JAKARTA─ Pandemi Virus Covid-19 masih belum usai, bahkan jumlah penderitanya dikabarkan terus bertambah. Pertambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia terus menanjak dan terus memecahkan rekor. Kondisi ini tentu sangat memperihatinkan kita semua. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Jika menilik kisah yang sudah lalu, kejadian virus yang mewabah ini ternyata tidak hanya terjadi di era modern ini, namun pada masa lampau pun kejadian serupa pernah menimpa umat manusia.
Saat zaman kekhalifahan Umar bin Khattab misalnya, tepatnya ketika Umar ingin melakukan suatu kunjungan ke negeri Syam yang saat itu penduduknya sedang terjangkit wabah virus penyakit.
Anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Nurul Irfan, menjelaskan peristiwa kunjungan Umar ke negeri Syam ini. Umar sebagai pemimpin kala itu, mengambil keputusan yang bijak dan tepat bagi umat. Kebijakan umar saat terjadi virus adalah tidak memasukki negeri saat terjadi thaun (wabah). Tentunya keputusan ini diambil setelah melakukan musyawarah dengan yang lainnya.
Awalnya musyawarah berjalan penuh berdebatan. Sebagian sahabat menyarankan untuk tetap melanjutkan perjalanan sebagai menjalankan perintah Allah SWT, sedangkan sahabat lain menyarankan untuk menunda perjalanan ke Syam.
Berbagai pendapat dikemukakan dalam musyawarah tersebut, salah seorang sahabat mengatakan, Jika Umar tidak melanjutkan perjalanan ke negeri Syam, maka ia termasuk lari dari takdir Allah. Tapi ada sahabat lainnya yang mendukung Umar seperti Aburrahman bin ‘Auf.
Dalam kondisi penuh perdebatan, Aburrahman bin ‘Auf meyakinkan Umar untuk tidak melanjutkan perjalanan dengan mengutip hadits Nabi.
إذا سَمِعْتُمْ بالطَّاعُونِ بأَرْضٍ فلا تَدْخُلُوها، وإذا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بها فلا تَخْرُجُوا مِنْها
Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kiai Nurul menjelaskan pada zaman Rasulullah dahulu, semasa Rasulullah hidup belum ada wabah virus yang menjangkiti dan menyebar di tengah-tengah manusia. Mungkin saja Rasulullah meriwayatkan ini karena tahu bahwa wabah penyakit menular itu ada dan sebagai langkah antisipasi bila terjadi di masa mendatang beliau meriwayatkan ini. Wallahu a’lam.
Selain itu, terdapat pula hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah RA berbunyi:
لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Artinya: ‘’ “Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit.’’ (HR Ibnu Majah)
Menurut Kiai Nurul, pengertian dari hadits ini, bahwa hewan yang sakit seperti unta saja tidak boleh dicampur baur.
Hal ini pun berlaku pada manusia, bila ada yang sakit apalagi dan sakitnya tersebut menular, jangan ada campur baur dengan orang yang sedang sakit ataupun orang yang berkontak dengannya sampai keadaan betul-betul pulih karena khawatir penyakit tersebut akan menulari yang lain.
Dia menjelaskan, adapun bila kita yang terjangkit wabah penyakit tersebut, jangan panik atau pun bersedih hati karena semuanya ini sudah menjadi ketetapan-Nya yang belum kita ketahui apa hikmah dibalik musibah tersebut. Tetap melakukan ikhtiar untuk penyembuhan dan berdoa kepada Allah agar segara diberi nikmat sehat.
Rasulullah pernah mengajarkan cara untuk menolak bala dari bahaya suatu penyakit, berikut ini adalah doanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ الأَسْقَامِ مِثْلَ.
‘’Ya Allah aku berlindung kepadamu dari penyakit belang, gila dan kusta, serta penyakit lain yang mengerikan.’’
Demikian kisah Umar di atas, hendaknya dapat kita jadikan sebuah pembelajaran yang berharga. Sebagai seorang pemimpin, umar menimbang manfaat dan mudharat bagi umat jika ia terus melanjutkan perjalanan ke negeri yang sedang ada wabahnya tersebut.
Oleh sebab itu, tindakan tegas Umar ini mungkin bisa kita tiru dengan tidak berpergian ke luar kota atau negeri yang terindikasi tinggi angka penyebaran virusnya. Dari kisah Umar ini, semoga kita semua dapat mengambil ibrahnya. Wallahu a’lam bisshowab. (Hurryyati Aliyah/ Nashih)