Apakah sebenarnya Makna Jihad?

Jihad dapat dimaknai sebagai “qital” atau “perang”, jihad juga dapat dimaknai untuk seluruh perbuatan yang memperjuangkan kebaikan.

Jihad dilakukan sesuai dengan keadaannya. Jika keadaannya menuntut seorang muslim berperang karena kaum muslim mendapat serangan musuh, maka jhad seperti itu wajib.

Namun jika dalam keadaan damai, maka medan jihad sangat luas, yaitu pada semua usaha untuk mewujudkan kebaikan seperti dakwah, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain.

Sangat tidak tepat, selalu memaknai jihad dengan “qital” atau “perang”, apalagi menggelorakan jihad dalam makna ini dalam keadaan damai.

Penjelasan

Jihad merupakan kata serapan dari bahasa Arab, memiliki arti “mengerahkan segenap potensi diri untuk melakukan sesuatu”. Kata ini dengan berbagai derivasinya, disebut sebanyak 41 kali dalam Al Quran yang semuanya berkonotasi peperangan. Tidak hanya mengenai “peperangan”, istilah jihad juga diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai sebuah upaya pengendalian diri dari hawa nafsu. Al Quran dan hadits lebih sering menyebut peperangan dengan Al-Qitaal, al Harb, al Ma’rakah, dan al-Sariyah.

Dalam Al-Quran dan Hadits banyak terdapat keterangan tentang keutamaan berjihad, etika berjihad, tujuan dan strategi berjihad.

Ayat-ayat tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

  1. Ayat-ayat yang mengandung perintah hanya memerangi pihak yang menyerang umat Islam saja. Misalnya QS Al Baqarah ayat 190, 191, dan 194, juga QS An Nahl ayat 126.
  2. Ayat-ayat yang mengandung perintah memerangi mereka yang tidak beriman ketika mereka ingkar janji ataupun zhalim. Misalnya QS At Taubah ayat 12, 14, 29, dan 73, QS Annisaa ayat 75, 76, dan 84, QS Al Anfaal ayat 39, dan Al Maaidah ayat 54.
  3. Ayat-ayat yang mengandung perintah untuk memerangi semua kaum musyrikin yang memusuhi Rasulullah. Misalnya QS At Taubah ayat 5 dan 36.

Muhammad Sa’id al-Asymawi, mantan ketua Pengadilan Tinggi Kairo, menyoroti ayat-ayat jihad dalam kajian sejarah. Ayat-ayat jihad jelas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat saat itu. Pada periode Mekkah, ayat-ayat yang turun tentang jihad lebih memiliki makna spiritual daripada makna fisik. Jihad yang secara prinsip lebih bermakna bersungguh-sungguh dan berjuang, berarti tetap menjaga iman, bersabar, dan menahan diri dari cercaan dan hinaan kaum musyrikin Mekkah. QS An Nahl ayat 126 misalnya memberikan makna sabar sebagai pilihan solusi yang lebih baik daripada membalas serangan kaum musyrikin.

Quraish Shihab, seorang ahli tafsir Al-Quran mengulas secara gamblang soal makna jihad dalam bukunya “Wawasan Al-Quran”. Menurutnya, Islam datang membawa  nilai-nilai  kebaikan  dan  menganjurkan manusia  agar  menghiasi  diri  dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga  mengalahkan  kebatilan. Atau  seperti  bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya.  Tapi  hal  itu  tak dapat    terlaksana   dengan   sendirinya,   kecuali   melalui perjuangan.  Bumi   adalah   gelanggang   perjuangan   (jihad) menghadapi   musuh.  Karena  itu,  al-jihad  madhin  ila  yaumal-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat).

Istilah Al-Quran  untuk  menunjukkan  perjuangan  adalah  kata jihad.  Hanya saja,  istilah  ini  sering  disalahpahami  atau dipersempit artinya, sehingga memiliki efek yang serius atas sikap dan perilaku sebagian masyarakat muslim.

Dikutib dari ulasan Quraish Shihab, kata “jihad” terulang dalam Al-Quran sebanyak 41 (empat  puluh  satu) kali  dengan berbagai bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, “Semua kata yang terdiri   dari  huruf  j-h-d,  pada  awalnya  mengandung  arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.”

Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar”. Jihad  memang  sulit  dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari  akar  kata “juhd” yang berarti  “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus  dilakukan  sebesar  kemampuan.  Dari  kata  yang   sama tersusun  ucapan  “jahida  bir-rajul”  yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian”. Terlihat bahwa kata ini  mengandung makna  ujian  dan  cobaan,  hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.

Makna-makna   kebahasaan   dan   maksudnya   di   atas   dapat dikonfirmasikan  dengan  beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad. Firman Allah  berikut  ini  menunjukkan  betapa jihad merupakan ujian dan cobaan: Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS AliImran (3): 142).

Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah  untuk  menguji  manusia. Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan  kesabaran  sebagai  isyarat  bahwa  jihad  adalah sesuatu  yang  sulit,  memerlukan  kesabaran  serta ketabahan. Kesulitan  ujian  atau  cobaan  yang  menuntut  kesabaran  itu dijelaskan  rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 214:

Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”, ingatlah pertolongan Allah amat dekat. (QS Al-Baqarah (2): 214).

Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamudengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar” (QS Al-Baqarah (2):155).

Jihad juga mengandung  arti  “kemampuan”  yang  menuntut  sang mujahid   mengeluarkan   segala  daya  dan  kemampuannya  demi mencapai tujuan. Karena  itu  jihad  adalah  pengorbanan,  dan dengan  demikian  sang  mujahid  tidak menuntut atau mengambil tetapi memberi semua yang  dimilikinya.  Ketika  memberi,  dia tidak   berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis.

Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan  tidak dapat dipersamakan dengan aktivitas lain sekalipun aktivitas keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai dengan  jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu  yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama.

Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau restu untuk  melakukannya. Ini berbeda dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut: Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad Saw.) untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS: Al-Taubah (9): 44). Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah … (QS Al-Tawbah (9): 81).

Akan tetapi yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi keuntungan  duniawi.  Berulang-ulang Al-Quran menegaskan redaksi fi-sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quransurat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan: Berjihad di (jalan) Allah dengan jihad sebenar-benarnya.

Kesimpulannya, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan yang baik. Jihad tidak  mengenal  putus  asa,  menyerah,  kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat  dilaksanakan  tanpa  modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut  untuk mengorbankan harta dan jiwanya. Karena  jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi Allah. Apalagi jihad bertujuan untuk mengambil harta rampasan perang. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya;  karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya mewujudkan jati diri yang bermula  dari kesadaran. Kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan. Karena  itu mujahid  bersedia  berkorban,  dan  tak   mungkin menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia