mui.or.id — Dalam rangka menyambut Ramadhan, Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI) menggelar webinar “Penentuan 1 Ramadhan dan Khazanah Kalender Nusantara” pada Kamis (24/3) hasil kolaborasi dengan Majelis Pemuda Islam Indonesia.
Acara tersebut dihadiri oleh segenap pakar yang memumpuni keilmuannya yaitu Prof. Susiknan Azhari selaku Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Adib M.M selaku Direktur Urais Binsar Kemenag RI, Mochamad Ali Shodiqin penemu Kalender Bahari Nasional, dan Prof. Dr. Thomas Jamaluddin peneliti Astronomi Pusat Riset Astronomi BRIN.
Dalam pembukaan webinar, Wakil Ketua MUI Pusat, Dr. KH. Marsyudi Syuhud menyampaikan, ilmu penentuan kalender sangat penting untuk diketahui oleh umat Muslim.
“Pentingnya mengetahui ilmu penentuan kalender sangat berpengaruh untuk menetapkan kapan dimulainya ibadah Ramadhan. Jadi sudah selayaknya ilmu ini dipelajari dengan serius,” ungkap Kiai Marsyudi Syuhud.
Mengenai adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan, Pengasuh Ponpes Darul Uchwah ini berpesan bahwa hal tersebut lumrah terjadi dan perlu disikapi dengan saling menghormati argumentasi yang ada.
Selama ini, dikatakan Kiai Marsyudi, Kemenag mewadahi perbedaan-perbedaan yang ada dengan mengadakan sidang itsbat penentuan Ramadhan.
Kiai Marsyudijuga menjelaskan kesepakatan dari 4 mazhab bahwa penentuan bulan Ramadhan hanya bisa ditempuh dengan metode rukyah atau observasi. Metode rukyah dilakukan dengan cara istikmal (menyempurnakan) bulan Syaban menjadi 30 hari.
Pendapat tersebut didasari dengan salah satu dalil Alquran pada kutipan surah al-Baqarah ayat 185, yaitu:
… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ ..
“…Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah…
Di samping itu, Kiai Marsyudi Syuhud juga menyampaikan terdapat pendapat kedua yaitu menurut Ibnu Subki dan Ibnu Furaij dikatakan bahwa awal Ramadhan bisa ditentukan dengan metode hisab.
“Perbedaan mengenai awal Ramadhan harus disikapi dengan bijak, karenanya para Ulama telah mencontohkan bahwa sekalipun berbeda pendapat dan dalil argumen yang digunakan, namun tetap saling menghormati perbedaan yang ada,” pungkas Kiai Syuhud. (Isyatami Aulia/Angga)