JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa MUI Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Qurban Saat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Fatwa tersebut memuat argumen MUI soal hewan yang terpapar virus PMK dengan syarat tertentu, tetap sah menjadi hewan qurban.
Fatwa ini, tidak lain sebagai respons merebaknya kasus PMK di peternakan-peternakan se-Indonesia menjelang perayaan Idul Adha. Hari di mana umat muslim melaksanakan ibadah qurban.
Dalam fatwa tersebut, MUI tidak hanya memuat dalil al-Quran, hadis, dan pendapat ulama klasik saja. Fatwa ini, sangat progresif sebab MUI menghadirkan pendapat ahli zoonosis terkait keadaan hewan terpapar PMK dan bagaimana pengaruhnya baik pada daging hewan itu sendiri maupun bagi kesehatan manusia.
Secara spesifik, muatan hadis yang dikutip dalam fatwa di atas menjelaskan kriteria hewan yang tidak sah dijadikan sebagai hewan qurban. Setidaknya ada 4 patokan :
Pertama, buta sebelah matanya yang jelas kebutaannya. Kedua, sakit yang jelas sakitnya. Ketiga, pincang yang jelas pincangnya. Dan terakhir yang kurus kering.
Berarti, selama calon hewan qurban tidak memiliki sifat di atas, hewan tersebut sah sebagai hewan qurban. Lalu, bagaimana status hewan yang terkena PMK? Bukankah hewan ini sudah termasuk hewan pesakitan?
Penjelasan lebih lanjut dari hadis di atas, diterangkan Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Hadhrami dalam al Muqaddimah al-Hadhramiyah (dinukil dari kitab al-Minhaj al Qawim syarh al-Mukaddimah al-Hadhramiyah hal. 307-308):
وأن لا تكون جرباء وإن قل, ولا شديدة العرج ولا عجفاء، ولا مجنونة، ولا عمياء، ولا عوراء، ولا مريضة مرضا يفسد لحمها، وأن لا يبين شيء من أذنها وإن قل أو لسانها أو ضرعها أو أليتها، ولا شيء ظاهر من فخذها، وأن لا تذهب جميع أسنانها،
Tidak sah untuk dijadikan kurban; hewan yang berpenyakit kudis, pincang yang parah, kurus, gila (stress), buta, juling matanya, sakit parah yang dapat merusak dagingnya, putus kupingnya meskipun sedikit, atau lidahnya, atau puting susunya atau pantatnya dan bagian yang nampak dari pahanya. dan rontok semua giginya.”
Dari penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa sakit yang dimaksud dalam hadis adalah sakit parah yang dapat merusak dagingnya.
Sementara hewan yang terpapar virus PMK, menurut keterangan koordinator Zoonosis drh. Cahyani Widiastuti, drh. Supratikno, M. Si. dan Dr. drh. Deni Widaya Lukman, M. Si. tentang ihwal penyakit mulut dan kuku yang disampaikan pada rapat Komisi Fatwa MUI di kantor MUI tanggal 27 Mei 2022 yang antara lain :
1) Gejala klinis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah dan kualitas daging yang dihasilkan, dengan demikian daging hewan yang terkena PMK tetap layak konsumsi dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
2) Penyakit mulut dan kuku tidak menular kepada manusia.
3) Virus ini mudah dimatikan dengan pemanasan air mendidih minimal 30 menit.
Berangkat dari penjelasan Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Hadhrami dan beberapa ahli zoonisis, MUI menyimpulkan bahwa hewan yang terkena virus PMK dengan catatan masih dalam kategori ringan, tetap sah dijadikan sebagai hewan qurban.
(Ilham Fikri/Angga)