JAKARTA— Maraknya media abal-abal belakangan ini menuntut verifikasi ketat bagi pelaku media. Perlindungan terhadap pers dengan registrasi di Dewan Pers menjadi mutlak diperlukan. Di sisi lain umat Islam dituntut cerdas menyeleksi informasi yang muncul di tengah banjirnya informasi.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Dewan Pers, Prof Muhammad Nuh, dalam Program ‘Ngopi’ (Ngobrol Pintar) di MUI yang ditayangan TV-MUI pada Rabu (1/7)pukul 19.00 lalu.
Dalam program yang dipandu Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Chalil Nafis itu, Prof Nuh mengajak insan pers mendaftar lembaganya di Dewan Pers.
Menurut dia, jika ada media, tetapi dia tidak terdaftar, tidak tervirifikasi di Dewan Pers, yang pertama in case dia melakukan kesalahan, maka penyelesaiannya tidak menggunakan undang-undang pers, tapi penyelesaiannya menggunakan UU KUHP, di situlah bisa dikriminalkan.
“Di sinilah pentingnya saya mengajak kawan-kawan semua mendaftarkan di Dewan Pers supaya resmi dan kalau ada apa-apa itu bisa diselesaikan tanpa harus melakukan atau didekati dengan hukum yang kriminal itu,” imbuhnya.
Dengan mendaftarkan di pers seperti ini, kata dia, selain melindungi jurnalis, juga melindungi kondisi media di Indonesia. Selama ini dunia media sosial, terutama dalam masa-masa pesta politik, ramai disusupi berita provokatif yang kerap mengandung hoax. Untuk memutus rantai berita meresahkan seperti itu, maka harus diperbanyak media yang terverifikasi Dewan Pers.
Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini menyampaikan, meskipun begitu, terdaftar Dewan Pers bukan satu-satunya cara melawan hoax di medsos. Menurut dia, kata kunci menyehatkan kondisi media sekarang bukan pada sumbernya saja yang itu menjadi tanggung jawab Dewan Pers, namun juga dari sisi penerimanya.
“Tetap para jurnalisnya diberikan etika, integritas, kompetensi, ini saja tidak cukup. Kadang pembaca meminta yang aneh-aneh juga. Kalau berita benar, itu biasa. Sementara kalau itu isu, sangat tertarik,” katanya.
Dia menggambarkan, interaksi antara berita yang tidak baik dan penerimanya itu seperti bisikan setan dan seorang Muslim. Seorang Muslim yang sudah memiliki daya iman kokoh, tentu tidak akan mudah tergoda oleh bisikan-bisakan seperti itu. Jadi ini make sense dalam kerangka berpikir keagamaan. Setan itu selalu ada. Jadi kalau mau orang itu menjadi baik, bukan berarti setannya yang tidak ada.
“Ujungnya pertanggung jawaban itu kepada pribadi, tidak bisa diserahkan kepada komunitas, harus terus orang dicerdaskan, sehingga tidak mungkin kontrol dilakukan oleh suatu lembaga semata karena modelnya sudah many to many sehingga akhirnya kembali ke pribadi sampai ada self cencoring,” katanya.
Meski terkesan tidak ada jalan kecuali mencerdaskan masing-masing pembaca, namun dia memberikan secercah harapan. Saat ini, kata dia, muncul model jurnalisme baru yang digemari masyarakat yaitu good journalism right information. Kemunculan jurnalisme model ini karena pembaca sudah bosan dengan obesitas informasi yang tidak penting.
“Sekarang itu sedang euforia, orang sedang bergembira ria, karena yang namanya informasi sudah mengalami obesitas, sudah banjir, maka sekarang baru fase berikutnya lagi, pembaca merasa tidak perlu kebanjiran informasi, tetapi yang ingin didapatkan adalah selected information yang sehat dan menyehatkan, aliran ini sudah mulai membesar, sekarang sedang naik menuju ke situ,” katanya. (Azhar/Nashih)