Bagaimana gaya hidup halal di tengah pandemi? Apakah bisa menjadi alasan untuk meninggalkan gaya hidup halal? Dalam acara webinar “Talks About Halal” beberapa waktu lalu, Nadia Lutfi Masduki, S.Psi., M.Si. selaku Promotion and Education Manager LPPOM MUI, menyoroti tiga hal terkait dengan halal dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Pertama, halal merupakan kewajiban. Hal ini telah tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 168. “Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Menurut Nadia, masa pandemi bukan menjadi alasan untuk tidak mengonsumsi produk halal. Hal ini dikarenakan saat ini masih banyak alternatif makanan dan minuman bersertifikat halal MUI yang tersedia di pasaran.
“Apakah pandemi saat ini dapat dikatakan sebagai kondisi darurat? Batasan suatu kondisi dikatakan darurat atau tidak, yakni ketika kondisi tersebut sudah mengancam nyawa. Apabila masih ada pilihan, maka pilihlah yang halal,” terang Nadia.
Kedua, halal sebagai gaya hidup. Artinya, semua hal yang dikonsumsi, baik itu dimakan atau dipakai, harus masuk dalam koridor halal. Begitu pula dengan cara mendapatkan dan adab ketika mengkonsumsinya.
Ketiga, halal sebagai gerakan kebaikan. Halal itu bebas atau tidak terikat dari segala sesuatu yang diharamkan. Hukum halal dan haram terbagi menjadi dua, yakni perbuatan dan benda atau zatnya.
Kategori perbuatan terikat pada hukum syariah, seperti wajib, sunnah, atau makruh. Sedekah, misalnya. Sementara kategori benda hukum asalnya boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan. LPPOM MUI bertindak di kategori benda.
“LPPOM MUI mengaudit produk-produk. Jangan sampai, bahan yang haram tercampur dalam sebuah produk. Sebenarnya yang diharamkan hanya sedikit, namun seiring dengan kemajuan teknologi saat ini ternyata bisa masuk ke produk yang dikonsumsi oleh kita,” jelas Nadia.
Babi, misalnya. Seluruh bagian tubuh babi bisa dimanfaatkan menjadi beragam produk. Kulit babi bisa diolah menjadi dompet atau sepatu. Kemudian kulit kepalanya bisa diolah menjadi gelatin, yang kemudian bisa masuk ke makanan dan minuman, juga obat-obatan.
Kini, masyarakat Indonesia tak perlu khawatir lagi. Banyak produk di Indonesia sudah bersertifikat halal MUI. Artinya, dari segi halal dan thayyib sudah terjamin. Hal ini bisa menjadi pilihan masyarakat Indonesia. (YN)