Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Ketua MUI Bidang Fatwa Maudhuiyah, KH. Afifuddin Muhajir, Terima Doktor Honoris Causa dari UIN Semarang

JAKARTA — Ketua MUI Bidang Fatwa Maudhuiyah dan Metodologi menerima Doktor Honoris Causa (Kehormatan) Bidang Ushul Fiqih dari UIN Walisongo Semarang. Penganugerahan tersebut dilaksanakan Rabu (20/01) pagi di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah.

Semula, penyelenggaraan ini dilaksanakan pada Rabu, 16 Desember 2020 lalu namun karena berbagai pertimbangan, akhirnya dilaksanakan hari ini. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Said Agil Husein Al Munawwar bertindak sebagai promotor sedangkan Rektor UIN Semarang Imam Taufiq bertindak sebagai Co-Promotor.

Rektor UIN Semarang, Imam Taufiq, menyampaikan bahwa penganugerahan gelar doktor honoris causa (kehormatan) dilakukan dengan pertimbangan matang. Dari sisi akademik, penganuegrahan ini melalui proses seleksi dan uji akademik serius.

“Penganugerahan gelar doktor honoris causa ini merupakan wujud komitmen UIN Walisongo Semarang dalam memberikan apresiasi kepada putera puteri terbaik bangsa yang telah benar-benar berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia secara menyeluruh baik dalam tataran teoritis maupun praktis,” paparnya Rabu (20/01) di Semarang.

Menurutnya, tidak ada yang meragukan kapasitas Kiai Afifuddin Muhajir. Latar belakang beliau sebagai ulama, dosen, akademisi, wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Rais Syuriah PBNU, dan Ketua MUI Bidang Fatwa Maudluiyah dan Metodologi membuktikan itu.

Dia mengatakan, Kiai Afifuffin Muhajir memiliki dedikasi tinggi dalam membumikan pemikiran Islam khususnya di bidang hukum Islam secara dinamis dan terbuka. Ini sesuai dengan kebijaksanaan dan kepribadian bangsa Indonesia.

“Maka menjadi kehormatan bagi UIN Walisongo Semarang, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum. Kami sungguh mendapatkan model fikih yang responsif terhadap problematika masyarakat kontemporer, yang tidak hanya terbatas pada persoalan ibadah, akan tetapi menjangkau bidang sosial dan politik, khususnya terkait relasi agama dan negara,” imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Afifuddin menyampaikan makalah berjudul Al Jumhuriyatul Indonesiyah al muwahhadah fi mizanis syariati Dirasatun an banjasila fi dhuin nushushi wal maqashid. Dalam makalah berbahasa arab tersebut, beliau menyampaikan tentang fokus kajian ushul fiqihnya selama ini yaitu tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasar dalam neraca atau pandagan teks syariah dan tujuan syariah.

Ada empat inti yang disampaikan Kiai Afif. Pertama, Pancasila sebagai dasar negara sah menurut pandangan syariat Islam. Sebagai dasar negara, Pancasila juga bukan penghalang terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia.

Yang unik, beliau menyampaikan bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata memiliki arti yang lebih dalam daripada sila pertama yang termuat pada piagam Jakarta. Sebab, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah cerminan tauhid sebagai pilar akidah Islam.

Konsekuensi dari disepakatinya sila pertama itu, maka tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa maupun sila-sila yang lain. (Azhar/Din)

Exit mobile version