All posts by Admin

Junalis Al-Jazeera Shireen Abu Akleh Ditembak Tentara Israel, MUI: Ini Duka Kemanusiaan

JAKARTA– Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan duka mendalam atas wafatnya jurnalis senior media Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang ditembak mati tentara Israel saat bertugas di Pengungsian Jenin, Palestina, Rabu (11/05).

“Kami menyampaikan dua cita, inna lillahi wa inna ilahi rajioun. Kami berduka mendalam atas tragedi pembunuhan terhadap wartawati senior al-Jazeera Shireen Abu Akleh oleh aparat Zionis Israel, ” kata Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI), Buya Sudarnoto Abdul Hakim, dalam keterangan tertulis yang diterima MUIDigital, Jumat (13/05).

Menurutnya, ditembaknya Shireen adalah bukti nyata dan tidak terbantahkan tindakan terorisme yang dilakukan Israel terhadap Jurnalis. Sebelumnya, pada tahun lalu, Israel juga meruntuhkan gedung yang menjadi tempat berkumpulnya para jurnalis.

Apa yang dilakukan Israel itu, ujar Buya Sudarnoto, tidak berbeda dengan teror yang dilakukan kelompok teroris pada umumnya. Mereka bertujuan menimbulkan dan menanamkan perasaan takut di benak masyarakat.

Dia menambahkan, aksi penembakan terhadap Shireen itu juga menandakan pembungkaman suara perjuangan Palestina. Selama ini, Shireen menggambarkan situasi dan kondisi yang riil yang ada di Palestina melalui medianya.

“Pembunuhan Shireen merupakan sebuah kejahatan dan kebiadaan yang tidak boleh dibiarkan terulang. Pembunuhan keji ini kemungkinan besar akan menyasar kalangan tokoh agama, ulama, wartawan, intelektual, aktivis kemanusiaan, dan siapapun juga, ” ujarnya.

Buya Sudarnoto menilai, tindakan Israel ini kemungkinan untuk memperkuat semangat hari kemerdekaan Israel yang diklaim jatuh pada 14 Mei. Pada tanggal tersebut, bendara Stars of David akan dikibarkan di mana-mana dan memicu pertentangan keras. Sementara 15 Mei adalah hari penting Palestina sebagai kaum an-Nakbah.

“Saya memprediksi kekerasan dan kejatahan Israel terhadap Palestina akan meningkat dalam beberapa hari ke depan, ” ujar dia.

Dia pun meminta agar aliansi lintas tokoh agama, jurnalis, intelektual, aktivis kemanusiaan, aktivis HAM, politisi, profesional, bahkan kaum terpelajar seperti mahasiswa mendesak Israel diberi sanksi internasional.

“Bersama dengan masyarakat lainnya, kita perlu memberikan empati dan meningkatkan dukungan terhadap perjuangan rakyat dan bangsa Palestina sekaligus mengecam tindakan Zionis Israel, ” pungkasnya. (Sadam Al-Ghifari/Azhar)



Dua Ketua MUI Sulsel ke Forum IVLP Amerika

dua-ketua-mui-sulsel-ke-forum-ivlp-amerika

Makassar, muisulsel.com – Dua pengurus MUI Sulsel berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti pertemuan The Internasional Visitor Leadership Program (IVLP). Pertemuan pemimpin lintas agama ini dijadwalkan Jumat 13-27 Mei 2022.

Mereka yang berangkat: Ketua MUI Sulsel Bidang Kerukunan Umat Beragama Dr Ir Hj Andi Majdah M Zain M Si yang juga rektor UIM Makassar dan Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Sulsel KH Masykur Yusuf MAg yang juga imam Masjid Al Markaz Al Islami Jend Jusuf.

“Kami akan berdialog dengan pemimpin lintas agama dari beberapa negara di dunia. Jadi, pesertanya tidak saja dari pemimpin Islam tetapi juga dari agama lain,” kata Majdah, ketua Muslimat NU Sulsel, tersebut dalam keterangan tertulisnya kepada media, Jumat (13/5/22).

KH Masykur Yusuf MAg (kiri), Prof KH Nasaruddin Umar MA, Dr Ir Hj Andi Majdah M Zain M Si, dan Agus Arifin Nu’mang (kanan) di Jakarta saat hendak ke Amerika Serikat, Jumat (13/5/22)

Majdah juga menerangkan bahwa nantinya selama berada di Amerika, dirinya bersama dengan para pemimpin lintas agama lainnya akan mengikuti seminar dan workshop tentang kepemimpinan. Kemudian juga akan berkunjung ke Gedung Putih dan beberapa kampus serta dan membangun jaringan kerja sama dengan NGO di Amerika Serikat.

Informasi yang dihimpun, tercatat 25 tokoh sebagai delegasi Indonesia untuk forum IVLP. Dr Majdah dan KH Maskur Yusuf termasuk di antaranya. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA yang memimpin delegasi.

Majdah mengaku senang bisa menjadi wakil Indonesia dalam forum internasional itu. “Berharap forum ini akan menambah wawasan dan berbagi pengalaman bersama semua delegasi bagaimana membangun moderasi beragama di Indonesia.”

Selama di AS, delegasi program IVLP akan melakukan pertemuan dan serangkaian kunjungan di sejumlah lembaga.

Di Los Angles berkunjung ke IMAN Cultural Center, Muslim Public Affairs Council, dan ke University of Southern California Center for Religion and Civic Culture and American Muslim Civic Leadership Institute.

Di San Francisco akan mengunjungi dan berdiskusi di The Graduate Theological Union at Zaytuna College, St Ignatius College Prepatory School.

Sedangkan di Washington DC ke Islamic Society of the Washington Area and Civilizations Exchange and Education Foundation mapun ke All Dulles Area Muslim Society (ADAMS) Center serta ke American Islamic Heritage Museum and Masjid Muhammad.

Delegasi IVLP IPIM juga diagendakan bertemu dan diterima Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington DC ujar Majdah Ketua Umum IPIM, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA menjelaskan sejumlah Alumni IVLP se-Indonesia kembali mendapatkan kesempatan ke AS tindaklanjut dari program yang diselenggarakan atas kerja sama antara Pimpinan Pusat IPIM dengan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

“Sejumlah anggota delegasi yang ditetapkan ditugaskan untuk mengikuti program kunjungan alumni IVLP di Amerika Serikat yang akan dilaksanakan pada tanggal 13-29 Mei 2022,” kata Prof Nasaruddin.

Kabag Humas dan Kerja Sama Universitas Islam Makassar dr Wachyudi Muchsin SH MKes menyampaikan, rombongan berangkat dari bandara International Soekarno Hatta Jakarta turut mengantar Agus arifin Numang Wakil Gubernur Sulawesi Selatan periode 8 April 2008 hingga 15 Februari 2018 bersama keluarga rombongan yang akan berangkat ke Amerika.

“Sebuah kesyukuran civitas akademik UIM karena Rektor UIM DR Ir Hj Andi Majdah M Zain M.Si merupakan satu-satunya pimpinan perguruan tinggi Islam yang dipercaya menjadi bagian dari delegasi program lanjutan International Visitor Leadership Program (IVLP) berkunjung ke negara adidaya Amerika Serikat,” katanya.(Irfan)

The post Dua Ketua MUI Sulsel ke Forum IVLP Amerika appeared first on MUI SULSEL.



Promosi LGBT di Semua Media Harusnya Dilarang – Majelis Ulama Indonesia

promosi-lgbt-di-semua-media-harusnya-dilarang-–-majelis-ulama-indonesia

JAKARTA— Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, Idy Muzayyad menyayangkan komentar dan sikap Menkopolhukam Mahfud MD yang seolah membiarkan dan memperbolehkan promosi lesbian, gay, biseksual dan transgender di ruang publik melalui media.

Idy yang juga mantan Wakil Ketua KPI Pusat Periode 2013-2016 menceritakan KPI pernah mengeluarkan aturan larangan promosi LGBT di media, khususnya radio dan televisi yang menjadi domain pengawasan KPI. Tayangan LGBT dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012.

Larangan tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang LGBT. Karenanya, baik televisi maupun radio, tidak boleh memberikan ruang yang dapat menjadikan perilaku LGBT itu dianggap sebagai hal yang lumrah.

“Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut,” Idy yang juga Direktur Lingkar Informasi, Media dan Analisa Sosial (Limas) ini.

Dia mengingatkan bahwa dalam Undang-undang penyiaran juga menegaskan bagaimana tujuan penyelenggaraan penyiaran. Salah satunya untuk terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa.

“Spiritnya adalah promosi LGBT melalui semua media harusnya dilarang, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang universal. Sementara Pancasila dan undang-undang terkait jelas menyebut kata ketuhanan, keamanan serta ketaatan pada nilai agama,” ungkapnya.

Idy mensinyalir promosi LGBT oleh Deddy Cobuzier, tanggapan Mahfud MD, dan respons elemen masyarakat yang pro terhadap LGBT, bukan berada pada ruang hampa kepentingan terhadap design besar di balik legalisasi LGBT dan setidaknya pembiaran terhadap perilaku menyimpang LGBT.

“Karena memang ada kelompok yang menyusup kemana-kemana dengan menitipkan agen dengan massage yang mengarah pada goal jangka panjang legalisasi LGBT. Hebatnya yang dititipi pesan tersebut kadang tidak sadar atau pura-pura tidak tahu. Dan biasanya atas namanya adalah kemanusiaan dan kesetaraan,” imbuh Idy. (Saddam Al-Ghifari, ed: Nashih)

Source link

The post Promosi LGBT di Semua Media Harusnya Dilarang – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Waki Ketua Komisi Infokom MUI: Promosi LGBT di Semua Media Harusnya Dilarang

JAKARTA— Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, Idy Muzayyad menyayangkan komentar dan sikap Menkopolhukam Mahfud MD yang seolah membiarkan dan memperbolehkan promosi lesbian, gay, biseksual dan transgender di ruang publik melalui media.

Idy yang juga mantan Wakil Ketua KPI Pusat Periode 2013-2016 menceritakan KPI pernah mengeluarkan aturan larangan promosi LGBT di media, khususnya radio dan televisi yang menjadi domain pengawasan KPI. Tayangan LGBT dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012.

Larangan tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang LGBT. Karenanya, baik televisi maupun radio, tidak boleh memberikan ruang yang dapat menjadikan perilaku LGBT itu dianggap sebagai hal yang lumrah.

“Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut,” Idy yang juga Direktur Lingkar Informasi, Media dan Analisa Sosial (Limas) ini.

Dia mengingatkan bahwa dalam Undang-undang penyiaran juga menegaskan bagaimana tujuan penyelenggaraan penyiaran. Salah satunya untuk terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa.

“Spiritnya adalah promosi LGBT melalui semua media harusnya dilarang, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang universal. Sementara Pancasila dan undang-undang terkait jelas menyebut kata ketuhanan, keamanan serta ketaatan pada nilai agama,” ungkapnya.

Idy mensinyalir promosi LGBT oleh Deddy Cobuzier, tanggapan Mahfud MD, dan respons elemen masyarakat yang pro terhadap LGBT, bukan berada pada ruang hampa kepentingan terhadap design besar di balik legalisasi LGBT dan setidaknya pembiaran terhadap perilaku menyimpang LGBT.

“Karena memang ada kelompok yang menyusup kemana-kemana dengan menitipkan agen dengan massage yang mengarah pada goal jangka panjang legalisasi LGBT. Hebatnya yang dititipi pesan tersebut kadang tidak sadar atau pura-pura tidak tahu. Dan biasanya atas namanya adalah kemanusiaan dan kesetaraan,” imbuh Idy. (Saddam Al-Ghifari, ed: Nashih)



Semangat Mempertahankan Kebaikan Ramadhan di Bulan Syawal – Majelis Ulama Indonesia

semangat-mempertahankan-kebaikan-ramadhan-di-bulan-syawal-–-majelis-ulama-indonesia

JAKARTA — Ramadhan telah berlalu. Sebulan penuh umat Muslim berpuasa, diiringi dengan anjuran untuk mengoptimalkan ibadah lainnya di bulan mulia tersebut.

Sebagaimana kewajiban berpuasa yang telah Allah tetapkan selama Ramadhan kepada orang-orang beriman adalah agar mampu mencapai derajat taqwa yang optimal, yaitu menjadi golongan Muttaqin. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Karenanya, tidak berlebihan jika Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullah mengatakan, “Bulan Rajab merupakan bulan menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan sebagai bulan memanen hasil tanaman.”

Selain itu, adagium lain yang dinyatakan olehnya mengenai bulan Ramadhan adalah “Bulan Rajab itu bagaikan angin, bulan Sya’ban bagaikan awan, dan bulan Ramadhan bagaikan hujan.”

Memaknai Semangat Beribadah di Bulan Syawal

Tingginya kualitas serta kuantitas ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim selama Ramadhan, sejatinya merupakan sarana pelatihan untuk bulan-bulan setelahnya.

Waktu yang terus bergerak hingga memasuki bulan Syawal diharapkan mampu meningkatkan ibadah yang telah dilakukan selama Ramadhan. Hal ini berdasarkan derajat taqwa optimal yang dicapai setelah melakukan ibadah puasa. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surah al-Baqarah ayat 183 sebelumnya.

Mengutip pendapat Ibnu Katsir mengenai tafsir surah al-Baqarah ayat 183, bahwa kewajiban puasa pada ayat tersebut dalam konteksnya ditujukkan kepada orang mukmin.

Ibnu Katsir juga menyatakan lafazh shiyam (puasa) bermakna menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh (jima’), serta dibarengi dengan niat ikhlas kepada Allah dengan tujuan membersihkan, menyucikan, dan memurnikan jiwa dari perbuatan yang buruk serta hina.

Konteks menahan diri di atas, berlaku pula pada bulan-bulan setelahnya. Hal ini berarti, perintah menahan diri tidak hanya berhenti di selama Ramadhan tetapi dilakukan secara terus-menerus (kontinyu, istiqomah) hingga bertemu lagi dengan Ramadhan selanjutnya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Semangat ibadah selama Ramadhan, luntur dan menurun ketika memasuki bulan Syawal. Salah satu bukti jelas yang dapat dilihat yaitu kembali sepinya masjid-masjid dari jamaah dan tadarrus Alquran.

Hal tersebut tentu berlawanan dengan semangat bulan Syawal, dimana Islam selalu menganjurkan umatnya untuk meningkatkan kualitas diri dan amal ibadah. Firman Allah dalam surah Hud ayat 112:

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Oleh sebab itu, tempaan selama Ramadhan harus tetap dilanjutkan ketika bulan Syawal serta bulan-bulan berikutnya. Syawal merupakan bulan pertaruhan apakah berpengaruh tempaan yang dilakukan selama Ramadhan terhadap kebaikan diri seseorang di masa mendatang.

Karenanya apabila ia berhasil, dapat dipastikan tempaan selama Ramadhan berbuah seperti yang diharapkan, yaitu mencapai derajat takwa.

Ibadah yang Dapat Dilakukan selama bulan Syawal

Tidak banyak amalan khusus yang ditetapkan pada bulan Syawal dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Meskipun begitu, Allah memberikan kesempatan kepada umat Muslim melakukan puasa selama enam hari yang dikhususkan pada bulan Syawal.

Abu Ayyub Al Anshari radliallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim).

Ibadah sunnah mempunyai kedudukan yang berbeda dengan ibadah wajib. Namun, ibadah tersebut memiliki banyak keutamaan dan nilai pahala. Apabila dilakukan dengan ikhlas, tentu ganjaran pahala kebaikan dari Allah akan didapatkan oleh orang yang mengerjakannya.

Di samping itu, anjuran puasa sunah Senin-Kamis, puasa sunah tiga hari (al-ayyam al-bidh) pada tanggal 13, 14 dan 15 pada tiap bulan, dan beberapa puasa sunah yang lain
merupakan ibadah yang dapat dilakukan untuk mengisi semangat pada bulan Syawal.

Selain berpuasa, Rasulullah juga menganjurkan untuk melakukan shalat malam. Ibadah tersebut tentu saja tidak hanya berlaku pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda: 

“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan istrinya, jika istrinya menolak ia percikkah air ke wajahnya, dan semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan suaminya, jika suaminya menolak ia percikkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud).   ​​​​​​​

Demikian pula dengan ibadah-ibadah lain yang dilakukan selama Ramadhan dapat dilanjutkan pada bulan-bulan setelahnya. Ibadah tersebut meliputi membaca Al-Quran, shalat malam, infaq, sedekah, dan ibadah lainnya.

Setelah berlalunya Ramadhan, muhasabah diri dan melanjutkan segala amal shaleh yang telah dilakukan merupakan hasil yang diharapkan semasa tempaan kala Ramadhan.

Selama diberi kesempatan untuk melakulan amal shaleh, pada bulan apapun itu segeralah untuk melaksanakannya. Tidak perlu menunggu Ramadhan selanjutnya untuk rutin membaca Alquran, berinfaq, dan bersedekah. Pada bulan-bulan lain pun ampunan Allah amat sangat luas bagi hamba-Nya yang ingin bertaubat dan mendekatkan diri pada-Nya.

Wallahu’alam

(Isyatami Aulia/Fakhruddin)

Source link

The post Semangat Mempertahankan Kebaikan Ramadhan di Bulan Syawal – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Semangat Mempertahankan Kebaikan Ramadhan di Bulan Syawal

JAKARTA — Ramadhan telah berlalu. Sebulan penuh umat Muslim berpuasa, diiringi dengan anjuran untuk mengoptimalkan ibadah lainnya di bulan mulia tersebut.

Sebagaimana kewajiban berpuasa yang telah Allah tetapkan selama Ramadhan kepada orang-orang beriman adalah agar mampu mencapai derajat taqwa yang optimal, yaitu menjadi golongan Muttaqin. Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Karenanya, tidak berlebihan jika Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullah mengatakan, “Bulan Rajab merupakan bulan menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan sebagai bulan memanen hasil tanaman.”

Selain itu, adagium lain yang dinyatakan olehnya mengenai bulan Ramadhan adalah “Bulan Rajab itu bagaikan angin, bulan Sya’ban bagaikan awan, dan bulan Ramadhan bagaikan hujan.”

Memaknai Semangat Beribadah di Bulan Syawal

Tingginya kualitas serta kuantitas ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim selama Ramadhan, sejatinya merupakan sarana pelatihan untuk bulan-bulan setelahnya.

Waktu yang terus bergerak hingga memasuki bulan Syawal diharapkan mampu meningkatkan ibadah yang telah dilakukan selama Ramadhan. Hal ini berdasarkan derajat taqwa optimal yang dicapai setelah melakukan ibadah puasa. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surah al-Baqarah ayat 183 sebelumnya.

Mengutip pendapat Ibnu Katsir mengenai tafsir surah al-Baqarah ayat 183, bahwa kewajiban puasa pada ayat tersebut dalam konteksnya ditujukkan kepada orang mukmin.

Ibnu Katsir juga menyatakan lafazh shiyam (puasa) bermakna menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh (jima’), serta dibarengi dengan niat ikhlas kepada Allah dengan tujuan membersihkan, menyucikan, dan memurnikan jiwa dari perbuatan yang buruk serta hina.

Konteks menahan diri di atas, berlaku pula pada bulan-bulan setelahnya. Hal ini berarti, perintah menahan diri tidak hanya berhenti di selama Ramadhan tetapi dilakukan secara terus-menerus (kontinyu, istiqomah) hingga bertemu lagi dengan Ramadhan selanjutnya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Semangat ibadah selama Ramadhan, luntur dan menurun ketika memasuki bulan Syawal. Salah satu bukti jelas yang dapat dilihat yaitu kembali sepinya masjid-masjid dari jamaah dan tadarrus Alquran.

Hal tersebut tentu berlawanan dengan semangat bulan Syawal, dimana Islam selalu menganjurkan umatnya untuk meningkatkan kualitas diri dan amal ibadah. Firman Allah dalam surah Hud ayat 112:

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Oleh sebab itu, tempaan selama Ramadhan harus tetap dilanjutkan ketika bulan Syawal serta bulan-bulan berikutnya. Syawal merupakan bulan pertaruhan apakah berpengaruh tempaan yang dilakukan selama Ramadhan terhadap kebaikan diri seseorang di masa mendatang.

Karenanya apabila ia berhasil, dapat dipastikan tempaan selama Ramadhan berbuah seperti yang diharapkan, yaitu mencapai derajat takwa.

Ibadah yang Dapat Dilakukan selama bulan Syawal

Tidak banyak amalan khusus yang ditetapkan pada bulan Syawal dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Meskipun begitu, Allah memberikan kesempatan kepada umat Muslim melakukan puasa selama enam hari yang dikhususkan pada bulan Syawal.

Abu Ayyub Al Anshari radliallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim).

Ibadah sunnah mempunyai kedudukan yang berbeda dengan ibadah wajib. Namun, ibadah tersebut memiliki banyak keutamaan dan nilai pahala. Apabila dilakukan dengan ikhlas, tentu ganjaran pahala kebaikan dari Allah akan didapatkan oleh orang yang mengerjakannya.

Di samping itu, anjuran puasa sunah Senin-Kamis, puasa sunah tiga hari (al-ayyam al-bidh) pada tanggal 13, 14 dan 15 pada tiap bulan, dan beberapa puasa sunah yang lain
merupakan ibadah yang dapat dilakukan untuk mengisi semangat pada bulan Syawal.

Selain berpuasa, Rasulullah juga menganjurkan untuk melakukan shalat malam. Ibadah tersebut tentu saja tidak hanya berlaku pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda: 

“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan istrinya, jika istrinya menolak ia percikkah air ke wajahnya, dan semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, kemudian ia shalat dan membangunkan suaminya, jika suaminya menolak ia percikkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud).   ​​​​​​​

Demikian pula dengan ibadah-ibadah lain yang dilakukan selama Ramadhan dapat dilanjutkan pada bulan-bulan setelahnya. Ibadah tersebut meliputi membaca Al-Quran, shalat malam, infaq, sedekah, dan ibadah lainnya.

Setelah berlalunya Ramadhan, muhasabah diri dan melanjutkan segala amal shaleh yang telah dilakukan merupakan hasil yang diharapkan semasa tempaan kala Ramadhan.

Selama diberi kesempatan untuk melakulan amal shaleh, pada bulan apapun itu segeralah untuk melaksanakannya. Tidak perlu menunggu Ramadhan selanjutnya untuk rutin membaca Alquran, berinfaq, dan bersedekah. Pada bulan-bulan lain pun ampunan Allah amat sangat luas bagi hamba-Nya yang ingin bertaubat dan mendekatkan diri pada-Nya.

Wallahu’alam

(Isyatami Aulia/Fakhruddin)



Sekjen MUI: Jadikan Bulan Syawal Untuk Meneguhkan Persaudaraan

JAKARTA – Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI), Buya Amirsyah Tambunan, mengajak umat Islam di bulan Syawal ini untuk meneguhkan persaudaraan.

“Syawalan lebih bersifat substantif untuk meneguhkan persaudaraan berdasarkan iman dan amal soleh,”kata Sekjen MUI kepada MUIDigital, Kamis (12/5/2022).

Hal ini menurut Buya Amirsyah, juga berdasarkan Quran Surah Al-Maryam ayat 96.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا

Artinya: “Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).”

Buya Amirsyah mengingatkan agar umat Islam senantiasa menjadikan bulan Syawal ini sebagai titik balik peningkatan ketakwaan dengan mengajarkan dan menerapkan pada keseimbangan antara hubungan manusia dan Allah SWT.

Dijelaskan Buya Amirsyah, Islam mengajarkan keseimbangan antara habluminAllah (hubungan baik dengan Allah) dan habluminannas (hubungan sesama manusia).

Buya Amirsyah memberikan contoh cara menjadi orang bertakwa dari sisi habluminannas (hubungan sesama manusia) adalah bersilaturahmi.

Buya Amirsyah menyebutkan bahwa bersilaturahmi bisa menjadi titik balik seseorang untuk bisa menjadi orang yang bertakwa.

“Sebab ketaqwaan harus berdasarkan habluminAllah dan hablumminannas,”tuturnya.

Sementara itu, pada kesempatan berbeda, Buya Amirsyah juga mengingatkan bahwa persaudaraan (ukhuwah) adalah harga mati.

Menurut Buya Amirsyah, ukhuwah harus diutamakan apa pun perbedaannya, tidak boleh ada toleransi untuk tidak melakukan persaudaraan (ukhuwah).

“(Termasuk) Pilihan politik boleh beda, tetapi ukhuwah bukan pilihan, melainkan kewajiban yg harus kita pentingkan,”ujarnya beberapa waktu yang lalu.

Buya Amirsyah menjelaskan, ukhuwah adalah kosakata atau diksi yang harus dipegang kuat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karenanya, kata dia, manusia memang masing-masing berbeda dengan memiliki kelebihan dan kelemahan.

Dengan begitu, Buya Amirsyah menegaskan, bahwa masyarakat tidak usah mempermasalahkan perbedaan dalam pilihan hidup bermasyarakat.

Hanya saja, Buya Amirsyah mengingatkan bahwa perbedaan yang tidak boleh ditoleransi adalah perbedaan yang berkaitan dengan ushuliyah (kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya).

“Yang tidak boleh adalah dalam hal ushuliyah yang sengaja kita buat perbedaan-perbedaan, lalu menghasilkan penyimpangan, ini yang harus diamputasi,” jelasnya.

(Sadam Al-Ghifari/Angga)



LGBT adalah Penyakit yang Harus Diobati, Bukan Ditoleransi – Majelis Ulama Indonesia

lgbt-adalah-penyakit-yang-harus-diobati,-bukan-ditoleransi-–-majelis-ulama-indonesia

RIAU – Konten podcast milik Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan Gay menjadi viral di sosial media. Artis tersebut dianggap telah mempromosikan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Hal tersebut menuai banyak komentar dan juga kritik dari berbagai pihak.

Melihat hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia melalui Kiai Cholil Nafis selaku Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah menyampaikan bahwa tindakan mempromosikan LGBT merupakan hal yang tidak dibenarkan.

“LGBT ini tidak patut untuk disiarkan dan menjadi konsumsi publik, LGBT adalah penyakit yang harus diobati, bukan dibiarkan denggan dalih toleransi,” ujarnya, (12/05).

Kiai Cholil menjelaskan bahwa di dalam Islam tidak diperbolehkan untuk meniru lawan jenis, baik prilaku maupun hal lainnya. Kata Kiai Cholil, secara tidak langsung, Islam juga telah melarang adanya LGBT.

Kiai mengungkapkan bahwa pada tahun 2021 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa terkait LGBT. Hal tersebut dijelaskan pada Fatwa nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan.

Dalam fatwa tersebut, MUI menjelaskan bahwa perilaku menyukai sesama jenis adalah perilaku menyimpang yang harus diluruskan.

“Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan. Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah),” demikian kata Kiai Cholil.

Lebih lanjut, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI pusat itu juga menyampaikan bahwa umat muslim harus tetap menyayangi pelaku LGBT tersebut. Selaku umat muslim tidak dibenarkan membiarkan mereka (pelaku LGBT) terjerumus dalam hal – hal yang sudah sangat jelas dilarang dalam Islam.

“Cara menyayangi mereka (Pelaku LGBT) bukanlah dengan cara membiarkan mereka tumbuh dengan ketidak normalan. Tetapi cara kita menyayangi mereka adalah kembalikan mereka kepada kenormalan mereka, yaitu laki–laki menikahi perempuan dan perempuan dinikahi laki–laki,” tutur beliau.

Kiai Cholil menegaskan bahwa tindakan LGBT merupakan tindakan ketidaknormalan. Apabila dibiarkan secara terus-menerus, dikhawatirkan akan banyak yang terjerumus dalam ketidaknormalan tersebut.

Secara rasional, jika tindakan LGBT ini tidak segera ditangani maka akan berdampak besar terhadap generasi bangsa Indonesia. Pelaku LGBT tidak dapat memperoleh keturunan, yang artinya tidak akan memberikan generasi berikutnya untuk bangsa Indonesia. (Dhea Oktaviana/Angga)

Source link

The post LGBT adalah Penyakit yang Harus Diobati, Bukan Ditoleransi – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Salat Berjamaah Tiba-tiba Ingin Buang Angin, Solusinya?

salat-berjamaah-tiba-tiba-ingin-buang-angin,-solusinya?

TANYAmuisulsel.com- Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh
Saya ingin menanyakan perihal tentang shalat berjamaah. Apa yang harus dilakukan ketika kita salat berjamaah tiba2 ingin buang angin, sementara kita berada pada shaf terdepan…syukran

Oleh warga 085255123xxx

JAWABAN:

Boleh juga meninggalkan saf melewati depan saf kedua untuk memperbaharui wudunya karena hal tersebut adalah sesuatu yang mendesak.

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Pada suatu hari aku datang dengan mengendarai keledai, pada waktu itu aku sudah dewasa. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang salat bersama para sahabat di Mina tanpa ada dinding di depannya (sebagai penghalang). Kemudian aku lewat di depan sebagian saf mereka. Lalu, aku turun dan aku biarkan keledai makan, kemudian aku masuk ke dalam saf dan tidak ada satu pun yang mengingkari perbuatanku tadi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, ini lafaz Bukhari).

Hadis ini menunjukkan boleh lewat di depan saf makmum yang sedang salat berjamaah karena Nabi Saw dan para sahabatnya tidak menegur Ibnu Abbas atas apa yang telah dilakukannya.

Tapi harus diperhatikan, hendaknya dilakukan jika memang ada keperluan mendesak agar tidak mengganggu orang yang sedang salat tanpa ada keperluan atau alasan kuat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Suatu ketika salat berjamaah magrib di Masjid Nabawi, imam tiba-tiba membatalkan salatnya dan meminta jamaah untuk menunggu sebab sang imam berhadas dan ingin berwudu. Seusai berwudu, imam kembali memimpin salat magrib.

The post Salat Berjamaah Tiba-tiba Ingin Buang Angin, Solusinya? appeared first on MUI SULSEL.



Kiai Cholil Nafis: LGBT adalah Penyakit yang Harus Diobati, Bukan Ditoleransi

RIAU – Konten podcast milik Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan Gay menjadi viral di sosial media. Artis tersebut dianggap telah mempromosikan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Hal tersebut menuai banyak komentar dan juga kritik dari berbagai pihak.

Melihat hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia melalui Kiai Cholil Nafis selaku Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah menyampaikan bahwa tindakan mempromosikan LGBT merupakan hal yang tidak dibenarkan.

“LGBT ini tidak patut untuk disiarkan dan menjadi konsumsi publik, LGBT adalah penyakit yang harus diobati, bukan dibiarkan denggan dalih toleransi,” ujarnya, (12/05).

Kiai Cholil menjelaskan bahwa di dalam Islam tidak diperbolehkan untuk meniru lawan jenis, baik prilaku maupun hal lainnya. Kata Kiai Cholil, secara tidak langsung, Islam juga telah melarang adanya LGBT.

Kiai mengungkapkan bahwa pada tahun 2021 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa terkait LGBT. Hal tersebut dijelaskan pada Fatwa nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan.

Dalam fatwa tersebut, MUI menjelaskan bahwa perilaku menyukai sesama jenis adalah perilaku menyimpang yang harus diluruskan.

“Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan. Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah),” demikian kata Kiai Cholil.

Lebih lanjut, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI pusat itu juga menyampaikan bahwa umat muslim harus tetap menyayangi pelaku LGBT tersebut. Selaku umat muslim tidak dibenarkan membiarkan mereka (pelaku LGBT) terjerumus dalam hal – hal yang sudah sangat jelas dilarang dalam Islam.

“Cara menyayangi mereka (Pelaku LGBT) bukanlah dengan cara membiarkan mereka tumbuh dengan ketidak normalan. Tetapi cara kita menyayangi mereka adalah kembalikan mereka kepada kenormalan mereka, yaitu laki–laki menikahi perempuan dan perempuan dinikahi laki–laki,” tutur beliau.

Kiai Cholil menegaskan bahwa tindakan LGBT merupakan tindakan ketidaknormalan. Apabila dibiarkan secara terus-menerus, dikhawatirkan akan banyak yang terjerumus dalam ketidaknormalan tersebut.

Secara rasional, jika tindakan LGBT ini tidak segera ditangani maka akan berdampak besar terhadap generasi bangsa Indonesia. Pelaku LGBT tidak dapat memperoleh keturunan, yang artinya tidak akan memberikan generasi berikutnya untuk bangsa Indonesia. (Dhea Oktaviana/Angga)



MUI Sulsel Dukung Pengaderan IPNU: Undang juga Ormas Lain

mui-sulsel-dukung-pengaderan-ipnu:-undang-juga-ormas-lain

“IPNU harus aktif di masjid untuk menangkal paham yang radikal. IPNU harus mengundang Ormas lain dalam pengaderan dakwah sehingga bisa bertukar [pikiran].” Anregurutta Prof Dr KH Najamuddin Abduh Shafa Lc MA

Makassar, muisulsel.com – Ketua Umum MUI Sulsel AG Prof Dr KH Najamuddin Abduh Shafa Lc MA mendukung program pengaderan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama atau IPNU wilayah Sulsel bulan ini.

“Kita akan siapkan pemateri untuk kegiatan pengaderan jika diperlukan,” kata Anregurutta Najamuddin saat menerima rombongan audiens pengurus DPW IPNU Sulsel, di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22).

Ketua Umum MUI Sulsel Anregurutta Prof Dr Najamuddin AS Lc MA (jas hitam) saat menerima rombongan audiens pengurus DPW IPNU Sulsel, di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22).

Ketua DPW IPNU Sulsel Zulkifli Azis yang memimpin rombongan IPNU Sulsel ke MUI. Zulkifli menyampaikan, pengaderan dijadwalkan tanggal 26-29 Mei ini. Dia pun meminta sumbangsih dan saran MUI Sulsel untuk pengaderan IPNU zaman sekarang.

Anregurutta menyarankan, “IPNU harus aktif di masjid untuk menangkal paham yang radikal. IPNU harus mengundang Ormas lain dalam pengkaderan dakwah sehingga bisa bertukar [pikiran].”

Ketua Umum MUI Sulsel Anregurutta Prof Dr Najamuddin AS Lc MA (jas hitam) saat menerima rombongan audiens pengurus DPW IPNU Sulsel, di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22).

Wakil Ketua Umum MUI Sulsel KH Mustari Bosrah MA juga menyarankan IPNU perlu menggandeng Ormas pemuda lainnya untuk sama-sama menangkal bahaya paham radikal dan berita bohong atau hoaks di media sosial.

Menurut KH Mustari, kehadiran Ormas pemuda lain juga mendorong cara berpikir bijak, antiradikalisme, “Makin luas wawasan seorang maka makin bijak memahami perbedaan mazhab.”

Ketua bidang Infokom MUI Sulsel DR H M Ishak Samad MEd berharap pengaderan tak sekadar formalitas, tetapi juga harus militan terhadap organisasi. Pun Ishak menyarankan IPNU gencar berdakwah lewat teknologi digital.

Selain KH Mustari dan Ishak Samad, hadir pula sejumlah pengurus MUI Sulsel menemani Anregurutta saat IPNU berkunjung. Mereka, Ketua Bidang Fatwa Dr KH Ruslan Wahab MA, Bendahara Umum Ir H Andi Thaswin Abdulllah,

Sekretaris Bidang Infokom Prof Dr H Sukardi Weda SS M Hum, Prof Drs H Burhanuddin Arafah M Hum PhD, Wakil Sekretaris Umum Dr Ilham Hamid S Ag M Pd.

Beberapa saat sebelum pertemuan IPNU, para pengurus MUI Sulsel tersebut menerima kunjungan Kepala BIN Daerah Sulsel Brigjen TNI Dwi Surjadmodjo dan rombongan di tempat yang sama.

Baca juga: Setahun Jabat Kabinda, Dwi Surjadmodjo Sejam Sowan ke MUI Sulsel

IPNU merupakan organisasi pelajar Nahdliyyin (masyarakat paham ke-NU-an) yang kini menjelang usia 68 tahun. IPNU di bawah naungan Nahdlatul Ulama. (Irfan)

 

The post MUI Sulsel Dukung Pengaderan IPNU: Undang juga Ormas Lain appeared first on MUI SULSEL.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Setahun Jabat Kabinda, Surjadmodjo Sejam Sowan ke MUI Sulsel

setahun-jabat-kabinda,-surjadmodjo-sejam-sowan-ke-mui-sulsel

Makasssr, muisulsel.com – Brigjen TNI Dwi Surjadmodjo memasuki setahun menjabat kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Sulsel. Sebuah harapan Surjadmodjo dicurahkan kepada MUI Sulsel, Rabu (11/5/2022).

Dukungan MUI Sulsel harapan Surjadmodjo ketika sowan lebih sejam ke Ketua Umum MUI Sulsel Prof Dr KH Najamuddin Abduh Shafa Lc MA, di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, sore tadi.

“Kami sangat berharap pendampingan dari Ulama MUI karena memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni untuk berdebad dengan aliran Islam radikal,” kata Surjadmodjo, mantan Kasubdit Sumatera Wilayah I pada Direktorat Sumatera dan Kalimantan Deputi Bidang Intelijen Dalam Negeri BIN.

Kabinda Sulsel Brigjen TNI Dwi Surjadmodjo bersama ketua umum dan pengurus MUI Sulsel di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22) sore.

Anregurutta Najamuddin mengamini dan
berharap peningkatan peran BIN Sulsel dalam mengahadapi Islam yang radikal.

“Ada dua yang harus dipenuhi yang pertama pangan dan kedua keamanan,” kata Anregurutta.

Terkait kemanan beragama di Sulsel, Najamuddin berharap BIN Sulsel terus melakukan koordinasi dengan ulama ke MUI Sulsel untuk memberi penerangan dan penjelasan.

Wakil Ketua Umum MUI Sulsel Dr KH Mustari Bosrah MA menambahkan perkataan Anregurutta, BIN juga harus andil dalam menangkal konten berita bohong atau hoaks dan konten provokatif di media sosial.

Kabinda Sulsel Brigjen TNI Dwi Surjadmodjo bersama Ketua Umum MUI Sulsel Prof Dr KH Najamuddin AS (jas hitam/tengah) dan pengurus MUI Sulsel di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22) sore.

Selain Anregurutta dan KH Mustari, sejumlah pengurus MUI Sulsel lainnya juga hadir menerima rombongan Surjadmodjo.

Mereka, Ketua Bidang Fatwa MUI Sulsel Dr KH Ruslan Wahab MA, Bendahara Umum MUI Sulsel Ir H Andi Thaswin Abdullah, Ketua Bidang Infokom MUI Sulsel Dr H Ishak Samad M Ed,

Sekretaris Bidang Infokom MUI Sulsel Prof DR H Sukardi Weda SS M Hum, Ketua Bidang Ekonomi Pemberdayaan Syariah Prof DR H Arfin Hamid SH MH, Ketua Bidang Seni Budaya Islam MUI Sulsel Prof Drs Burhanuddin Arafah M Hum PhD, Wakil Sekretaris Umum MUI Sulsel Dr Ilham Hamid S Ag M Pd.

Kabinda Sulsel Brigjen TNI Dwi Surjadmodjo (ketiga dari kiri) bersama ketua umum dan pengurus MUI Sulsel di kantor MUI Sulsel, Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (11/5/22) sore.0

Surjadmodjo lebih sejam bercengkrama dengan para ulama Sulsel. Dia didampingi Koordinator BIN Daerah Sulsel Wilayah Kota Makassar Mayor Inf Syamsudin.

Surjadmodjo tercatat sebagai kepala BIN Daerah Sulsel sejak tanggal 26 April 2021. (Irfan)

The post Setahun Jabat Kabinda, Surjadmodjo Sejam Sowan ke MUI Sulsel appeared first on MUI SULSEL.



MUI Sulsel Tanggapi Hoaks yang Catut Wapres Ma’ruf: Ikut Share juga Dosa

mui-sulsel-tanggapi-hoaks-yang-catut-wapres-ma’ruf:-ikut-share-juga-dosa

Makassar, muisulsel.com – Hoaks lagi-lagi dialamatkan ke Wapres RI KH Ma’ruf Amin. Kali ini nama KH Ma’ruf dicatut ke sebagai judul video: “Cara Sholat Jenazah ala Wapres Ma’ruf Amin pakai RUKUK dan SUJUD”. MUI Sulsel mengingatkan, berdosa jika orang ikut menyebarluaskan berita bohong semacam itu.

“Sungguh itu sudah mengarah pada fitnah dan karena itu sebaiknya kita tidak share hal-hal yang mengarah kepada fitnah. Apalagi, dialamatkan pada tokoh tertentu sebagai wapres dan juga sebagai ulama, tidak mungkin melakukan seperti itu,” kata Sekretaris Umum MUI Sulsel Dr KH Muammar Bakry Lc MA kepada muisulsel.com, Rabu (11/5/22).

KH Muammar Bakry yang juga dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, mengungkapkan, ada hadis yang menyatakan, Kafaa bilmar’i kaziban anyahdutsa bimaa yasma’: ‘Seorang itu sudah dianggap pembohong pendusta kalau dia menyampaikan sesuatu yang belum valid’.

“Nah, ini share seperti ini kalau kita lakukan, berita yang tidak valid, apalagi mengarah pada fitnah maka kita menjadi bagian dari orang yang terdaftar sebagai pembohong, apalagi kalau misalnya itu mengarah kepada fitnah, berarti kita juga menjadi pemfitnah atau tukang fitnah. Ini, dua ini, dua dosa yang kita tidak sadari bahwa kita sudah masuk daftar pembohong, dan yang kedua adalah pemfitnah,” tutur Muammar, imam besar Masjid Al Markaz Al Islami Jend Jusuf Makassar.

Sebelum menutup penyampaiannya, Muammar, mengingatkan lagi, “Jadi mohon hati-hati share seperti ini.”

Pakar: Hoaks alias Bohong

Pakar Telematika, Roy Suryo, melalui akun Twitter @KRMTRoySuryo2, mengelarifikasi video hoaks tersebut dengan mengunggah postingan di akun Twitter, Selasa (10/5/2022).

Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga RI, memastikan konten berjudul “Cara Sholat Jenazah ala Wapres Ma’ruf Amin, Pakai RUKUK dan SUJUD” tersebut hoaks alias berita bohong.

“Beredar Video HOAX yg disebut2 ‘Cara Sholat Jenazah ala Wapres Ma’ruf Amin, Pakai RUKUK & SUJUD,” tulis anggota DPR RI, tersebut.

Roy Suryo menulis pula, pria yang membungkuk di depan peti jenazah bukanlah KH Ma’ruf Amin.

Dari bendera yang ada di peti mati misalnya, Roy Suryo memastikan acara pelepasan jenazah tersebut bukan di Indonesia.

“Itu bukan TKP di Indonesia, kalau melihat BENDERA diatas Peti adalah bendera SERAWAK, negara bagian Malaysia,” tulis Roy Suryo.

Tangkapan layar cuitan Roy Suryo soal video ‘Cara Sholat Jenazah ala Wapres Ma’ruf Amin, Pakai Rukuk dan Sujud’. /Tangkap layar: Twitter/@KRMTRoySuryo2

The post MUI Sulsel Tanggapi Hoaks yang Catut Wapres Ma’ruf: Ikut Share juga Dosa appeared first on MUI SULSEL.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Puncak Beragama adalah Beramal dengan Ikhlas, Bukan Menang Debat

puncak-beragama-adalah-beramal-dengan-ikhlas,-bukan-menang-debat

Saat ini banyak sekali ahli debat dan ceramah agama, namun sedikit sekali teladan dalam menjalankan agama dengan ikhlas dan tulus. Dahulu ada salah satu guru kami mengamalkan hadits مَن صلى الفجرَ في جماعةٍ ، ثم قَعَد يَذْكُرُ اللهَ حتى تَطْلُعَ الشمسُ ، ثم صلى ركعتينِ ، كانت له كأجرِ حَجَّةٍ وعُمْرَةٍ تامَّةٍ ، تامَّةٍ ، […]

Artikel Puncak Beragama adalah Beramal dengan Ikhlas, Bukan Menang Debat pertama kali di publikasikan oleh MUI Jatim.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia

halal-bihalal-menurut-bahasa-dan-esensi-peran-sosial-keagamaannya-–-majelis-ulama-indonesia

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.

Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.

Source link

The post Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



Halal Bihalal Menurut Bahasa dan Esensi Peran Sosial Keagamaannya

Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.

Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.

Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.

Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.

Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.

Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”

Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.

Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.

Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.

Esensi halal bihalal

Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)

Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.

Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)


مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.

Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.


Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.

Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.



LAZISNU Seputih Agung, Lampung Tengah Gelar Pelatihan Amil Zakat – Majelis Ulama Indonesia

lazisnu-seputih-agung,-lampung-tengah-gelar-pelatihan-amil-zakat-–-majelis-ulama-indonesia

Lampung Tengah: Jajaran keluarga besar pengurus Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, mengadakan agenda istimewa yakni pelatihan amil zakat, Rabu (27/4/2022) bertepatan 25 Ramadhan 1443 H.

Hal tersebut disampaikan, Ketua LAZISNU Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Kiai Miftakhul Munir, disela-sela agenda tersebut Rabu (27/4/2022) pagi di gedung Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah.

“Semoga pelatihan ini dapat bermanfaat sekaligus menjadikan bekal amil zakat dalam menunaikan pelaksanaan pengumpul dan pembagian zakat fitrah di wilayah Kecamatan Seputih Agung, dan sekitarnya” tambahnya.

Ketua PC Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lampung Tengah, masa khidmat 2017-2022, Kiai Muhammad Masykur, S.Sy, selaku narasumber, menyampaikan beberapa materi antaralain; siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat fitrah, siapa saja dan bagaimana syaratnya mustahik yang berhak menerima zakat fitrah, syarat-syarat menjadi Amil yang sah, baik sah menurut undang undang, maupun sah menurut aturan agama, besaran ukuran kadar zakat fitrah menurut empat Madzhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali dan sekaligus fungsi zakat menurut syariat agama, sekaligus manfaat secara Sosial.

Sekretaris MWCNU Kecamatan Seputih Agung, Ahmad Muhlison, S.Pd.I, menambahkan, agenda ini, pelatihan amil zakat, infaq dan shodaqoh Kecamatan Seputih Agung ini, diikuti sebanyak 350 orang, dari berbagai wilayah Kecamatan diantaranya Kecamatan Seputih Agung 310 Peserta, Kecamatan Terusan Nunyai 6 orang, Kecamatan Terbanggi besar 10 orang, Kecamatan Way Pengubuan 10 orang, Kecamatan Anak Tuha 4 orang, Kecamatan Bekri 5 orang, dan dari Kabupaten Lampung Utara 5 orang.

Pada kesempatan tersebut dibagikan SK Amil Zakat, sebanyak 107 SK, berbasis masjid dan musholla se Kecamatan Seputih Agung.

Hadir dalam acara tersebut, Rais Syuriah MWC NU Seputih Agung, Ketua Tanfidziyah MWC NU Seputih Agung, Kiai Ikhsan, Babinkamtibmas dari Polsek Terbanggi besar, dan lain-lain.

Secara sosiologis dan geografis Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah terdiri atas Sepuluh (10) Kampung / Desa, yaitu; Harapan Rejo, Endang Rejo, Dono Arum, Simpang Agung, Bumi Kencana, Gayau Sakti, Fajar Asri, Muji Rahayu, Sulusuban, dan Bumi Mas. (Akhmad Syarief Kurniawan)

Source link

The post LAZISNU Seputih Agung, Lampung Tengah Gelar Pelatihan Amil Zakat – Majelis Ulama Indonesia first appeared on Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta.



LAZISNU Seputih Agung, Lampung Tengah Gelar Pelatihan Amil Zakat

lazisnu-seputih-agung,-lampung-tengah-gelar-pelatihan-amil-zakat

Lampung Tengah: Jajaran keluarga besar pengurus Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, mengadakan agenda istimewa yakni pelatihan amil zakat, Rabu (27/4/2022) bertepatan 25 Ramadhan 1443 H.

Hal tersebut disampaikan, Ketua LAZISNU Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Kiai Miftakhul Munir, disela-sela agenda tersebut Rabu (27/4/2022) pagi di gedung Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah.

“Semoga pelatihan ini dapat bermanfaat sekaligus menjadikan bekal amil zakat dalam menunaikan pelaksanaan pengumpul dan pembagian zakat fitrah di wilayah Kecamatan Seputih Agung, dan sekitarnya” tambahnya.

Ketua PC Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lampung Tengah, masa khidmat 2017-2022, Kiai Muhammad Masykur, S.Sy, selaku narasumber, menyampaikan beberapa materi antaralain; siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat fitrah, siapa saja dan bagaimana syaratnya mustahik yang berhak menerima zakat fitrah, syarat-syarat menjadi Amil yang sah, baik sah menurut undang undang, maupun sah menurut aturan agama, besaran ukuran kadar zakat fitrah menurut empat Madzhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali dan sekaligus fungsi zakat menurut syariat agama, sekaligus manfaat secara Sosial.

Sekretaris MWCNU Kecamatan Seputih Agung, Ahmad Muhlison, S.Pd.I, menambahkan, agenda ini, pelatihan amil zakat, infaq dan shodaqoh Kecamatan Seputih Agung ini, diikuti sebanyak 350 orang, dari berbagai wilayah Kecamatan diantaranya Kecamatan Seputih Agung 310 Peserta, Kecamatan Terusan Nunyai 6 orang, Kecamatan Terbanggi besar 10 orang, Kecamatan Way Pengubuan 10 orang, Kecamatan Anak Tuha 4 orang, Kecamatan Bekri 5 orang, dan dari Kabupaten Lampung Utara 5 orang.

Pada kesempatan tersebut dibagikan SK Amil Zakat, sebanyak 107 SK, berbasis masjid dan musholla se Kecamatan Seputih Agung.

Hadir dalam acara tersebut, Rais Syuriah MWC NU Seputih Agung, Ketua Tanfidziyah MWC NU Seputih Agung, Kiai Ikhsan, Babinkamtibmas dari Polsek Terbanggi besar, dan lain-lain.

Secara sosiologis dan geografis Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah terdiri atas Sepuluh (10) Kampung / Desa, yaitu; Harapan Rejo, Endang Rejo, Dono Arum, Simpang Agung, Bumi Kencana, Gayau Sakti, Fajar Asri, Muji Rahayu, Sulusuban, dan Bumi Mas. (Akhmad Syarief Kurniawan)



LAZISNU Seputih Agung, Lampung Tengah Gelar Pelatihan Amil Zakat

lazisnu-seputih-agung,-lampung-tengah-gelar-pelatihan-amil-zakat

Lampung Tengah: Jajaran keluarga besar pengurus Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, mengadakan agenda istimewa yakni pelatihan amil zakat, Rabu (27/4/2022) bertepatan 25 Ramadhan 1443 H.

Hal tersebut disampaikan, Ketua LAZISNU Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Kiai Miftakhul Munir, disela-sela agenda tersebut Rabu (27/4/2022) pagi di gedung Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah.

“Semoga pelatihan ini dapat bermanfaat sekaligus menjadikan bekal amil zakat dalam menunaikan pelaksanaan pengumpul dan pembagian zakat fitrah di wilayah Kecamatan Seputih Agung, dan sekitarnya” tambahnya.

Ketua PC Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lampung Tengah, masa khidmat 2017-2022, Kiai Muhammad Masykur, S.Sy, selaku narasumber, menyampaikan beberapa materi antaralain; siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat fitrah, siapa saja dan bagaimana syaratnya mustahik yang berhak menerima zakat fitrah, syarat-syarat menjadi Amil yang sah, baik sah menurut undang undang, maupun sah menurut aturan agama, besaran ukuran kadar zakat fitrah menurut empat Madzhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali dan sekaligus fungsi zakat menurut syariat agama, sekaligus manfaat secara Sosial.

Sekretaris MWCNU Kecamatan Seputih Agung, Ahmad Muhlison, S.Pd.I, menambahkan, agenda ini, pelatihan amil zakat, infaq dan shodaqoh Kecamatan Seputih Agung ini, diikuti sebanyak 350 orang, dari berbagai wilayah Kecamatan diantaranya Kecamatan Seputih Agung 310 Peserta, Kecamatan Terusan Nunyai 6 orang, Kecamatan Terbanggi besar 10 orang, Kecamatan Way Pengubuan 10 orang, Kecamatan Anak Tuha 4 orang, Kecamatan Bekri 5 orang, dan dari Kabupaten Lampung Utara 5 orang.

Pada kesempatan tersebut dibagikan SK Amil Zakat, sebanyak 107 SK, berbasis masjid dan musholla se Kecamatan Seputih Agung.

Hadir dalam acara tersebut, Rais Syuriah MWC NU Seputih Agung, Ketua Tanfidziyah MWC NU Seputih Agung, Kiai Ikhsan, Babinkamtibmas dari Polsek Terbanggi besar, dan lain-lain.

Secara sosiologis dan geografis Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah terdiri atas Sepuluh (10) Kampung / Desa, yaitu; Harapan Rejo, Endang Rejo, Dono Arum, Simpang Agung, Bumi Kencana, Gayau Sakti, Fajar Asri, Muji Rahayu, Sulusuban, dan Bumi Mas. (Akhmad Syarief Kurniawan)