Beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia, terutama kaum ibu-ibu dan pelaku UMKM ketar-ketir karena kenaikan harga minyak goreng yang meroket. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna menekan kenaikan harga minyak goreng. Terakhir, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemanggilan terhadap 19 perusahaan karena diduga telah melakukan praktik kartel yang menyebabkan harga minyak goreng sangat tinggi di pasaran.
Kartel, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persekongkolan tidak sehat pelaku usaha produsen barang sejenis untuk mengontrol produksi, persaingan usaha, hingga harga barang. Dalam fikih Islam kontemporer, perilaku kartel ini disebut dengan ittihad yang secara bahasa berarti persatuan, akan tetapi dalam konteks fikih persaingan usaha, kata ittihad merujuk pada perilaku kartel. Perilaku ini kebanyakan dilakukan oleh segeliintir perusahaan yang memiliki power dalam produksi barang secara massal.
Jika persaingan usaha berjalan sehat, pelaku usaha akan dengan sendirinya menawarkan barang terbaik dengan harga yang masuk akal kepada konsumen. Para pelaku usaha berlomba memanfaatkan celah kelemahan produk lain dari segi kualitas sampai harga suatu barang.
Namun, dalam praktik kartel, para pelaku usaha sengaja berkerja sama menentukan serta mengontrol dari mulai produksi, distribusi hingga harga barang. Hal ini jelas akan merugikan konsumen karena para pelaku usaha dapat menentukan harga seenak mereka sendiri sementara konsumen tidak bisa berbuat banyak.
Kepanjangan tangan dari kartel adalah penimbunan barang agar harga dari suatu barang dapat dipatok setinggi-tingginya. Merupakan teori paling dasar dari ilmu ekonomi, semakin langka barang, sementara di sisi lain permintaan barang tersebut tinggi, secara otomatis harga dari barang itu melambung tinggi. Dalam fikih Islam, penimbunan barang dari produsen disebut dengan ihtikar.
Bahkan, berdasarkan buku Fikih Persaingan Usaha karya LAKPESDAM-NU berkerja sama dengan KPPU, perilaku ihtikar sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Nabi sampai membentuk tim khusus yang disebut dengan Hisbah, Muhtasib atau anggota pengawas bertugas mengontrol harga barang yang beredar di pasar.
Lalu, bagaimana syariat Islam memandang kartel dan penimbunan? Jelas ajaran agama Islam sangat membenci perilaku tersebut. Dalam Alquran surat Al Hasyr ayat 7 Allah berfirman :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
“….harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (al-Hasyr [59]: 7)
Ar-Razy, dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib menerangkan bahwa memang selayaknya harta tidak boleh beredar di kalangan orang-orang besar saja bahkan menurutnya seharusnya banyak orang fakir miskin yang hidup dari harta orang kaya.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik kartel dan penimbunan jelas merupakan hal terlarang. Sementara praktik ihtikar Nabi Muhammad SAW dengan jelas bersabda:
لا يحتكر إلا خاطئ
“Orang yang melakukan ihtikar pasti dia berdosa.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dari ayat Alquran dan hadits di atas jelas bahwa syariat sangat mengecam kartel dan penimbunan. Maka dari itu para pelaku dituntun syariat agar memiliki kejujuran, rasa simpati kepada konsumen, mengedapankan keamslahatan bersama daripada keuntungan sendiri atau kelompoknya saja. (Ilham Fikri, ed: Nashih)