Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Zakat dan Kemiskinan karena Covid19

zakat-dan-kemiskinan-karena-covid19


■ Oleh : ZainuddinAnggota Komisi Hukum dan HAM MUI Sulsel, Wakil Dekan IV Fakultas Hukum UMI Makassar

MUIsulsel.com — Pandemi Covid 19 yang telah menghantam seluruh negara di belahan dunia sejak akhir Desember 2019, secara perlahan sudah melandai meskipun, tetap perlu kewaspadaan dengan kemungkinan munculnya varian baru Covid 19.

Dampak yang timbulkan Covid 19 ini berdasarkan Laporan Asian Development Bank (ADB) ada 4,7 juta orang di negara-negara Asia Tenggara jatuh miskin yang diakibatkan Pandemi Covid-19 pada tahun 2021 lalu.

Tentunya berbagai cara ditempuh untuk menekan angka kemiskinan tersebut termasuk memaksmimalkan potensi zakat yang mencapai Rp 327 triliun yang berdasarkan data Baznas 2022 ini sementara zakat yang terkumpul pada 2021 baru sebesar Rp 17 triliun.

Membicarakan zakat mau tidak mau kita berbicara tentang kemiskinan, karena zakat merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk mengatasi kemiskinan.

Kemiskinan terjadi tidak diakibatkan semata-mata kurangnya pendapatan, tetapi kemiskinan terjadi karena tidak difungsionalkannya potensi yang ada.

Maka perlu fungsionalisasi potensi untuk dikelola dengan baik dalam rangka mengurangi kemiskinan.

Kemiskinan pada hakikatnya hanya merupakan lapisan atas dari permasalahan yang disebut symptoms yaitu gejala yang tampak dipermukaan dan dapat dilihat sebagai efek dari sebuah kebijakan.

Ada lapisan dibawahnya yang disebut core problems (permasalahan inti) yang menyangkut substansi (undang-undang/kebijakan) dan struktur.

Belum teratasinya pengentasan kemiskinan dengan baik, bisa jadi pemerintah keliru dalam mengambil kebijakan, oleh karena itu, ada bahasa sindiran yang mengatakan kalau satu orang menderita kelaparan itu adalah faktor kemanusiaan, kalau seratus orang kelaparan maka itu kebijakan.

Sedangkan lapisan ketiga permasalahan adalah root cause (akar penyebab) yang lebih bersifat filosofis yang menyangkut paradigma yang dianut oleh masyarakat dan pemerintah yang tertuang dalam konstitusi negara.

Pada dasarnya, zakat adalah wujud ketaatan melaksanakan perintah Allah (kewajiban) dan bukan semata-mata kedermawanan (charity), begitu pentingnya penunaian zakat, Abu Bakar Ash Shiddiq mencap seseorang menjadi murtad terhadap pembangkang zakat.

Simaklah kata-kata tegas Abu Bakar Ash Shiddiq, “Demi Allah, saya akan perangi setiap orang yang memisahkan salat dan zakat. Zakat adalah kewajiban yang jatuh pada kekayaan. Demi Allah kalau mereka menolak saya dalam membayarkan apa-apa yang dulu mereka bayarkan kepada Rasul Allah, Sallallahu’alaihi wassalam, saya akan perangi mereka!”.

Bahkan dalam Al-Qur’an Surah Fushilat (41) ayat 7, dianggap orang kafir bagi orang yang tidak menunaikan zakat.

Agama Islam mengajarkan asas keseimbangan, zakat adalah kewajiban orang kaya, pada saat yang bersamaan merupakan hak orang miskin (dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian [Adz Dzariyaat:19]).

Zakat tidak akan tercapai fungsinya sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan yang berdasar pada keadilan sosial, apabila tidak ada kesadaran orang kaya untuk menuaikan kewajibannya dan juga pemerintah tidak menggunakan kekuasaannya lewat undang-undang untuk memaksa orang kaya membayar zakat.

Maka harus ada salah satunya yang terpenuhi, yaitu orang kaya dengan kesadaran yang dilandaskan pada keimanan dengan sukarela menyerahkan zakatnya kepada amil ataukah orang kaya harus dipaksa oleh pemerintah (baca : undang-undang) untuk membayar zakat.

Kalau hal itu dapat terjadi, maka kewajiban orang kaya tertunaikan dan hak orang miskin terpenuhi. Inilah esensi ajaran Islam dalam zakat yaitu titik temu antara kewajiban dengan hak dalam bentuk harta supaya keutuhan dan keberlangsungan kehidupan bersama (unity and sustainability of collective life) tetap terjaga.

Untuk mensinergikan kewajiban orang kaya dengan hak orang miskin, tentu saja dibutuhkan kesadaran orang kaya dengan dasar keimanan untuk menyerahkan sebagian hartanya kepada orang miskin.

Dan sebaliknya orang miskin harus lebih progresif menuntut hak-haknya kepada orang kaya, disinilah dibutuhkan dua arus kesepahaman antara penunaian kewajiban dan pemenuhan hak.

Apabila orang kaya tidak memiliki kesadaran untuk berzakat, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah pemaksaan, itu bukan berarti orang miskin diberi kewenangan menggunakan kekerasan dalam mengambil haknya.

Karena penggunaan kekerasan dengan cara melanggar hukum itu juga dilarang oleh Islam, karena prinsip ajaran Islam adalah perdamaian.

Meskipun kita tahu, bahwa secara lahiriyah orang miskin tidak memiliki kekuatan untuk mengambil haknya kepada orang kaya, karena hak itu melekat pada harta orang kaya.

Maka diperlukan fasilitator dalam menjembatani hak dan kewajiban tersebut, disinilah peran amil zakat (pemerintah) sebagai medium mempertemukan hak orang miskin dan kewajiban orang kaya.

Apabila orang kaya tidak mau menunaikan kewajibannya, maka Islam membolehkan pemerintah mengambil secara paksa demi pemenuhan hak orang miskin.

Baznas sebagai perpanjangan tangan Pemerintah dalam memungut zakat dari orang kaya olehnya itu Pemerintah dapat menggunakan kekuasaannya memaksakan orang kaya membayar zakat, jadi bersifat otoritatif (perlu ada kekuatan memaksa).

Untuk memaksakan penunaian zakat, maka undang-undang menjadi alat legitimasi efektif pemerintah untuk memaksa orang kaya.

Persoalannya sekarang, Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak cukup kuat sebagai alat pemaksa terhadap orang kaya untuk membayar zakat.

Substansi Undang-Undang Pengelolaan Zakat hanya bersifat fakultatif, yaitu pengaturan harta obyek zakat dan pendayagunaan, serta pengaturan organisasi pengelola zakat.

Padahal, kalau kita kembalikan asal dari hukum zakat itu adalah kewajiban yang dipaksakan, maka Undang-Undang Pengelolaan Zakat juga harus bersifat imperatif.

Oleh karena itu, semestinya ada ketentuan-ketentuan memaksa (dwingend recht) dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan wajib zakat yang tidak berzakat juga kepada pengelola zakat yang melakukan pelanggaran.■

The post Zakat dan Kemiskinan karena Covid19 appeared first on MUI SULSEL.

Exit mobile version