Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Bicara yang Baik atau Diam

bicara-yang-baik-atau-diam

Oleh: Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

OPINI, muisulsel.com — Sambil menikmati pergerakan kereta api bawah tanah di kota New York saya mencoba kembali bertanya-tanya. Ada apa ya dengan berbagai perdebatan bahkan kekisruhan terjadi saat ini? Apalagi jika melihat hiruk pikuk media, khususnya di media sosial. Kenapa setiap statemen atau kata kerap menjadi pemicu perdebatan?

Mungkin saja karena masyarakat kita mengalami euphoria kebebasan yang sering tak terkontrol. Mungkin juga karena memang masyarakat kita sedang mengalami emosi sosial yang terpicu oleh banyak penyebab. Atau juga karena memang ada kepentingan dan tujuan dari pihak-pihak tertentu yang senang mengail di air keruh.

Semua itu dan tentunya banyak lagi penyebab lainnya boleh jadi menjadi pemicu semua kekisruhan dan lalu lalang perdebatan terhadap ragam isu di media sosial khususnya. Pastinya ada sensitifitas keumatan (sosial) yang sedang terusik. Bahkan boleh saja telah mencapai tingkatan kekecewaan bahkan memarahan.

Tapi nampaknya yang paling sering menjadi pemicu adalah karena adanya pihak-pihak yang perlu mengontrol pernyataan-pernyataan (kata-kata). Benar kata sebagian orang bijak: kata itu bisa jadi air yang menyejukkan. Tapi juga bisa jadi api yang membakar.

Hakikat inilah barangkali diingatkan secara tersirat oleh beberapa ayat Al-Quran. Dua ayat yang ingin saya kutip di bawah ini saya kira mewakili urgensi seseorang menjaga kata atau pernyataan.

Ketika Allah bersumpah tengah lisan dan bibir: ولسانا وشفتين (dan demi lidah dan dua bibir) para Ulama mengungkapkan bahwa salah satu maksud terpenting dari ayat itu adalah urgensi menjaga kata-kata atau pembicaraan.

Demikian juga ketika Allah menggandengkan beberapa hal pokok kehidupan manusia di awal Surah Ar-Rahman. Satu yang terpenting di antaranya adalah urgensi membangun komunikasi yang tidak saja benar. Tapi juga berkesesuaian, termasuk di dalamnya menjaga sensitifitas objek pembicaraan.

Komunikasi yang sesuai dan benar itu diistilahkan dengan علمه البيان (Allah nengajarkan al-bayaan). Sebagian ulama memaknai al-bayan dengan ekspresi sosial manusia dengan alam sekitarnya. Termasuk di antaranya urgensi menjaga kata dan pembicaraan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa shallam sendiri bahkan menjamin syurga bagi siapa yang mampu menjaga lisanya. Ini sekaligus menandakan urgensi berhati-hati dalam berkata atau berbicara. Karena benar juga kata orang bijak: sebuah kata dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh sebuah jarum.

Tentu akan lebih sensitif lagi ketika kata atau pembicaraan itu keluar dari seorang yang telah menjadi figur publik (public figur). Apalagi jika figuritas itu karena sebuah posisi publik yang lebih dikenal dengan pemimpin atau tokoh di bidang apa saja.

Pemimpin itu katanya didengar. Baik dalam makna positif (diikuti) atau dalam makna negatif (ditolak). Tapi intinya kata-kata pemimpin itu didengar oleh publik dan karenanya kerap menimbulkan perdebatan dan kekisruhan.

Contoh terdekat barangkali adalah Donald Trump. Sebelum menjadi Presiden Amerika Donald Trump sering memberikan statemen atau pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Tapi ketika itu tidak terlalu menimbulkan “pubic damage” (kerusakan umum) yang terasa. Bahkan saya pernah berkesempatan menemuinya ketika memberikan statemen yang sangat tidak bersahabat dengan Islam. Tapi semua itu terasa biasa saja. Berlalu tanpa ada dampak yang terlalu berarti.

Berbeda ketika Trump telah terpilih jadi presiden. Kata-katanya walaupun itu nampak kecil ternyata memiliki dampak besar di benak banyak rakyat Amerika. Pernyataan Trump misalnya bahwa “Islam hates us” atau Islam membenci kita, memiliki dampak yang berbeda antara sebelum dan sesudah menjadi seorang pemimpin.

Saya masih dapat merasakan dampak negatif pernyataan Trump di saat telah menjadi Presiden. Begitu banyak warga Amerika yang mengambilnya secara hitam putih sehingga terbangun ketakutan, kecurigaan, bahkan ketakutan kepada agama ini secara berlebihan.

Di sinilah saya ingin mengingatkan kepada semua jajaran kepemimpinan di tanah air, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan pada skala apapun untuk menjaga kata-kata (pernyataan). Karena begitu kata atau pernyataan itu keluar ke publik pastinya akan menjadi konsumsi publik pula. Dan itulah yang kemudian menimbulkan ragam kegelisahan, keresahan, kekisruhan bahkan perdebatan yang membawa kepada permusuhan dan perpecahan.

Ada baiknya para pejabat negara untuk sadar bahwa dampak dari kata atau pernyataan itu menjadi pertanggung jawaban dunia akhirat. Di dunia akan direspon oleh publik. Dan di akhirat akan dipertanggung di hadapan yang Maha Pemilik Hari Pengadilan (Malik yaumiddin).

Para pemimpin sebaiknya menghayati peringatan Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka hendaknya berkata yang baik atau diam”.

Baiknya diingatkan kembali: kerja, kerja, kerja! Jangan terlalu banyak ngomong. Apalagi tentang hal yang tidak didasari keilmuan yang cukup. Lelah bangsa ini dijadikan ribut oleh sebagian pejabatnya sendiri.■

Exit mobile version