JAKARTA — Perayaan Hari Raya Idul Adha diperingati oleh umat Islam setiap tahunya pada 10 Dzulhijjah. Perayaan hari besar ini identik dengan sejarah yaitu kisah Nabi Ibrahim dengan putranya Nabi Ismail AS.
Anggota Komisi Fatwa MUI, KH Mukti Ali, menceritakan di dalam Al-Quran bahwa semua bermula Ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya.
Kemudian, Nabi Ibrahim terbangun dan merasakan kesedihan yang mendalam. Sebab, Nabi Ismail merupakan anak yang sempat terpisah lama dengannya, dan harus mengorbankanya.
Sebagai seorang Nabi dan Rasul yang taat kepada perintah Allah, beliau tidak bisa menolak perintah itu. Lalu, Nabi Ibrahim merealisasikan perintah dan berkata kepada anaknya, “Wahai Anakku, saya mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih-mu karena ini perintah dari Allah, saya tidak bisa menolaknya”.
KH Mukti menjelaskan, kisah ini sebenarnya menurut Islam, anak yang dimaksud adalah Nabi Ismail. Sebagian besar ulama pun mengatakan demikian.
Tetapi, sebagian kecil ulama berpendapat bahwa itu bukan Nabi Ismail, melainkan Nabi Ishak AS. Seperti Ibnu Arabi berkata seperti itu. Tapi, mayoritas ulama berpendapat itu Nabi Ismail.
Lanjut Kiai Mukti menceritakan, diluar dugaan, reaksi Nabi Ismail langsung mentaati dan tidak membantah.
Nabi Ismail sangat percaya apa yang dikatakan oleh ayahnya dengan berkata, “Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang diperintah oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku Insya Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah Allah,’’ (QS. Ash-Shaffat:102).
Suasana pun menjadi sangat haru. Nabi Ibrahim menangis mendengar jawaban anaknya. Kemudian, Nabi Ibrahim dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah dan membawa Nabi Ismail pergi ke atas bukit.
Dalam perjalanannya, lanjut Kiai Mukti, Nabi Ismail membawa golok yang sangat tajam untuk menyembelihnya. Mereka menaiki gunung, sesampainya di sana, Nabi Ibrahim langsung persiapan untuk menyembelih.
Namun, saat akan dieksekusi, Allah memberikan perintah baru untuk memperbolehkan agar menggantinya dengan seekor domba, bukan anaknya.
Dari kisah ini tentunya ada hikmah yang bisa kita ambil untuk dijadikan sebuah pelajaran.
Apa sajakah hikmah dari kisah ini?
Menurut Kiai Mukti, hikmah pertama, beliau sangat terkesan dengan sikap Nabi Ismail sebagai anak. Ia menganggap ayahnya merupakan orang tua yang ideal dan menjadi role model atau panutan.
Karena Nabi Ibrahim tidak pernah berbohong, menjadi teladan dan bisa dipercaya. Kemudian, Ia tidak pernah menyakiti perasaan dan mengecewakan anaknya.
Sehingga, Nabi Ismail sebagai anaknya begitu percaya dan mengidolakannya. Dengan modal keperacayaan inilah, Nabi Ismail pasrah apabila hal itu terjadi.
Hikmah kedua, lanjut Kiai Mukti, Nabi Ismail menerima perintah itu, kalau Bahasa para ulama Sufi, sudah melampaui maqom ikhlas.
Kata Kiai Mukti, Nabi Ismail sudah menunjukan bagaimana praktik nyata dari sebuah keikhlasan. Ia sangat pasrah meskipun nyawa taruhannya, yang dilakukan ini merupakan wujud nyata kepatuhannya terhadap orang tua dan kepada Allah.
Sampai-sampai Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya meskipun pada akhirnya diganti oleh seekor domba.
Hikmah ketiga diulas Kiai Mukti, sebagai seorang ayah tentu saja ia merasa sangat dilematis dan terjadi perang batin di dalamnya. Antara mengikuti perintah Allah dengan kasih sayang kepada anaknya. Di dalam psikologi batin Nabi Ibrahim terjadi pergolakan yang sangat dahsyat.
Akan tetapi, Nabi Ibrahim lebih mencintai perintah dan berani jujur mengatakan perintah Allah kepada anaknya.
Jadi, Nabi Ibrahim terbukti mampu mengalahkan ego duniawinya. Dalam hal ini, ego duniawi terhadap kecintaannya kepada anak. Tetapi, Nabi Ibrahim lebih memilih kecintaanyya kepada Allah Azza Wajalla.
Kiai Mukti menjelaskan, semasa hidup Nabi Ibrahim merupakan ayah dan manusia yang menjadi suri tauladan bagi anaknya, bangsanya, umatnya dan seluruh umat manusia pada zamannya.
Imbas keteladanan ini adalah kepercayaan yang tinggi dari anaknya sendiri.
Kiai mukti mengatakan, tidak mudah saat ini bisa seperti itu. Ia mencontohkan, terkada ada tokoh agama atau masyarakat yang bisa dipercaya oleh masyarakat tetapi kadang tidak dipercaya oleh anak dan keluarganya sendiri.
Tapi, Nabi Ibrahim bisa dipercaya oleh masyarakat dan keluarganya. Maka tidak heran, apabila anaknya, apapun yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim selalu percaya dan menurutinya.
Begitu pun Nabi Ibrahim, beliau juga begitu mencintai umat manusia dan umatnya pada waktu itu. Sampai-sampai, di dalam Al-Quran Ia sampai berdoa:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,”’Dia (Allah) berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al Baqarah: 126.)
Doa ini agar umat manusia bisa diberikan kesejahteraan ekonomi dan bukti kecintaan Nabi Ibrahim kepada rakyatnya pada waktu itu.
Lebih lanjut, Kiai Mukti menjelaskan bahwa kisah Nabi Ibrahim saat mendapatkan perintah lagi dari Allah agar menggantikan anaknya dengan seekor domba untuk disembelih menjadi dasar disyariatkannya ibadah kurban.
Kurban binatang yang dimaksud Kiai Mukti, merujuk pada ajaran Islam adalah yang halal dan boleh dijadikan kurban. Beberapa hewan itu seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan unta.
Dalam kisah ini juga menurut Imam Al-Ghazali dikatakan bahwa di dalam diri manusia ada peperangan antara khayawaniah; yaitu sifat-sifat hewaniah.
Kiai Mukti mencontohkan, sifat hewaniah itu seperti buas beringas, rakus, egois, ingin memangsa dan ingin mengalahkan.
Bahkan kata Kiai Mukti, bisa sampai menumpahkan darahnya sesama manusia, itulah sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Dalam hal ini, Kiai Mukti mengaskan, sifat kebinatangan yang ada di dalam tubuh manusia harus dilawan, disembelih, dan kita perangi.
“Kita juga harus mampu memenangkan sifat-sifat malakutiyah atau kemalaikatan,” demikian pesan Kiai Mukti.
Selain itu, Kiai Mukti juga mengulas tentang sifat malakutiyah.
Sifat malakutiyah adalah sifatnya cahaya, penerang, pencerah, kebaikan, kemanfaatan, kemaslahatan, saling membantu, saling menolong dan senang berbuat baik. Di dalam diri kita terjadi peperangan antara khayawaniah dan malakutiyah
“Didalam tubuh manusia harus kita lawan, disembelih dan kita perangi dan kita harus memenangkan sifat-sifat malakutiyah atau kemalaikatan,” demikian nasihat Kiai Mukti. (Sadam Al-Ghifari/Angga)