Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Resensi Buku:  Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

resensi-buku: -merayakan-iman:-potret-keberagamaan-dan-kebudayaan,-dulu-hingga-kini

Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

Buku Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan Penuh Kasih Sayang ini merupakan kumpulan esai karya Fariz Alnizar (FA) yang diambil dari artikel rubrik Hikayat Ramadhan yang tayang di tirto.id sepanjang Ramadhan 2019. Tema esai berkisar tentang kisah dan hikmah yang diangkat dari dunia Pesantren dan dunia Islam dengan sudut pandang yang unik dan berbeda dengan mainstream.

Buku karya akademisi Univeritas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta ini, mencoba memotret sekaligus merekam corak dan pola kebudayaan dalam beragama – utamanya dalam konteks cara beragama ulama – ulama klasik. Buku ini menyajikan berbagai rekaman selebrasi keberagamaan dan kebudayaan yang kental dengan nuansa keterbukaan, keteguhan, akseptan dan juga penuh kelakar.

FA yang juga alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini, melalui buku ini dimaksudkan menjadi alternatif jawaban dan tawaran pola keberagamaan yang belakangan banyak di citrakan dan dipenuhi oleh gejala formalisme yang cenderung kaku, saklek, dan plastis.

Buku setebal 288 halaman ini menjabarkan 4 (empat) kurasan besar, yaitu; kurasan I tentang merawat tradisi, kurasan II berisi merayakan iman, kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, dan kurasan IV lebih menukik pada mengunduh keteladanan, halaman vi.

Kurasan I tentang merawat tradisi, terdiri 10 (sepuluh) kisah inspiratif yang bisa dijadikan spirit motivasi dalam kehidupan sehari – hari, seperti; tradisi debat dalam Islam, tradisi berdebat dan adu argumen merupakan salah satu diantara dua alat penguji kealiman seseorang dalam tradisi Islam. Selain perdebatan, Islam mengenal tradisi uji transmisi atau sanad. Kualifikasi kealiman bukan saja di uji dari kepiawaian beragumentasi, namun lebih dari itu, diuji dengan ketersambungan transmisi keilmuan, halaman 7.

Kedewasaan umat bisa diukur salah satunya melalui seberapa lapang menerima perbedaan. Dan untuk menumbuhkan sikap kedewasaan, tidak ada jalan lain kecuali terus membangun tradisi perdebatan yang dialogis, bukan monologis. Mirip ungkapan pelaut yang tangguh tidak terlahir dari lautan yang teduh, umat yang dewasa tidak tumbuh dari iklim yang tidak bisa berdebat dan menerima pandangan-pandangan berbeda.

Pada kurasan ini FA juga menuliskan, bahwa siksaan fisik dan pemenjaraan raga tidak sama artinya dengan pemenjaraan pikiran dan pembungkaman suara. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka pada Ramadhan tahun 1348 H bertepatan 1964 M dipenjara oleh pemerintah Orde Lama (Orla). Pemerintah menuduh Hamka telah melanggar Undang-Undang Anti-Subversif Pempres No.11, lebih spesifik ia dituduh terlibat merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin besar revolusi, Presiden Soekarno, halaman 60.

Hamka tidak bersedih menghadapi kenyataan. Bahkan ia semangat menceritakan berbagai pengalaman spiritualnya di balik jeruji besi lewat Tafsir Al Azhar.

Kurasan II berisi tentang merayakan iman, FA menjabarkannya pada 8 (tulisan) yang lugas dan bermakna, seperti; Ibnu Athaillah as Sakandari dari Alexandria penyusun kitab Syarah Hikam mengatakan, ketika seorang hamba menyatakan dirinya tidak sombong, maka saat itulah justru puncak kesombongan telah dilakukannya. Perasaan tidak sombong merupakan kesombongan itu sendiri, halaman 115.

Dalam perspektif menata hati, para sufi memberikan pelajaran, mereka tidak main – main dengan kualitas ibadah kepada Allah. Mereka selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci sehingga tidak kehilangan koneksi dengan Allah.

Pesan inspiratif spiritual lainnya, FA menulis dalam hal silang pendapat antar ulama adalah perkara yang lumrah, mereka bisa berdebat dengan sengit didalam sebuah forum, tapi tetap gayeng dan santai diluar forum, halaman 126.

Seperti perdebatan KH Hasyim Asy’ari, Jombang, salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dengan KH Faqih Maskumambang, Gresik, tentang hukum penggunaan kentongan untuk menandakan masuknya waktu shalat. Bagi KH Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitabnya Risaalah al Musamma bil Jaasuus fi Bayaani Hukmin Nuqus, menjelaskan, kentongan tak ubahnya lonceng yang digunakan digereja-gereja umat Nasrani. Oleh karena itu, hukum menggunakannya untuk memanggil orang agar shalat menjadi haram.

KH Faqih Maskumambang tidak tinggal diam, diapun menulis argumentasi sistematis yang bisa dijadikan pijakan hukum mengapa kentongan boleh dipakai untuk memanggil orang shalat. “kentongan tak ubahnya bedug. Ia hanya alat. Jika bedug boleh digunakan untuk memanggil orang shalat, mengapa kentongan tidak ?,” ungkapnya.

Para ulama terdahulu telah memberi contoh bahwa debat yang produktif adalah debat dengan berbalas karya, sembari tetap menjunjung etika. Perbedaan pendapat antar ulama itu oleh karenanya justru menjadi rahmat dan keberkahan umat, halaman 132.

Kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, mahasiswa doktor Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini, menguraikannya sebanyak sepuluh (10) tulisan hikmahnya, diantaranya; motivasi dalam mengarang sebuah karya menjadi modal besar dan utama. Motivasi yang salah akan berujung pada petaka dan ketidakberkahan karya, halaman 150.

Syaikh Ihsan bin Dahlan, salah satu ulama dari Kediri, Jawa Timur, yang mendapat julukan Imam Ghazali dari Timur ini menulis kitab monumental bertajuk Siraajuth Thaalibin. Karya ini merupakan komentar atas kitab karya Al Ghazali dalam disiplin ilmu tasawuf, yakni Minhaajul ‘Aabidiin, karya ini hingga kini menjadi salah satu kitab wajib yang dipelajari di kampus Al Azhar, Mesir.

Kurasan IV, bertemakan mengunduh keteladanan, pengelola komunitas Literasi Omah Aksoro, Jakarta ini, menuangkannya dalam delapan (8) tulisan.

Kisah-kisah keteladanan, nilai-nilai (values), hikmah, semangat juang, ahli ilmu, ahli strategi, budayawan, beberapa tokoh lintas generasi Nusantara ini, seperti; Syaikh Yasin bin Isa al Fadani dari Minangkabau (Sumatera Barat), KH. Hasyim Asy’ari, Jombang, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, KH. Bisri Syansuri, Jombang, KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Kajen, Pati, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jombang, dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Rembang.

Bagi dalang Sujiwo Tedjo, sosok Gus Dur tak ubahnya semar. Gus Dur adalah pengayom yang bisa mengobati dahaga kemanusiaan. Atau dalam bahasa yang lebih sastrawi: Gus Dur adalah oase keteladanan bagi kemarauanya sikap kemanusiaan, halaman 260.

Semar adalah Raja. Namun disaat yang lain ia juga rakyat biasa yang bisa berbaur dengan sesama jelata. Ia dengan seenaknya ceplas-ceplos membincang apa saja. Ia tinggi, tapi disaat yang bersamaan ia juga rendah.

Maka tidak mengherankan jika Gus Dur menjadi sosok yang longgar dan non protokoler. Meminjam kata Franz Magnis Suseno, Gus Dur memiliki kelapangan psikologis dan bahkan teologis.

Dalam momentum Ramadhan ini, buku sederhana nan istimewa ini bisa dibaca semua kalangan latar belakang sosial apapun di Indonesia, juga bisa dijadikan tambahan literasi keberagamaan dan kebudayaan yang selama ini telah tersedia.

IDENTITAS BUKU :

Judul : Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan
Penuh Kasih Sayang
Penulis : Fariz Alnizar
Penerbit : Qafila, Jakarta
Tahun Terbit : 2021
Tebal : vii + 288 Halaman
Nomor ISBN : 978-602-052-395-8
Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Exit mobile version