JAKARTA— Di deretan negara-negara Timur Tengah, Lebanon konon masuk kategori negara paling damai. Beirut, Kota yang pada Selasa (5/8) sedang terkena musibah ledakan itu menyimpan kedamaian yang mungkin mustahil terlihat di negara lain. Toleransi di Lebanon tidak hanya di level agama, bahkan di level sekte.
Hal itu disampaikan Dubes Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Lebanon Hajriyanto Y Thohari dalam program Ngobrol Pintar (NGOPI) di TV MUI yang dipandu Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangam Masyarakat MUI KH Cholil Nafis, Rabu (5/8) malam.
“Saya pernah melihat dengan mata kepala ketika sebuah demonstrasi berlangsung pada Jumat di Beirut, maka yang Muslim Sunni itu menjalankan shalat Jumat di jalan, di antara saf-saf shalat tersebut, peserta protes dari Kristen Maronit atau Ortodoks itu berdiri dengan membaca kitab sucinya,” katanya.
Bahkan, menurut Dubes Hajriyanto, masjid terbesar di Beirut yaitu Masjid Al Amin, berbagi dinding dengan Gereja Katedral St George di Kota Beirut yang nyaris sama besarnya, sama megahnya, dan sama indahnya dua bangunan itu. “Dan dua-duanya itu sering menjadi ikon ketika orang mengambil gambar tentang Beirut,” imbuhnya.
Hajriyanto mengatakan, kondisi semacam itu tidak lepas dari komitmen elite politik Lebanon. Setelah melalui perang saudara yang begitu panjang sejak 1970-1990, elite politik di Lebanon menyepakati kata damai melaui perjanjian Thaif. Uniknya, sesuai artinya, isi perjanjian Thaif ini kesepakatan pembagian kekuasaan berdasarkan 18 sekte yang ada di Lebanon.
Isi pejanjian seperti itu, menurut Dubes Hajriyanto, sebetulnya sudah ada sejak Lebanon merdeka dari Perancis pada 1943, posisi Perjanjian Thaif menguatkan kesepakatan sebelumnya dan disepakati sampai hari ini.
“Berdasarkan kesepakatan tersebut, Kristen Maronit itu jatahnya menjadi presiden, Muslim Sunni itu menjadi perdana menteri/pemimpin kabinet, kemudian Syiah mendapatkan jabatan sebagai ketua parlemen, kemudian Sekte Druze mendapatkan jabatan kepala staf angkatan bersenjata Lebanon (LAF) dan terus dielaborasi sampai ke bawah,” katanya.
Dia menjelaskan, pembagian kekuasan itu bukan hanya di pucuk, misalnya anggota parlemen itu ada 122, melainkan dibagi Muslim separuh, Kristen separuh, separuh di Kristen dibagi lagi berdasarkan sekte-sekte, ada Maronit, Ortodoks, ada Protestan dan sebagainya. Sementara yang Muslim yang separuh tadi dibagi lagi menjadi Sunni, Syiah, Druze yang dihitung sebagai porsinya Muslim.
Dia menambahkan, kesepakatan seperti itu tetap dipegang teguh karena elite politik sadar akan pentingnya menjaga itu. Sebab kesepakatan itu ada di level elite, maka mereka langsung mensosialisikannya kepada internal (sekte) masing-masing.
Selain kesadaran elite, ujar dia, masyarakat bawah juga sadar pentingnya perjanjian ini. Setiap kali muncul riak gejolak, mereka langsung teringat pahitnya perang saudara dan itu membuat perdamaian antarsekte di sana terjaga kembali.
“Kalau ditanyakan kepada golongan tua, yang mengalami konflik parah ’70-an sampai ‘80-an itu ya satu-satunya solusi adalah menaati Perjanjian Thaif tersebut dan itulah yang menjamin kerukunan dan perdamaian serta kerjasama, sekali ada tanda-tanda kesepakatan dilanggar satu pihak, maka itu akan menimbulkan benih-benih perpecahan,” katanya. (Azhar/ Nashih)