Agamawan Peduli
Oleh: H.M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil LBM PWNU DKI
Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Belum reda ribut-ribut di ranah ekonomi dan politik, masyarakat tiba-tiba dikagetkan oleh ’tragedi Kanjuruhan’ di Malang yang menimbulkan korban hingga ratusan orang. Fakta-fakta yang tengah menguji negeri kita itu tak hanya mencubit publik, tapi juga pemerintah jadi belingsatan. Setiap kali ada gegeran moral, selalu saja masyarakat dan juga pemerintah jadi gagap. Maklum, “rasa moral” dan “prinsip kepatutan” di negeri ini berasa masih cukup besar hingga kerap menebar “ketersinggungan” yang meluap-luap di mata publik.
Ada apa sebenarnya yang terjadi di negeri yang konon dikenal sebagai negeri agamis, santun dan ramah ini? Adakah yang tidak beres dengan pendidikan moral dan keagamaan hingga menetaskan “budaya salah asuhan”? Ataukah geliat masa yang menggumpal pada budaya kapitalisme dan hedonisme telah mendongkrak sikap permisif? Bagaimana dengan ketegasan hukum di negeri yang dengan lantang menempatkan diri sebagai rechstaat ini?
Wajarlah jika pertanyaan-pertanyaan semacam ini sontak mengemuka. Dan logis pula bila kemudian lebih ditautkan dengan area keagamaan. Agama di negeri ini masih menjadi “rujukan” bagi penatapan utamanya terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan moralitas. Banyak yang memahami bahwa agama dipandang sebagai suatu ajaran yang membebaskan dan memberikan pencerahan (enlightenment) kepada umat manusia. Dari sini pula, memuncahkan kegundahan, kalau begitu agama jangan sampai hanya mengibarkan panji-panji militansi yang verbalistik belaka, agar agama tak mudah disalahkan, karena nyaris semisal setiap ada terorisme, agama menjadi “tertuduh”.
Kemandulan Agama?
Jika masa lalu, hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kendali figur kharismatik, sekarang wilayah budaya di luar agama berkembang pesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang mengglobal yang berujung posisi agama menjadi salah satu variabel saja. Peran dan citra agama tidak lagi sebagai “epicentrum” pencerahan. Image agama sebagai pusat peradaban dan misi keselamatan dipandang telah redup.
Agama-agama besar dunia semuanya memiliki jasa besar dalam pembentukan karakteristik umat manusia dalam format pribadi sehat dengan bimbingan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi, kini peran sosial agama mulai digugat, mengapa agama yang begitu mulia gagal melahirkan tatanan moral yang tangguh secara kolektif? Taruhlah seperti contoh lain soal korupsi yang menyingkapkan fakta justru banyak dilakukan oleh mereka yang beragama. Jadi, jika agama itu memang benar, namun mengapa agama tidak mampu mempengaruhi watak pemeluknya? Apakah kini peran agama hanya hidup pada tataran ritual yang bersifat personal?
Kredibilitas agama-agama tengah dipertaruhkan. Tiba-tiba, agama menjadi tidak populer dalam melahirkan jawaban terhadap masalah sosial yang muncul ke permukaan. Tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang makin menunjukkan fenomena tidak sehat, memicu seolah-olah agama tidak punya nyali dan tak mampu meredamnya.
Spiritualitas agama sering dieksplorasi dalam tema-tema individual. Padahal, keberagamaan yang matang dan sejati–belajar dari psikoanalisis Freud–,tidak bisa dilepaskan dari sifat sosialnya. Memfungsikan kembali aspek etika sosial agama menuntut penafsiran baru dengan masalah sosial sekarang. Yakni, tafsir keagamaan yang berbasis pada aspek sosial dan yang berangkat dari kondisi psikologis menuju ke arah analisis sosial-transformatif dalam rangka tegaknya cita-cita agama yang luhur. Atau, kalau perlu teologi itu sendiri yang harus diformat ulang agar umat jangan terjebak dengan “teologi klasik” yang fatalistik untuk menemukan teologi yang dinamis. Cara berpikir sosial itu mengisyaratkan, praksis agama betul-betul nyata kalau terlibat dalam aksi sosial seturut dengan pengembangan kesadaran dari masing-masing individu.
Gerakan agama menjadi loyo untuk memelihara prestasinya yang amat monumental dalam menegakkan etika dan etos transformasi sosial ketika agama memasuki kehidupan modern. Agama yang pada mulanya hadir membawa perubahan serta penyangga bagi tegaknya etika sosial, sekarang cenderung menjadi himpunan dogma teologis dan layanan ritual untuk menghibur orang-orang yang teralienasi dan termarjinalisasi akibat terperosok dari panggung kehidupan sosial. Agama akhirnya menjadi mandul dan di sisi lain subur mengurus diri sendiri dan melahirkan penganut-penganut yang egois dan tertutup. Pengebirian fungsi sosial agama-agama di sini telah melahirkan wajah agama yang tidak sehat.
Mengutip Robert N. Bellah bahwa fenomena keimanan adalah sebuah misteri tersendiri dalam interaksi manusia dengan Tuhan. Manusia adalah makhluk penafsir yang hanya memberikan kebenaran pada tataran tafsiran. Sementara, hakikat kebenaran terletak pada Tuhan. Inilah makna beyond belief (melampaui iman) yang berarti simbolisasi kehidupan keberagamaan bukan sebuah kebenaran final.
Agama termandulkan peran dan fungsinya jika bergulat pada latar artifisial tafsiran, sementara kehidupan masyarakat senantiasa dinamis dan menuntut peran agama yang signifikan. Pada akhirnya, bagi Bellah, ada dua pilihan pada beyond belief, kita bertindak tanpa mempedulikan hakikat keimanan, atau keimanan itu sendiri pada dasarnya tidak bermakna lagi saat ini.
Seharusnya, agama mampu memposisikan dirinya sebagai wadah pembentukan kesadaran masyarakat. Meminjam istilah Clifford Geertz, agama bisa menjadi kekuatan integrasi dan disintegrasi suatu tatanan masyarakat. Artinya, agama menduduki posisi signifikan dalam kesadaran sosial dan rasional pada masyarakat dalam menentukan pilihan dan tindakan yang akan diambil.
Energi Agama
Para agamawan sebagai juru bicara Tuhan ditantang untuk menyelesaikan urusan-urusan yang lebih konkret dan ditagih kepeduliannya pada masalah-masalah yang paling nyata, memberi keteladanan dan menjadi motivator perubahan. Masyarakat harus diberikan tindakan nyata dalam menggenggam teguh etika dan moralitas. Di sini, agama harus menjadi energi utama bagi setiap pemeluknya untuk berlomba-lomba menjadi makhluk yang bermartabat.
Semua agama harus bersatu padu dalam memerangi penistaan moral (moral abuse) ketimbang membesar-besarkan perbedaan ritual keagamaan untuk memicu konflik sosial. Penegakan hukum pun perlu ditopang oleh penghayatan keagamaan yang mendalam sehingga para penegak hukum mampu amanah dalam menjalankan tugasnya memberantas segala patologi sosial. Arus deras budaya permisif dan kapitalistik harus disandingi dengan kedalaman iman, sehingga mampu menciptakan insan-insan yang handal dan tahan banting.
Nah, berbagai tindak marabahaya moral menjadi pelajaran berharga bahwa inilah saatnya semua agama di negeri kita meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan etos kepedulian, mengukuhkan kualitas pribadi dan menegakkan etika sosial sebagai “panggilan” Tuhan.