MAKASSAR— Sekretaris Umum MUI Sulawesi Selatan, Prof Muhammad Galib, mengapresiasi Tafsir Al-Azhar karangan Prof Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Tafsir ini dinilai banyak mempunya keistimewaan dalam konteks keindonesiaan.
Prof Galib menjelaskan Tafsir Al-Azhar lebih mudah dipahami dan mengena karena menggunakan bahasa sastrawan. Selain dikenal sebagai ulama, memang Buya Hamka menelurkan karya sastra monumental berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
“Tafsir Buya Hamka mempunyai karakteristik tersendiri, lebih mudah dipahami, lebih mengena karena disampaikan menggunakan bahasa dalam kapasitas beliau sebagai sastrawan,” ujarnya saat mengisi Webinar Nasional MUI Sulsel berjudul Dakwah Bil Hikmah Dalam Goresan Qalam Buya Hamka, Ahad (27/09) secara virtual.
Menurut dia, Tafsir Buya Hamka ini menarik karena lebih sosiologis dan komprehensif. Tafsir ini berbeda dengan Tafsir Al-Misbah yang coraknya lebih akademis dengan kajian-kajian kebahasaan yang mendalam. Dari sisi sosiologis, Tafsir Buya Hamka memiliki kelebihan.
“Khususnya dalam Tafsir Al-Azhar, saya kira dia satu-satunya kitab yang terlengkap sebelum lahirnya Tafsir Al-Misbah, kalau dimulai misalnya dari Tarjuman Al-Mustafid yang disusun Syekh Abdur Rauf Sinkili dari Aceh, teman seperjuangan Syekh Yusuf al-Makassari,” ujarnya.
Menurutnya, keistimewaan Tafsir Al-Azhar itu tidak bisa dilepaskan dari sosok penulisnya yaitu Buya Hamka sendiri. Selain ahli tafsir, Buya Hamka juga sastrawan yang melahirkan roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Selain itu, Buya Hamka masih pula menulis buku berjudul Tasawuf Modern yang terkenal karena beliau juga mendalami tasawuf.
Karena itu, Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Alaudin Makassar ini mengatakan, Buya Hamka adalah seorang ulama atau mubaligh yang bukan hanya tajam lidahnya, melainkan juga penannya.
Sebagai mubaligh Buya Hamka terkenal di banyak tempat, terlibat aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan, sementara dari tangannya lahir karya emas. Dua kemampuan yang seimbang antara tulisan dan lisan ini tidak banyak dimiliki mubaligh Indonesia, bahkan sampai sekarang.
“Saya kira hampir tidak ada ulama yang menyaingiketajaman lidah dan ketajaman mata pena yang menyatu pada beliau. Tetapi pada saat yang sama beliau juga adalah sufi dan beliau memang punya buku tasawuf modern,” katanya.
Tafsir Buya Hamka itu, ujar Prof Galib, mirip dengan penyusunan Tafsir al-Manaar yang ditulis Syekh Muhammad Abduh dan dilanjutkan Muhammad Rasyid Ridha. Pada awalnya pengajian tafsir dilaksanakan di Masjid, lalu dicatat dan diedit untuk dimasukkan ke majalah agama Islam.
“Jadi memang tafsir ini awalnya disampaikan di masjid, jadi semangatnya semangat masjid, semangat sujud kepada Allah SWT,” ujarnya.
Prof Galib menambahkan, terkait Tafsir Buya Hamka ini ada kisah unik tersendiri. Sejak memulai tafsirnya di surat Al-Kahfi, karena kesibukannya, Tafsir Buya Hamka belum selesai sampai 1964. Tafsir Buya Hamka justru rampung saat beliau dipenjarakan Presiden Sukarno.
“Mulai 27 Januari 1964 sampai 21 Juli 1967, dua tahun enam bulan di penjara, Buya Hamka memanfaatkan wakti dengan sangat maksimal, efektif, dan baik, tinggal di dalam penjara. Suasana spiritual selalu berinteraksi dengan Alquran, kemudian dia menulis, jadi dia menulis dan selesai ketika dia keluar dari penjara,” katanya.
Sekeluarnya dari penjara, Buya Hamka tetap menjalankan dakwah bil hikmah dengan sangat bijak. Bahkan kepada sosok yang memenjarakannya, Buya Hamka seperti tidak menaruh dendam. Itu terbukti dari kehadiran Buya Hamka memimpin shalat jenazah Bung Karno.
“Ketika Bung Karno meninggal, beliau pula yang menshalatkannya, karena satu hal mungkin kalau tidak dipenjara, belum tentu Tafsir Al-Azhar 30 Juz lengkap bisa diselesaikan,” ujar Sekum MUI Sulsel tiga periode ini. (Azhar/ Nashih)