■ Oleh: Shamsi Ali, President Nusantara Foundation
OPINI, muisulsel.com — Biasanya yang kita dengar dan populer di masyarakat adalah air mata buaya atau srigala berbulu domba. Saya sengaja menggabungkan keduanya biar sekalian saja. Maklum keduanya bisa saja justeru menyatu pada makhluk Allah yang lain.
Airmata buaya biasanya terekspresi untuk sifat manusia yang nampak sering berbelas kasih, menunduk di hadapan, namun menyergap dan menerkam dari belakang di saat peluang itu ada. Ada “dishonesty” alias kepura-puraan baik di balik berbagai makarnya.
Srigala berbulu domba juga demikian. Sebuah penggambaran sifat seseorang yang nampak lembut tapi hatinya penuh dendam kusumat, kemarahan dan dengki. Yang jika saja mendapatkan peluangnya akan terlampiaskan dengan menerkam mangsanya.
Kedua hal ini jika ada pada seseoarang sangatlah berbahaya. Karena kerap kali melakukan berbagai tindakan destruktif di tengah masyarakat dengan topeng yang indah. Atau menampakkan wajah manis, berbelas kasih dengan cucuran airmata yang beracun.
Karakter yang nampak dari seseorang yang berkarakter airmata srigala adalah “dzul wajhaen” (bermuka ganda). Di hadapan anda dia menunduk-nunduk tersenyum. Di belakang anda dia akan menusuk anda dengan samurai.
Al-Qur’an menggambarkan karakter seperti ini dengan kata “mudzabdzabiina baena haa ulaa wa haa ulaa”. Bergelantung di antara dua lembah kepentingan. Dan kerap ketika berada di lembah seberang meninggalkan bara api pada lembah yang lain.
Manusia berairmata srigala itu tidak punya pendirian. Manusia yang bagaikan cecak, meloncat dari dinding ke dinding demi seekor nyamuk untuk ditelan. Yang dicari hanya kepentingan dan mencari keselamatan ketika dihadapkan kepada masalah.
Secara agama sesungguhnya prilaku seperti itu merupakan penampakan penyakit hypocrisy (kemunafikan) seseorang. Jiwa orang menafik itu lemah. Tidak punya pegangan dan mudah hanyut oleh ombak kepentingan.
Hati yang sehat akan teguh dengan keadaan apapun. Tentangan dan/atau godaan akan berlalu biasa sebagai bagian alami dari kehidupan. Orang dengan hati yang sehat akan kokoh bagaikan baja atau karam di tengah derasnya ombak lautan kehidupan.
Airmata srigala itu sering diekspresikan secara horizontal kepada sesama. Tapi tidak jarang juga oleh sebagian diekspresikan secara vertikal kepada Tuhan. Seolah Allah bisa dikelabui dengan airmata dalam raungan belas kasih.
Betapa banyak orang ketika di depan multazam (Ka’bah) menangis menjerit-jerit meraung meminta ampun dari dosa-dosa. Tapi sekembali ke kampung asal dengan mudah menjatuhkan diri ke dalam perangkap lobang yang sama.
Demikian pula dengan ragam ritual (tanpa bermaksud mengurangi nilai dan keutamaannya) atau dzikir-dzikir panjang, meraung bak kesurupan. Tapi dzikir dan ragam ritual itu tidak berdampak pada hati dan jiwanya.
Itulah yang nampak pada manusia berairmata srigala. Kadang dzikir dan ritual lainnya menjadi kegiatan seremonial yang dipertontonkan justeru untuk sebuah target. Entah itu apa. Tanyakan pada rumput yang telah lagj..hehe!
Berhati-hati dengan airmata srigala.■