Saya teringat 10 tahun lalu, seorang alumni UGM di kawasan Kaliurang beternak Sapi perah untuk hidup, value yang beliau sebutkan dalam beternak dan bertani banyak petani sambil-sambilan, ini terlihat dari banyak variasi tapi tidak paham berapa kuantitas minimal untuk hidup, dengan keterbatasan sumber daya.
Dalam praktiknya beliau berhitung satu kepala bisa hidup dengan minimal 3 ekor sapi perah, dan begitu penambahannya jika bertambah kepala dalam keluarga.
Memang kita bukan yang pertama menanam Alpukat (khusus) di kawasan Rimbo Sago, tetapi juga bukan yang kedua. Di kawasan areal yang mendaki memang menjadi kekhawatiran banyak puncak bukit tergerus karena kehilangan vegetasi yang mampu mengikat tanah secara kuat, insyaallah tanaman akar tunjang ini akan sangat membantu.
Sebagaimana teknik mina padi, di kawasan pegunungan ini, yang hujan dan matahari cukup, pertumbuhan ilalang memang luar biasa, maka ini pertama kali di kawasan ini penanaman ini di tumpang dengan gembalaan kambing, Kambing Kacang kampung yang punya ketahanan dan jangkauan ekplorasi dengan medan yang tangguh.
Kita berharap kambing gembalaan adalah satu tren yang bisa di eksplorasi lebih jauh kedepannya.
Kami mulai bertahap dengan berpartner dengan pemilik tanah, pengelola dan juga investor yang juga memiliki visi yang sama. Semoga Allah berkahi, dan dapat memberikan hasil yang cukup, sehingga ide ini dapat di duplikasikan di daerah sekitar, harapannya menjadi alternatif cara bertani yang lebih produktif, insyaallah.
Untuk kawan-kawan yang berada di daerah jangkauan distribusi, Medan, Pekanbaru, Padang, dan lainnya, dapat bersiap dan menjemput peluang, insyaallah kedepannya bisa berkolaborasi dalam pemanfaatan komoditi tersebut untuk konsumsi end customer.
Kita naikkan pertanian perkebunan kita menuju skala Industri 4.0, harus bisa!!
Montsagoe, 24 Mei 2018 / 8 Ramadhan 1439