown) semuanya hendaknya memiliki landasan konstitusi yang kuat dan landasan kemanusiaan yang tepat.
Apa yang dijalankan rakyat Indonesia berupa bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah adalah bentuk pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah. Pemerintah hanya mendorong kesadaran masyarakat untuk mandiri menjalankan protokol kesehatan tanpa harus ditakut-takuti oleh kekuasaan negara.
Hal ini mengambil spirit pesan Al-Qur’an,
… إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ…
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Aspek kontemplatif (muhasabah) di masa wabah Korona ini meniscayakan agar seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam di dalamnya merenungi diri, mengevaluasi, dan bersedia mengoreksi diri atas segala alpa dan kesalahan yang telah dilakukannya sehingga mengakibatkan bala’ Korona diturunkan di bumi Indonesia ini.
Wabah Korona menunjukkan bahwa tiada kekuatan dan kecanggihan kecuali milik Allah Swt. Allah Swt yang menurunkan Korona, maka sejatinya hanya Allah Swt juga yang mampu mencabutnya kembali. Manusia hanya diberi izin oleh-Nya untuk berikhtiar menemukan obat dan vaksin anti Covid 19 yang hingga saat ini belum ada satu pihak atau negara di dunia yang mampu menemukan atau membuatnya.
Oleh karenanya, selain ikhtiar yang bersifat sains dan teknologi kesehatan, maka seluruh komponen bangsa baik negara maupun rakyat khususnya umat Islam mutlak memohon ampunan (istighfar) dan mendekatkan diri pasrah (muraqabah) kepada Allah Swt. Ini adalah cerminan dan implementasi Sila Pertama Pancasila bahwa sistem keyakinan dan keberagamaan bangsa Indonesia adalah berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Taubat Nasional harus digencarkan dengan cara menyesali perbuatan salah yang sudah dilakukan, memperbanyak istighfar dan berjanji kepada Allah untuk tidak mengulangi segala bentuk dosa baik yang dilakukan oleh personal maupun negara. Allah berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
” … Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung “. (QS. An Nur: 31).