Kerukunan di Pedalaman Baduy dan Sepenggal Kisah Mualaf

Masjid At Taubah di pedalaman Lebak, tepatnya di Kecamatan Leuwidamar, yang berjarak sekitar 78 Kilometer dari pusat pemerintahan provinsi Banten dan 160 kilometer dari Ibu Kota Jakarta, itu tampak kokoh. Indahnya alam tanah Lebak, terlihat jelas dari masjid yang dibangun di atas anak tangga dan bukit.

Selain itu, tidak jauh dari masjid AT-Taubah, terdapat pula Mushola Al-Husna, yang terbuat dari kayu, anyaman bambu dan atap yang menggunakan ijuk pohon. Kedua tempat ibadah Muslim ini begitu istimewa di tengah-tengah masyarakat adat Baduy yang memeluk Sunda Wiwitan. Kehadiranya saya disana cukup disambut hangat oleh masyarakat Baduy.

Suku Baduy merupakan suku yang hidup secara terisolir dari dunia luar, serta hidup sederhana dan menyatu dengan alam. Perjalanan dari Jakarta menuju Kawasan Baduy yang terletak di padalaman Lebak, Banten, memakan waktu sekitar empat jam.

Selama perjalanan dan hendak memasuki Kawasan Baduy, melewati jalanan yang cukup terjal, menanjak bukit, namun disajikan pemandangan di sekitarnya yang masih asri karena masih terjaganya alam disana.
Masyarakat Baduy ini merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda yang tinggal di wilayah pedaleman Kabupaten Lebak, Banten.

Masyarakat suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yaitu suku Baduy dalam dan suku Baduy Luar. Suku Baduy luar mereka masih menerima teknologi dan cara hidup masyarakat modern di sekitarnya.

Sementara Suku Baduy dalam, mereka masih sangat kental dalam memegang teguh adat istiadat, menolak adanya teknologi, dan cara hidup masyarakat modern. Mereka menjalankan berbagai aturan adat dan istiadat dengan baik.

Dilihat dari segi penampilan, masyarakat Baduy luar identik dengan pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru. Sedangkan Baduy dalam memakai pakaian warna putih dan ikat kepala serba putih. Mereka tinggal di Desa Kanakes, Kecamatan Leuwidamar, dan berada di Kawasan pegunungan Kendeng.

Jarak pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kecamatan Leuwidamar berjarak 27 kilometer. Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomer 13 Tahun 1990, luas Desa tersebut 5.101, 85 hektare. Rumah yang dihuni oleh masyarakat baduy terlihat masih terbuat dari kayu serta atap rumah yang berasal dari ijuk pohon.

Meski Agama yang dianut suku Baduy adalah Sunda Wiwitan, yakni keyakinan yang didasarkan pada penghormatan atau pemujaan kepada arwah nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, yakni Batara Tunggal. Namun, kehadiran Islam di masyarakat Baduy juga bisa diterima. Tak sedikit pula masyarakat Baduy yang memilih bersyahadat.

Adala Ustadz Muhammad Kasja. Pria yang akrab disapa Ustadz Kompol tersebut mengatakan alasan memutuskan masuk Islam, yaitu karena ingin mengenyam pndidikan di sekolah. Dia bercerita, awalnya ia sering keluar masuk perbatasan adat dan semah, sehingga melihat aktivitas di luar ada sekolah. Meskipun, di Baduy sekolah itu pamali (tidak boleh) sehingga, pada 1986, ia diam-diam memutuskan untuk masuk kedalam sekolah dasar.

Namun, Tindakan tersebut diketahui adat, dan pada 1990, dengan matang ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Menurutnya, Islam sangat luar biasa, tidak ada perbedaan kecuali yang bertakwa di hadapan Allah SWT.

‘’Yang saya rasakan setelah masuk Islam (salah satunya) banyak saudara se akidah, sehingga ketika mendapatkan kesulitan dibidang apa saja mereka siap membantu,’’ tuturnya kepada MUIDigital, beberapa waktu lalu di Lebak.

Selain itu, ia juga merasakan ketenangan dalam hidupnya. Menurutnya, tidak adanya perbedaan dalam Islam kecuali ketaqwaan dihadapan Allah SWT yang membuatnya merasakan kebahagian yang hakiki.

Ustadz Kompol yang juga sebagai koordinator mualaf Baduy Muslim, mengungkapkan sedang merintis Gedung Islamic center pertama yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti pengajian mum, belajar baca tulis Alquran, belajar bagaimana cara beribadah yang benar dan lain sebagainya.

Apalagi, kata dia, sejak 1990 sampai dengan saat ini, jumlah mualaf Baduy ini sekitar 400 kepala keluarga. Tentunya, hal ini membutuhkan perhatian dari pemerintah yang menurutnya masih jauh dari kata layak.

Untuk itu, Ustadz Kompol berharap adanya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat mualaf Baduy ini agar bisa melakukan kegiatan yang nantinya bisa mandiri.

“Saya sebagai kordinator Mualaf Baduy Muslim sedang memikirkan bagaimana dan apa yang kira-kira bisa dilakukan dengan mudah, tapi mereka bisa mengalir tiap waktu,’’ungkapnya.

Selain itu, di kampung mualaf tersebut juga terdapat delapan penyuluh agama Islam (PAI) dan seorang penyuluh agama Islam fungsional (PAIF).

Seorang penyuluh agama bernama Erni Agustianti, yang juga sedang melakukan penelitian sebagai tugas akhir di Pascasarjana, UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, mengenai strategi Pendidikan di pondok pesantren yang mendidik para mualaf Baduy.

Erni Agustianti mengaku terpanggil dan tertantang untuk mendidik dan membina para mualaf Baduy. Terlebih, ia juga seorang yang dibesarkan di kecamatan Leuwidamar, yang tentunya tidak asing dengan budaya sosial di sana.

“Mudahnya adaptasi dan mendapat respon yang baik dari masyarakat binaan, tokoh masyarakat, serta instansi-instansi yang diajak untuk berkolaborasi membuat saya termotivasi dan semangat,” tuturnya kepada MUIDigital.

Meski begitu, Erni mengungkapkan bahwa jarak tempuh dari kediamanya menuju lokasi binaan mualaf ini berjarak 33 kilometer tidak dianggapnya sebagai halangan, melainkan sebuah tantangan dalam membina dan mendidik para mualaf Baduy tersebut. Selain itu, Erni menuturkan bahwa perilaku para mualaf ini sangat berpariatif.

Sehingga, kata dia, banyak para dai yang diterjunkan dalam membina dan mendidik para mualaf ini merasa bosan karena sikap dan perilaku mualaf Baduy yang sulit diatur dan dibina. “Tapi bagi saya, justru itu keunikan tersendiri karena memang sangat berbeda dengan para mualaf dari agama lain,” ungkapnya.

Baginya, mualaf dari suku Baduy ini membutuhkan gagasan dan strategi yang tepat sesuai dengan latarbelakang para mualaf dan motivasinya Ketika memilih Islam sebagai agama yang diyakininya, selain alasan-alasan yang sifatnya syar’i.

Sebagai seorang ASN yang mengabdikan dirinya sebagai penyuluh mualaf Baduy, Erni berharap adanya penataan dan ketertiban dalam membina para mualaf ini.

Jangan sampai, lanjutnya, para maualaf Baduy ini selalu dijadikan eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menurutnya, bantuan kepada para mualaf baduy ini sangat dibutuhkan untuk bisa mandiri sehingga tidak selalu menggangtungkan pada donasi-donasi yang diberikan dari luar.

Apalagi, lanjutnya, terdapat potensi pemberdayaan ekonomi dari sektor pertanian, kerajinan, dan pengolahan hasil tani. “(Serta) membuat satu pintu akses untuk para mualaf dari suku Baduy dalam pendataanya,’’ ujar dia. (Sadam Al-Ghifari/Nashih)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia