Cinta Yang Memadamkan Bara
Oleh: H. M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil LBM PWNU DKI
Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Cinta adalah kehidupan. Kala cinta hilang dari jiwa seseorang, ia bagaikan hidup dalam kematian. Cinta adalah cahaya. Kala cinta hilang dari hati seseorang, ia bagaikan berada dalam kegelapan. Cinta laksana obat penawar. Kala tak ada cinta, maka hati akan ditimpa penyakit. Cinta adalah nikmat. Jika seseorang tidak mendapatkannya, hidupnya penuh kegelisahan. Orang yang tengah jatuh cinta hanya menginginkan apa yang disukai kekasihnya. Seseorang mencintai apa yang dicintai kekasihnya, dan membenci apa yang dibenci kekasihnya. Cinta membangkitkan kepribadian dan memunculkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya. Cinta juga membebaskan manusia dari sekat-sekat dalam kehidupan.
Cinta Dalam Al-Quran
Cinta Allah kepada manusia tidak terpisah dari cinta manusia kepada-Nya. Al-Quran menegaskan:“Hai Orang-orang yang beriman! Barang siapa diantara kamu murtad dari agamanya, Allah akan mendatangkan golongan lain; Ia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Rendah hati terhadap sesama mukmin, dan bersikap keras terhadap orang kafir. Berjihad di jalan Allah, tiada takut akan celaan orang siapa pun yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang akan dikaruniakan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah meliputi segalanya dan Ia Maha Tahu (QS.Al-Ma’idah : 54).
Mukmin mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada apa saja. Orang beriman mencintai Allah tanpa pamrih. Cinta mereka lahir dari bukti-bukti yang mereka yakini serta pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Indah.
Bagaimana kata-kata cinta dalam al-Quran? Al-Quran menyebut cinta, hubb dan derivasinya 83 kali, sedangkan lawan katanya, benci, bugd-bagda’ sebanyak 5 kali. Kata yang berdekatan dengan bugd ialah sukht, disebut 4 kali; lawan katanya ridha, terulang 73 kali. Hubb dan mahabbah seakar dengan habb yang artinya biji atau inti. Hubb disebut habbat al-qalb, biji atau inti hati, karena keserupaan aktivitasnya. Jika dikatakan,“Aku mencintai seseorang”, berarti “aku menemukan inti hatinya”, sama dengan “aku jadikan hatiku sebagai sasaran dan tujuan cintanya.”
Dalam al-Quran, perasaan cinta antara laki perempuan disebut dengan istilah mawaddah, rahmah, (Q/30:31) syaghafa,(Q/12:30) mail (Q/4:129), dan hubb-mahabbah (Q/12:30). Istilah yang berbeda-beda itu menunjuk pada rumit, mendalam dan ragamnya cinta. Cinta memang memiliki dimensi yang sangat luas dan mendalam dimana perbedaan karakteristik itu akan membawa implikasi pada perbedaan tingkah laku.
Cinta itu sendiri diungkap dalam bahasa Arab dengan tiga kelompok karakteristik, yaitu apresiatif (ta`dzim), penuh perhatian (ihtimaman) dan cinta (mahabbah). Tiga kelompok karakteristik itu terkumpul dalam ungkapan mahabbah, orangnya disebut habib, habibah atau mahbub. Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebut dengan enam puluh istilah jenis cinta, seperti `isyqun (dalam bahasa Indonesia menjadi asyik), hilm, gharam (asmara), wajd, syauq, lahf dan sebagainya. Tetapi, al-Quran hanya menyebut enam term saja.
Cinta Mistikal
Dalam pembacaan tasawuf, kecintaan kepada Allah adalah puncak perjalanan manusia, puncak tujuan seluruh maqam. Setelah mahabbah (cinta), tak ada lagi maqam lain kecuali buah mahabbah itu, seperti syauq (kerinduan), uns (kemesraan) dan rida. Tidak ada maqam sebelum mahabbah kecuali pengantar-pengantar kepadanya, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lainnya.
Guru-guru sufi mengajarkan pada murid-murid mereka bahwa kewajiban mereka adalah memenuhi kehendak Allah, bukan karena sebuah rasa kewajiban, tetapi lebih karena cinta. Sebab, adakah sesuatu yang lebih besar daripada cinta yang tak bersyarat yang manusia persembahkan kepada Tuhannya? Seorang pecinta Tuhan tahu bahwa kesusahan adalah tangan Tuhan Yang Tercinta, yang dia rasakan, dia percayai; bahwa apa pun yang menimpanya untuk kebaikannya semata, karena Tuhan mengetahui apa yang baik bagi pertumbuhan jiwa dan penyucian roh.
Setelah munculnya al-Hallaj. semakin disadari bahwa pengalaman cinta ternyata tidak hanya merupakan keadaan jiwa atau rohani yang diliputi oleh sejenis perasaan, seperti kegairahan dan kemabukan mistikal (wajd dan sukr). Dalam pengalaman cinta yang bersifat transendental, seseorang juga belajar mengenal dan mengetahui lebih mendalam yang dicintai, dan dengan demikian cinta juga mengandung unsur kognitif. Bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah makrifat dan kasyf, tersingkapnya penglihatan batin. Di sini, seorang sufi telah mencapai hakekat dan melihat bahwa hakekat yang tersembunyi di dalam segala sesuatu sebenarnya satu, yaitu wujud dari Pengetahuan, Keindahan dan Cinta-Nya.
Walaupun istilah `isyq tidak terdapat dalam al-Quran, namun para sufi memandang perkataan itu tidak bertentangan artinya dengan mahabbah. Menurut Rumi, `isyq ialah mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi dan membakar kerinduan seseorang sehingga bersedia menempuh perjalanan jauh menemui Kekasihnya.
Banyak ayat al-Quran yang menekankan keutamaan cinta. Misalnya Allah menfirmankan bahwa Dia akan mengaruniakan cinta kepada orang beriman yang berbuat kebajikan. Selain mengandung dimensi religius, ayat ini mengandung dimensi moral dansosial.
Mengenai cinta pada manusia ada dua macam, yaitu cinta mistikal atau rohani dan cinta alami atau kodrati. Cinta mistikal tertuju kepada Tuhan, cinta kodrati tertuju kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar. Cinta jenis kedua ini dapat dijadikan tangga naik menuju cinta mistikal, dan sebaliknya cinta mistikal dapat mengubah bentuk-bentuk cinta yang kedua menjadi lebih tinggi. Pelaksanaan cinta kedua ini dirumuskan oleh al-Quran dengan istilah amar makruf nahi mungkar atau solidaritas sosial yang bertujuan membentuk lingkungan masyarakat yang diridhai Tuhan, berkeadilan, beradab dan berperikemanusiaan.
Cinta mistikal merupakan kecenderungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun kebaikan yang dikandungnya. Dalam al-Quran, ada ayat yang mengemukakan tentang wajibnya manusia mencintai Tuhan supaya manusia mengenal kedudukannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya, atau supaya manusia mengenal dirinya yang hakiki sebagai mahluk spiritual dan asal-usul kerohaniannya, serta kewajiban-kewajibannya dalam memenuhi cintanya tersebut. Memenuhi kewajibannya dalam cinta berarti melakukan perjalanan naik atau transendensi, menembus yang formal menuju yang hakiki.
Ayat al-Quran yang dirujuk dalam melukiskan perlunya jalan cinta dalam tasawuf antara lain ialah,“Aku mencipta jin dan manusia tiada lain supaya mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku” (Q 51:56) Di dalam ayat ini, tersirat pengertian bahwa dalam jalan cinta terdapat pengabdian kepada Yang Dicintai. Selain itu, para sufi juga menghubungkan pencapaian di jalan cinta dan perolehan pengetahuan yang mendalam tentang Yang Hakiki. Ibnu Abbas misalnya menafsirkan perkataan “supaya beribadah kepada-Ku” dalam ayat di atas sebagai “supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui jalan cinta)”
Pendeknya, cinta merupakan kewajiban paling mulia dan fondasi keimanan paling kuat. Setiap perbuatan sesungguhnya digerakkan oleh cinta; cinta yang terpuji maupun tercela. Segala perbuatan penuh keimanan digerakkan oleh dan didasarkan atas cinta kepada Allah.
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ialah cinta taat dan hormat yang terkendali penalaran rasional, bukan didorong oleh perasaan membuta, seperti difirmankan Allah dalam Al-Quran:”Katakanlah, “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku. Allah akan mencintai kamu dan mengampuni segala dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran :31).
Cinta merupakan suatu hubungan timbal balik antara dua belah pihak, yakni manusia dan Allah SWT. Manusia mencintai Allah dan Allah mencintai manusia. Allah mencintai orang-orang yang mencintai-Nya lagi berbuat kebajikan, bertobat, adil, tawakal dan takwa. Sebaliknya, Allah tidak mencintai orang-orang yang tidak mencintai-Nya; yang merusak, melanggar batas, ingkar, zalim, congkak dan yang berkhianat.
Nah, perlulah terus digali dan dikedepankan konsep cinta yang berakar dari Al-Quran. Ikhtiar ini sangat selaras dan wajib adanya ditengah tumbuhnya paham-paham keagamaan yang puritan, radikal dan ekstrim yang cenderung literalis-harfiah sehingga kerap menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara “galak” tanpa cakupan atau sinaran cinta. Dengan mengemukakan aspek cinta yang bersumber dari petunjuk al-Quran, maka keberagamaan kita akan menjadi lebih “hidup dan bermakna”. Semoga.