JAKARTA — Salah satu isu lama yang selalu saja didengungkan terkait MUI adalah monopoli sertifikasi halal. Benarkah tudingan miring tersebut?
Isu seperti ini, ujar Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, KH Sholahuddin Al Aiyub, tidak tepat karena ada beberapa alasan mendasar. Dia menjelaskan bahwa apa yang dilakukan MUI sudah sesuai dengan ajaran Islam dan regulasi di Indonesia.
Bagaimanapun, kata dia, wewenang menentukan halal tidaknya sebuah produk adalah ranah agama dan ajaran Islam. Pemerintah, sebagai regulator, tidak memiliki kapasitas untuk menentukan sebuah produk halal atau tidak. Karena itu, pemerintah selama ini mempercayakan kepada MUI untuk menentukan kehalalan sebuah produk.
Karena halal merupakan kajian fiqih, Kiai Aiyub menjelaskan, pembahasan mengenai produk halal masuk dalam terminologi agama dan hukum. Penetapan halal atau tidaknya suatu produk tidak bisa diputuskan oleh pihak sembarangan.
“Demikian pula dengan sertifikasi halal. Kewenangan penetapan hukum halal produk atau fatwa harus diberikan kepada lembaga yang kompeten dalam bidangnya yaitu Komisi Fatwa, ” ujar dia, Rabu (08/12) di Jakarta.
Selama ini, ujar dia, MUI kerap dianggap memonopoli sertifikasi halal karena menjadi organisasi keislaman satu-satunya yang mengeluarkan fatwa halal. Beberapa ormas Islam sempat protes karena kedudukan MUI tersebut.
Padahal, yang jarang dipahami banyak orang, kata dia, fatwa MUI menjadi satu-satunya karena bisa diterima berbagai ormas Islam. Sebab, di MUI ada perwakilan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Mathlaul Anwar, dan 59 ormas Islam lainnya sampai Persatuan Umat Islam. Ini berbeda bila sertifikasi halal hanya diserahkan kepada ormas tertentu, maka anggota ormas yang lain bisa tidak menerima. Sehingga menimbulkan kesimpangsiuran standard halal.
“Penetapan halal dilakukan oleh MUI karena berdasarkan ketentuan fiqih qadha’i yaitu harus bersifat final dan berada di level aturan negara. Aturan perundang-undangan juga menuntut adanya legally binding, ” ujarnya.
“Maka kewenangan ini tidak bisa dibagikan kepada siapapun. Hukum ini mengikat dan harus menghapus perbedaan. MUI merupakan rumah bernaung ormas Islam di Indonesia untuk menjembatani perbedaan-perbedaan ini, ” imbuhnya.
Selain Komisi Fatwa, dari sisi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), LPPOM MUI saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang menjalankan audit produk halal. Sudah ada tiga LPH yang saat ini sudah diakui oleh BPJPH Kementerian Agama.
Direktur LPPOM MUI, Muti Arintawati, menyampaikan berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Keputusan Menteri Agama Nomor 982, LPPOM tercatat sebagai salah satu dari tiga LPH di Indonesia yang telah terakreditasi.
“Berdasarkan regulasi tersebut, uji kelayakan beroperasinya LPH di Indonesia perlu akreditasi sesuai dengan yang telah ditetapkan. MUI juga terus menjalin komunikasi terbuka dengan LPH lain khususnya melalui program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) yang digaungkan BPJPH, ” ujarnya. (Isyatami Aulia/Azhar)