JAKARTA— Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mengajak berbagai pihak mendudukkan makna terorisme dan ekstremisme secara porporsional. Selama ini, kata dia, banyak pihak menilai seorang ekstremis atau bukan hanya berdasarkan tampilan luarnya saja seperti berjenggot tebal, bercelana cingkrang, maupun berjidat hitam. Pandangan seperti itu, menurut dia, terlalu menyederhanakan masalah atau simplifikasi.
“Simplifikasi itu melahirkan solidaritas grup yang lebih luas. Indikator yang bersifat karikatif dan simplistik itu memunculkan solidaritas grup. Orang yang awalnya tidak memiliki hubungan dengan kelompok seperti itu, akhirnya membangun solidaritas karena kesamaan identitas, ” ujarnya dalam Halaqah Islam Wasathiyah yang diselenggarakan BPET MUI di Hotel Sahid, Jakarta, Rabu (26/10).
“Maka penting untuk mendudukkan apa itu terorisme dan apa itu ekstremisme, ” imbuhnya.
Dia mengatakan, bentuk lain simplifikasi adalah bagaimana beberapa waktu belakangan muncul ide untuk menghilangkan kata jihad di buku pelajaran. Bagaimanapun, kata dia, jihad ada di dalam ajaran agama Islam. Namun, praktek jihad harus diletakkan para prinsip yang lebih proporsional.
“Terkait jihad, Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia 2021 kemarin mendudukkan kembali makna khilafah dan makna jihad. Khilafah dan jihad sebagai sebuah kajian keagamaan itu nyata, hanya saja perwujudunnya dalam konteks hari ini harus tepat, ” ungkapnya.
Dia menyampaikan, dalam fatwa-fatwanya, MUI selama ini juga berusaha proporsional dengan mengedepankan konsep Islam Wasathiyah. Pasca mengeluarkan Fatwa Terorisme tahun 2004 misalnya, MUI setahun berikutnya pada 2005 juga mengeluarkan Fatwa Liberalisme. Kehadiran Fatwa Terorisme dan Liberalisme ini wujud MUI untuk bersikap proporsional. MUI menempatkan diri di tengah, tidak di ekstrem kanan maupun di ekstrem kiri.
“Ketika orang berada di tengah, dia akan diterjemahkan berada di kiri oleh yang ekstrem kanan dan kanan oleh yang ekstrem kiri. Tugas kita adalah memperluas spektrum Islam Wasathiyah agar posisi yang ekstrem di samping itu tergencet. Di situlah posisi MUI dengan fatwa-fatwanya, ” ungkapnya. (Isyatami Aulia/Azhar)