All posts by Darul Funun

Menghadiri Waqf Report 2019 Report di Kuala Lumpur

Waqf Report 2019 Report di Kuala Lumpur yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, INCEIF dan ISRA.

Menjadi perkembangan penting dimana entitas-entitas sosio ekonomi dalam Islam diperkenalkan dan diterima dalam skala global.

Menjadi peran kita berikutnya adalah memainkan peranan dalam memajukan dan menunjukkan kepada dunia tentang perspektif kita.

Karena setelah masa periode Khalifah atau Kerajaan, banyak aset wakaf selain milik pemerintahan di hapuskan dikarenakan perbedaan politik ataupun pandangan, akan tetapi secara organik perkembangan aset sosial waqf ini tidak dapat dicegah, dia adalah proses alami dari pelaku sosial budaya untuk memperbaiki dan memberdayakan diri komunitasnya.

Tentu ada pro dan kons, justru hal tersebut menjadi tantangan kedepan bagaimana kondisi di Indonesia menjadi unik. Kita memiliki BWI dalam skala negara, kita memiliki Dept Agama untuk negara yang bukan berbentuk negara Islam yang juga mengelola “waqf”, kita memiliki NGO-NGO yang bergerak dengan dana infaq, zakat dan waqf, dan kita juga memiliki yayasan-yayasan pendidikan yang menjadi tulang punggung dalam sejarah.

Sehingga penting di masa-masa kedepan perspektif waqf di Indonesia khususnya Darulfunun perlu dibagi ke dunia, mungkin hanya Indonesia yang menjalankan praktek waqf inklusif dengan regulator pemerintah tetapi memberikan ruang yang lebih besar.

Karena kita memberikan daya kekuatan kepada ummah untuk menolong diri mereka, bukan saja sekedar memberikan daya kekuatan (dalam bentuk regulasi dsb) kepada kita untuk menolong mereka.

Laporan dari dalam forum ini hadir pengurus Yayasan, Angku Abdullah A Afifi.



Ibnu Battuta dan Samudra Pasai

Ibnu Battuta di versi wiki dia lahir pada February 25, 1304 & wafat 1368. Sedangkan Az Zarkali mencantumkan 1304-1377 M / 703-779 H.

Jika bukan karena pertanyaan satu pembaca kemarin yang memberikan pranala bukunya, mungkin tidak tergerak saya melihat-lihat bukunya yang agung berjudul “Ar Rihlah”. Kita mungkin pernah dengar namanya disebut hanya dibuku-buku sejarah sekolah. Buku ini merupakan rangkuman perjalanan Ibnu Battuta keliling dunia. Travelnya selama 27 tahun ini membuat Sultan Maroko takjub, sehingga memohon agar beliau sudi membukukannya. Akhirnya beliau meminta muridnya untuk menulis apa yang beliau diktekan.

Versi waqfeya dapat 800 halaman dalam 1 jilid, tahqiqnya basic & susah di trace. Versi syamila, dicetak oleh kerajaan Maroko sebanyak 5 jilid dan lengkap dgn daftar pustaka, tapi footnote sayang tidak disalinkan. Awal mulanya karya Ibnu Battuta ini kurang tersebar di dunia. Tapi itu biasa, banyak jagoan yang terkenal baru belakangan.

Kita keduluan dua abad untuk baca buku ini. Para orientalis abad 19 menemukan kitab ini duluan, diantaranya oleh H.A.R Gibb, seorang orientalis besar. Dan segera setelah itu dicetak besar-besaran dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sambutan dan pujian bule-bule cukup keterlaluan, puluhan paper ilmiah lahir dari menganalisa kitab ini di abad 19-20. Karena sampai zaman Ibnu Battuta, sangat langka ada eksplorer yang merekam kehidupan disegala penjuru dunia. Jawaharlal Nehru, pendiri negara India sampai mengatakan “This is a record of travel which is rare enough today with our many conveniences…. In any event, Ibnu Battuta must be amongst the great travelers of all time”.

Tapi sampai sekarang belum ada yang berbahasa Indonesia, padahal ini buku mencantumkan bukti paling sahih bahwa negara Indonesia itu memiliki eksistensi, bahwa ada kerajaan Islam pertama Samudera Pasai, bahwa ada kerajaan Majapahit, bahwa negeri kita adalah negeri kaya rempah-rempah. Bahwa semua barang yang Ibnu Battuta pernah lihat di negeri lain, mesti ada di Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara laut terkuat di dunia zaman itu.

Jadi, siapakah Ibnu Battuta?

Ibnu Battuta adalah petualang muslim Maroko abad 14 M dan tergolong ulama juga. Beliau memulai perjalanannya dari mulai berangkat haji dari Maroko pada usia 21 tahun yang memakan waktu 16 bulan. Sejak itu, dia merantau selama 24 tahun dan tidak kembalik ke Maroko. Total beliau sudah melancong sejauh 120 ribu km dan berkunjung ke 44 negara. Bahkan Marco Polo pun masih kalah jauh, karena total perjalanan Marco tidak ada setengah dari Ibnu Battuta.

Perjalanannya dimulai pertama kali berkendara dengan keledai, lalu kemudian bergabung dengan karavan jamaah haji. Rute haji zaman itu rawan bandit, dan beliau juga pernah jadi korbannya. Singgah di Mesir, beliau mengambil kuliah hukum Islam, lalu kemudian lanjut ke Mekkah. Beliau pernah bermimpi ada seekor burung besar dan membawanya mengangkasa jauh ke arah timur. Seorang syekh menafsirkan mimpinya bahwa dia akan berjalan melintasi dunia, maka beliau pun tergerak mewujudkan mimpinya.

Dia mengunjungi negeri-negeri seperti Iraq, persia, negeri-negeri arab, somalia, swahili, lalu juga turki, asia tengah, asia tenggara, sampai china. Dia menempuh bahaya dan menantang maut sepanjang perjalanan, mulai dari ketemu bandit, nyaris tenggelam di kapal yang karam, hampir dipenggal penguasa tiran, dan bahkan lolos dari Black Death. Black Death adalah penyakit pandemik paling mematikan zaman itu, merenggut hampir 200 juta jiwa seantero Arab, Afrika, dan sampai Eropa. Keganasannya belum bisa ditandingi oleh flu burung, AIDS, asian flu dan sepuluh besar penyakit pandemik dunia digabung jadi satu. Kita bisa bayangkan makhluk bernama Ibnu Battuta ini nyawanya mungkin sampai sembilan!

Selama travelnya tersebut, beliau sering kali singgah cukup lama dan pemerintah setempat senang sekali meminta jasanya dan mengangkatnya berkali-kali sebagai hakim. Beliau menjadi pejabat untuk banyak negara. Sebagai pejabat dan orang paling dibutuhkan dunia, banyak sudah perbekalan dan hadiah yang beliau dapat untuk membiayai hidupnya. Mulai dari tahta, harta, permata, sampai wanita. Itulah cara beliau menghidupi diri dan membiayai perjalanannya.

Perjalanan terjauhnya adalah sampai China. Battuta menggambarkan Mongol China sebagai “negara paling aman dan terbaik bagi para pelancong” dan memuji keindahan alamnya, tetapi ia juga mengeluhkan keyakinan musyrik yang umumnya dipegang bangsa tersebut.

Tapi beliau ke China saat pemerintahan Mongol dipegang kaum muslimin. Beliau gambarkan ketika di Kanton bahwa negeri tersebut banyak masjid jami, zawiya, orang saleh, hakim dan ulama, madrasah, dan syiar2 Islam umumnya nampak di negeri islam lainnya. Bertamu kepada Auhidudin As Sanjari, seorang hartawan terkemuka, selama 14 hari. Beliau menyebut bahwa jarak kota itu dari Tembok Yajuj & majuj sejauh 60 hari perjalanan. Beliau tidak berani kesana karena rumornya, setiap orang yang tiba disana akan jadi santapan penduduk. Beliau juga mampir ke kota seperti Hangzhou yang beliau gambarkan “kota terbesar yang pernah saya lihat di muka bumi”.

Sultan Jawa

Beliau melawat ke Samudra Pasai tahun 1345, yaitu dalam rangka perjalanan ke China. Karena untuk sampai ke China dari India, mestilah melewati Aceh dulu. Saat itu, kerajaan Samudra Pasai dipimpin raja keduanya, Sultan Malikuzh Zhahir bin Sultan Malikus Saleh. Ibnu Battua menyebut bahwa kerajaan ini bermadzhab syafii, yang rajanya sangat saleh, cinta pada ulama dan rajin mengaji. Raja juga seorang mujahid, seorang yang tawadhu. Beliau berangkat ke mesjid dengan berjalan kaki. Rakyatnya pun sangat taat dan senang jika diajak berjihad. Bayangkan, saat itu negeri kita dikelilingi penyembah berhala, bahkan menurut Marco Polo, ada juga bangsa primitif pemakan manusia. Sultan selalu menang mengalahkan negeri-negeri sekitarnya, sehingga negeri tersebut akan ditariki pajak atau jizyah.

Oiya, meskipun pulau tersebut sejak dulu disebut dengan nama “Sumatra”, tapi negeri Indonesia sejak dulu disebut orang dengan nama “Negeri Jawa”. Bahkan sampai sebelum kemerdekaan kita berubah nama jadi Indonesia, orang2 muslim diluar sana selalu menyebut kita “Orang Jawa”. Setelah kemerdekaan, makna Jawa jadi menyempit kepada pulau yang berada di tengah2 Indonesia agak kebawah sono. Pada masa itu, Samudra Pasai adalah pelosok terjauh Darul Islam (wilayah berpemerintahan Islam), karena sesuai perkataan sultan Malikuzh zhahir, tidak ada lagi wilayah lain di sebelah timur Samudra Pasai yang diperintah penguasa Muslim.

Saat pertama kali datang ke istananya, kata Ibnu Bathutah, ia bertemu dengan wakil sultan yang bernama Umdatul Malik, Dengan ramah, ia memberikan salam dan menyalami Ibnu Bathutah, lalu kemudia menulis surat kepada Sang Sultan untuk memberitahukan kedatangan tamu jauhnya tersebut.

Ibnu Bathutah melanjutkan ceritanya,”Beberapa saat kemudian, pelayan datang sambil membawa kotak pakaian. Wakil sultan mengambilnya dan aku juga ikut mengambilnya. Setelah itu, aku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan peristirahatan. Biasanya, wakil sultan pergi ke balai istana sesudah shalat subuh dan tidak pulang kecuali setelah isya’ akhir. Begitu juga para menteri dan pembesar kerajaan. Wakil sultan mengambil tiga jenis kain dari kota pakaian tersebut: yang pertama, kain sutra murni; yang kedua kain sutra bercampur katun; dan yang ketiga kain sutra bercampur kapas.Kemudian para pelayan datang membawa makanan. Makanan yang dikeluarkan berupa nasi dengan beraneka ragam lauk. Setelah itu, didatangkan daun sirih sebagai pertanda acara selesai. Kami lalu mengambil daun sirih tersebut dan berdiri. Wakil sultan juga berdiri untuk menghormat kami. Kami lalu keluar dari balai dan menuju kuda tunggangan. Wakil sultan juga mengambil kuda tunggangan. Setelah itu, kami pergi ke sebuah kebun yang diberi pagar kayu. Di tengah-tengah kebun terdapat rumah yang terbuat dari kayu. Di bagian bawah rumah tersebut dihampari tikar.”

Ia kembali menceritakan,

“Menurut kebiasaan sultan, tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba, agar letihnya perjalanan menjadi hilang. A̷k̷u̷ ̷k̷e̷m̷u̷d̷i̷a̷n̷ ̷d̷i̷t̷e̷m̷p̷a̷t̷k̷a̷n̷ ̷d̷i̷ ̷b̷a̷i̷t̷ ̷a̷d̷h̷-̷d̷h̷u̷y̷u̷f̷ ̷(̷w̷i̷s̷m̷a̷ ̷t̷a̷m̷u̷)̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷t̷e̷r̷l̷e̷t̷a̷k̷ ̷d̷i̷ ̷t̷e̷n̷g̷a̷h̷-̷t̷e̷n̷g̷a̷h̷ ̷t̷a̷m̷a̷n̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷r̷i̷n̷d̷a̷n̷g̷,̷ ̷d̷e̷n̷g̷a̷n̷ ̷p̷e̷p̷o̷h̷o̷n̷a̷n̷ ̷h̷i̷j̷a̷u̷ ̷d̷a̷n̷ ̷b̷u̷n̷g̷a̷-̷b̷u̷n̷g̷a̷ ̷b̷e̷r̷a̷n̷e̷k̷a̷ ̷r̷u̷p̷a̷.̷ ̷P̷a̷r̷a̷ ̷p̷e̷l̷a̷y̷a̷n̷ ̷d̷i̷ ̷w̷i̷s̷m̷a̷ ̷t̷a̷m̷u̷ ̷i̷t̷u̷ ̷t̷e̷r̷d̷i̷r̷i̷ ̷d̷a̷r̷i̷ ̷a̷n̷a̷k̷-̷a̷n̷a̷k̷ ̷m̷u̷d̷a̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷p̷e̷r̷a̷m̷a̷h̷.̷ ̷K̷e̷c̷u̷a̷l̷i̷ ̷n̷a̷s̷i̷ ̷d̷a̷n̷ ̷r̷o̷t̷i̷ ̷s̷e̷m̷a̷c̷a̷m̷ ̷m̷a̷r̷t̷a̷b̷a̷k̷ ̷(̷r̷o̷t̷i̷ ̷c̷a̷n̷e̷)̷,̷ ̷a̷k̷u̷ ̷d̷i̷h̷i̷d̷a̷n̷g̷i̷ ̷a̷n̷e̷k̷a̷ ̷b̷u̷a̷h̷-̷b̷u̷a̷h̷a̷n̷,̷ ̷s̷e̷p̷e̷r̷t̷i̷ ̷p̷i̷s̷a̷n̷g̷,̷ ̷a̷p̷e̷l̷,̷ ̷a̷n̷g̷g̷u̷r̷,̷ ̷r̷a̷m̷b̷u̷t̷a̷n̷ ̷d̷a̷n̷ ̷s̷e̷b̷a̷g̷a̷i̷n̷y̷a̷.̷

Hari keempat, aku masih beristirahat di wisma tamu yang mewah itu. Saat itu, kebetulan hari Jumat. Menteri Luar Negeri Al-Isfahany memberitahuku bahwa aku akan diterima menghadap sultan setelah Shalat Jumat, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu. Setelah semua berkumpul, aku memperhatikan, yang mana Sultan Malik Azh-zhahir di antara ribuan Jamaah Masjid Jami’ yang luas itu. S̶e̶m̶u̶a̶ ̶o̶r̶a̶n̶g̶ ̶s̶a̶m̶a̶,̶ ̶b̶e̶r̶p̶a̶k̶a̶i̶a̶n̶ ̶p̶u̶t̶i̶h̶.̶ ̶J̶u̶g̶a̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶t̶e̶r̶s̶e̶d̶i̶a̶ ̶t̶e̶m̶p̶a̶t̶ ̶k̶h̶u̶s̶u̶s̶ ̶b̶a̶g̶i̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶a̶n̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶a̶d̶a̶ ̶o̶r̶a̶n̶g̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶d̶i̶b̶e̶r̶i̶ ̶p̶e̶n̶g̶h̶o̶r̶m̶a̶t̶a̶n̶ ̶s̶e̶p̶e̶r̶t̶i̶ ̶l̶a̶y̶a̶k̶n̶y̶a̶ ̶p̶a̶r̶a̶ ̶r̶a̶j̶a̶ ̶d̶i̶ ̶z̶a̶m̶a̶n̶ ̶i̶t̶u̶.̶ ̶“̶A̶p̶a̶k̶a̶h̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶s̶a̶k̶i̶t̶ ̶s̶e̶h̶i̶n̶g̶g̶a̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶k̶e̶ ̶M̶a̶s̶j̶i̶d̶ ̶?̶”̶ ̶t̶a̶n̶y̶a̶k̶u̶ ̶d̶a̶l̶a̶m̶ ̶h̶a̶t̶i̶.̶

Selesai shalat Jumat, Al-Isfahany mempersilahkan aku memasuki aula masjid yang luas itu, dan aku diperkenalkan kepada Sultan Malik Azh-Zhahir yang telah terlebih dahulu masuk ke aula dan masih berpakaian putih. Di dalam aula yang berwibawa itu, telah datang terlebih dahulu para menteri, para ulama terkemuka, para pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab. Aku didudukkan di sebelah kanan sultan. Selesai makan siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya. Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu sangat menarik.

S̶e̶m̶u̶l̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶h̶a̶d̶i̶r̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶m̶u̶k̶a̶k̶a̶n̶ ̶p̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶n̶y̶a̶ ̶m̶a̶s̶i̶n̶g̶-̶m̶a̶s̶i̶n̶g̶,̶ ̶s̶e̶k̶a̶l̶i̶p̶u̶n̶ ̶k̶a̶d̶a̶n̶g̶-̶k̶a̶d̶a̶n̶g̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶r̶i̶t̶i̶k̶ ̶k̶e̶b̶i̶j̶a̶k̶s̶a̶n̶a̶a̶n̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶.̶ ̶S̶e̶m̶u̶a̶ ̶p̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶ ̶d̶i̶t̶e̶r̶i̶m̶a̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶e̶n̶g̶a̶n̶ ̶s̶e̶n̶y̶u̶m̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶s̶e̶j̶u̶k̶.̶ Setelah waktu shalat ashar, semua kembali ke ruang masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat ashar, Sultan Malik Azh-Zhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan lima belas menit kemudian beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi dengan pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para pengawalnya, sultan pulang ke istana.

D̶i̶ ̶k̶i̶r̶i̶ ̶d̶a̶n̶ ̶k̶a̶n̶a̶n̶ ̶j̶a̶l̶a̶n̶ ̶r̶a̶k̶y̶a̶t̶ ̶b̶e̶r̶j̶e̶j̶e̶r̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶l̶u̶-̶e̶l̶u̶k̶a̶n̶ ̶S̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶a̶d̶i̶l̶ ̶i̶t̶u̶.̶ ̶A̶k̶u̶ ̶b̶e̶r̶p̶i̶k̶i̶r̶,̶ ̶r̶u̶p̶a̶n̶y̶a̶ ̶w̶a̶k̶t̶u̶ ̶b̶e̶r̶a̶n̶g̶k̶a̶t̶ ̶d̶a̶r̶i̶ ̶i̶s̶t̶a̶n̶a̶ ̶m̶e̶n̶u̶j̶u̶ ̶M̶a̶s̶j̶i̶d̶,̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶h̶a̶n̶y̶a̶l̶a̶h̶ ̶h̶a̶m̶b̶a̶ ̶A̶l̶l̶a̶h̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶i̶a̶s̶a̶ ̶s̶e̶p̶e̶r̶t̶i̶ ̶r̶a̶k̶y̶a̶t̶ ̶l̶a̶i̶n̶n̶y̶a̶,̶ ̶t̶e̶t̶a̶p̶i̶ ̶w̶a̶k̶t̶u̶ ̶p̶u̶l̶a̶n̶g̶ ̶k̶e̶ ̶i̶s̶t̶a̶n̶a̶ ̶b̶a̶r̶u̶l̶a̶h̶ ̶b̶e̶l̶i̶a̶u̶ ̶t̶a̶m̶p̶i̶l̶ ̶s̶e̶b̶a̶g̶a̶i̶ ̶S̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶a̶r̶i̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶.̶ ̶A̶k̶u̶ ̶m̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶i̶ ̶b̶a̶h̶w̶a̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶ ̶a̶d̶a̶l̶a̶h̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶I̶s̶l̶a̶m̶ ̶p̶e̶r̶t̶a̶m̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶e̶r̶d̶i̶r̶i̶ ̶d̶i̶ ̶t̶a̶n̶a̶h̶ ̶M̶e̶l̶a̶y̶u̶.̶ ̶T̶e̶r̶n̶y̶a̶t̶a̶,̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶ ̶t̶e̶l̶a̶h̶ ̶m̶e̶m̶p̶u̶n̶y̶a̶i̶ ̶t̶a̶m̶a̶d̶d̶u̶n̶ ̶(̶p̶e̶r̶a̶d̶a̶b̶a̶n̶)̶ ̶d̶a̶n̶ ̶h̶u̶b̶u̶n̶g̶a̶n̶ ̶l̶u̶a̶r̶ ̶n̶e̶g̶e̶r̶i̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶a̶i̶k̶.̶Di sini aku tinggal selama 15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina.”

Pandangan saya, inilah keterangan paling jelas tentang awal Islam di nusantara. Karena dikatakan Sultan bahwa tidak ada negeri dibelakang Samudra Pasai yang memeluk agama Islam. Maka segala klaim2 yg bilang Islam masuk Indonesia sejak zaman sahabat nabi SAW atau zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, jelas keliru.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
NB: Saya terpaksa mengedit tulisan ini dan menggaris-garis sejumlah kalimat sebagaimana diatas. Sebagian besarnya tulisan diatas yang bagian kutipan Ibnu Battutah, saya salin dari terjemah yang ada di internet (ini kesalahan saya). Saya salin buta karena bagian-bagian tersebut tidak ketemu di kitab aslinya, dan bagian tersebut terasa bagus dibenak saya. Setelah saya cross check betul-betul di dua versi kitab aslinya, ternyata bagian tersebut sebetulnya tidak ada, alias ini buatan penerjemah Indonesia AKA al kautsar yang tidak amanah dalam menerjemahkan buku ini. Penerjemah melakukan terjemah dengan merubah2 isi, menghilangkan sebagian kalimat, paragraf, bahkan lompat satu sampai dua halaman. Menakjubkan!
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!



Haji Agus Salim: Tokoh Pergerakan Islam, Diplomat dan Pahlawan Kemerdekaan Nasional

Saat mengunjungi Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta dan ziarah ke makam Haji Agus Salim (1884 – 1954), saya merenung betapa sebagai anak bangsa kita patut bangga dan bersyukur negeri ini pernah melahirkan seorang tokoh pergerakan, pemimpin, negarawan, ulama, intelektual, diplomat dan sastrawan yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata orang Indonesia. Haji Agus Salim seorang tokoh nasional yang disegani dunia, nama besarnya tersimpan di hati sanubari rakyat Indonesia, yang menurut Prof. Dr. Hamka hanya sekali dalam 100 tahun dimunculkan Tuhan ke dunia ini.

Perjalanan hidup Haji Agus Salim sejak muda tidak terpisah dari denyut nadi perjuangan bangsa. Sepanjang hayatnya, ia mencurahkan pemikiran dan berjuang untuk kemajuan umat Islam dan kemuliaan martabat bangsa Indonesia agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Presiden RI Pertama Soekarno menyebut Haji Agus Salim, “The Grand Old Man” dan “Ulama Intelek”.

Putra Koto Gadang

Haji Agus Salim dilahirkan di Koto Gadang pada 8 Oktober 1884. Ayahnya Sutan Muhammad Salim seorang Jaksa Pengadilan Negeri. Koto Gadang sebuah nagari (desa) di Kabupaten Agam, dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi Sumatera Barat. Di zaman penjajahan, orang Koto Gadang sudah lebih maju daripada penduduk nagari-nagari (desa) lain di Minangkabau. Masyarakat Koto Gadang dikenal sebagai masyarakat terpelajar. Semenjak awal kemerdekaan banyak orang Koto Gadang menjadi dokter, pegawai negeri (ambtenaar), pemimpin masyarakat, pejabat pemerintah, tokoh politik, diplomat dan tentara.

Setamat dari ELS (Europese Lagere School) di Koto Gadang, Agus Salim melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) di Jakarta dan lulus dengan predikat terbaik. Ia bercita-cita menjadi dokter, namun keuangan orangtuanya tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah kedokteran.

Dalam kurun waktu 1906 sampai 1911 Haji Agus Salim bekerja sebagai penterjemah pada Konsulat di Jeddah. Selama tinggal di Arab Saudi ia memanfaatkan kesempatan untuk belajar bahasa Arab dan mendalami agama Islam kepada pamannya Syeikh Ahmad Khatib, ulama besar Minangkabau yang mengajar di Arab Saudi dan menjadi Imam Masjidil Haram. Sepulang dari Arab Saudi, sebelum memasuki gelanggang perjuangan lebih luas, ia mendirikan sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School) swasta di Koto Gadang.

Tokoh Pergerakan Islam

Haji Agus Salim merupakan genre awal dalam hirarki pucuk kepemimpinan umat Islam Indonesia dan tokoh senior di lingkaran pergerakan Islam masa pra-kemerdekaan. Di era Kebangkitan Nasional, Haji Agus Salim merupakan tokoh terkemuka Sarekat Islam (SI) di samping H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis.

Sejak 1915 Haji Agus Salim menjadi Pengurus Besar Centraal Sarekat Islam.Sekitar tahun 1927 ia menghadiri Muktamar Alam Islami di Mekkah. Setelah acara muktamar selesai, Raja Abdul Aziz Bin Saud secara khusus mengundang Haji Agus Salim untuk bersilaturahim di istana raja.

Tahun 1921 sampai 1924 Haji Agus Salim menjadi Anggota Volksraad, Dewan Rakyat di zaman kolonial, sebagai wakil Sarekat Islam. Jauh sebelum Sumpah Pemuda,  bahasa Melayu/Indonesia telah digunakan dalam sidang Volksraadoleh Haji Agus Salim, meski ditegur oleh Ketua Volksraad yang memintanya berpidato dalam bahasa Belanda. Ia mengundurkan diri karena keberadaan sebagai anggota Volksraad tidak membawa manfaat yang diharapkan bagi kepentingan rakyat Indonesia.

Pada 1921 berlangsung Kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres dipimpin oleh Haji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam kongres itu dibahas upaya mengurangi perselisihan tentang soal-soal furu’ dan khilafiyah serta mencari jalan bagaimana mewujudkan persatuan aliran dan kerjasama di antara kaum muslim di tanah air. Dalam Kongres Al-Islam II di Garut, Haji Agus Salim menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan sosialisme dan kecaman terhadap kapitalisme.

Pada kesempatan lain Haji Agus Salim menegaskan pentingnya persatuan Islam dan menyerukan pentingnya fungsi Majelis Ulama. Kepentingan mendirikan Majelis Ulama terus dikemukakannya dalam Kongres Sarekat Islam di Pekalongan tahun 1927. Pembentukan Majelis Ulama akhirnya terwujud dalam Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta, Januari 1928.

Dalam Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya tahun 1924 yang dihadiri lebih kurang 1.000 orang dari kalangan Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kumpulan organisasi lainnya membicarakan apakah umat Islam Indonesia akan menyertai gerakan khilafat, Haji Agus Salim mengemukakan, “Nasionalisme berdasar Islam ialah memajukan negeri dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.” Dalam kegiatan politik pasca kemerdekaan Haji Agus Salim ikut mereorganisasi Masyumi, namun tidak sempat melihat Masyumi mengikuti Pemilihan Umum Pertama tahun 1955. Sejarah mencatat Haji Agus Salim kemudian mengambil posisi sebagai orang non-partai.

Ia seorang ulama intelek yang berpikir progresif dalam kerangka menangkap esensi ajaran Islam yang membawa spirit kemajuan. Di depan Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1927 Haji Agus Salim mengkritisi pemisahan laki-laki dan perempuan di dalam rapat umum. Kebiasaan demikian menurutnya adalah kebiasaan bangsa Arab, bukan berasal dari perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan agama lain yang memandang posisi wanita lebih rendah daripada laki-laki. Islam sebaliknya memelopori emansipasi wanita. Sesuai surat An-Nur ayat 30 tidak ada keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.

Dalam artikel khutbah jumat berjudul Persatuan Islam di surat kabar Dunia Islam tanggal 23 Maret 1923 Haji Agus Salim menandaskan, “Kehidupan di dunia itu ialah kehidupan pergaulan. Dan pergaulan itu berdiri atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban beberapa pihak, yang satu kepada yang lain, dan berhubungan pula antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu agama Islam tidak boleh menjadi pakaian atau urusan orang masing-masing sendiri atau atas dirinya sendiri. Perintah-perintah Islam untuk keperluan kesentosaan hidup segala manusia dan untuk menyelamatkan perjalanan orang Islam dari dunia ke akhiratnya, wajiblah umat Islam menjadi satu persaudaraan yang rapat. Yang sama menjunjung perintah Islam. Yang sama mengusahakan dan melakukan suruhan-suruhan Islam. Firman Allah memerintahkan umat Islam sekaliannya berpegang pada tali Allah bersama-sama. Dan melarang umat Islam bercerai-berai.”

Persaudaraan yang teguh dan kuat – menurut Haji Agus Salim – bukan teguh dan kuat namanya saja, atau teguh dan kuat rohaninya saja, melainkan teguh dan kuat badannya dan tenaganya, kekuasaannya, dan pengaruhnya dalam pergaulan manusia segala bangsa di alam dunia ini pun juga. Teguh dan kuat sebagaimana telah disaksikan dunia dalam masa hidupnya Nabi kita, Muhammad Saw.

Haji Agus Salim kerap mengisi siaran radio, berkhutbah, serta memberi ceramah ilmiah tentang Islam, filsafat dan ilmu pengetahuan secara menakjubkan yang menggambarkan lautan ilmunya yang luas. Pada 30 November 1952 ia menyampaikan uraian hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW dalam Peringatan Maulid Nabi di Istana Negara Jakarta, dihadiri para pejabat negara dan  korps diplomatik dari negara-negara sahabat. “Kembalilah mempelajari dan mengamalkan isi Al-Quran!” pesan Haji Agus Salim.

Dalam kesempatan lain ia menyatakan, “Di mana letaknya kehebatan Islam?” Pertanyaan yang dijawab sendiri oleh beliau, “Islam tidak terletak pada isi yang terkandung di dalam kitab Al-Quran, akan tetapi dalam pelaksanaannya.”

Pejuang dan negarawan seperti Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono dan lain-lain adalah murid intelektual dan kader-kader yang dibimbing Haji Agus Salim, terutama melalui organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Haji Agus Salim adalah penasihat JIB.

Prof. Dr. Hamka mengakui banyak mendapat bimbingan dan berhutang budi kepada Haji Agus Salim. Sekitar tahun 1927 Hamka berjumpa Haji Agus Salim di Mekkah. Beliau memberi pandangan kepada Hamka yang ketika itu ingin bermukim di Mekkah. Haji Agus Salim berkata, “Apa guna engkau mukim di Mekkah ini, padahal engkau masih muda. Kita datang kemari hanya untuk beribadat, bukan untuk menuntut ilmu. Masanya telah lepas bagi orang Indonesia yang hendak belajar Islam akan bermukim di Mekkah. Bertambah lama engkau mukim di Mekkah ini nanti bertambah payah engkau menyesuaikan dirimu jika engkau pulang kelak ke tanah air! Di tanah air kitalah engkau coba mencari ilmu dan membina dirimu, sehingga menjadi ‘orang’, tidak hanya menjadi seorang ‘lebay’.”

Menarik disimak penuturan Mohammad Natsir dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Suatu kali bersama Prawoto Mangkusasmito, mereka membawa suatu persoalan kepada Haji Agus Salim. Setelah mengemukakan pendapatnya panjang lebar, tapi tidak menjawab pertanyaan Natsir. Akhirnya ditanyakan bagaimana pemecahan persoalan itu. Justru pertanyaan yang akhir tak dijawab. “Rupanya kami disuruh berfikir sendiri, beliau memberi tahu cara analisisnya, tapi kami sendiri yang harus mengambil keputusan. Cara inilah yang mendorong kami untuk maju. Dengan cara itu tumbuh keberanian dan kedewasaan yang pada akhirnya lahir corak kepemimpinan baru.” kenang Pak Natsir.

Sebagai ulama yang melampaui zamannya, Haji Agus Salim produktif menulis. Ia mengisi kolom Mimbar Jum’at berisi artikel khutbah jumat dalam bahasa Indonesia, meski hal itu masih di luar kelaziman. Di zaman itu sebagian kalangan muslim di Nusantara menganggap khutbah jumat harus seluruhnya menggunakan bahasa Arab.

Haji Agus Salim banyak menghasilkan karya tulis dalam bahasa Melayu/Indonesia dan bahasa asing, antara lain: Tasauf Dalam Agama Islam(1916), Persatuan Islam (1923), Wajib Bergerak (1923), De Behoefte aan Godsdienst (1925), Perempuan Dalam Islam (1925), De Sluiering en Afzondering der Vrouw (1926), Islam dan Bahagia Tidak Terpisah (1928), Hukum Yang Lima(1928), Adat Kontra Islam (1934), Hari Raya Idul Fitri (1934), Cerita Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw (1935), Godsdienst (1935), Rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali (1936), Gods Laatste Boodschap de Universele Godsdients (1937), Riwayat Kedatangan Islam Di Indonesia (1941), Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal (1953), Ketuhanan Yang Maha Esa (1953), Muhammad Sebelum dan Sesudah Hijrah (1958) dan lain-lain.

Pengetahuannya tidak hanya mendalamn di bidang agama dan politik, melainkan juga sastra dan filsafat. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menjulukinya Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia. “Salim boleh dikatakan telah mewariskan segala-galanya yaitu berupa kejujuran, intelektualisme Islam, percaya kepada diri sendiri, kecakapan mengurus negara, kesetiaan kepada prinsip perjuangan, kesederhanaan dan rasa tanggung jawab yang cukup tinggi terhadap nasib bangsa dan negara.” tulis Ahmad Syafii Maarif dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.

Beberapa Anekdote Haji Agus Salim

Haji Agus Salim memiliki kecerdasan komunikasi dan kecakapan “bersilat lidah” (berdiplomasi) yang mengagumkan. Dalam satu perdebatan dengan seorang Belanda, ia  ditantang, “Salim,  apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang yang paling pintar di dunia ini?  Haji Agus Salim menjawab, “Itu sama sekali tidak. Banyak orang yang lebih pintar dari saya, cuma belum lagi bertemu dengan seorang di antara mereka.” Karena menguasai banyak bahasa asing, ia mahir berpidato menggunakan beberapa bahasa sekaligus jika audiens-nya dari berbagai bangsa. Haji Agus Salim menguasai bahasa Arab, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, dan beberapa bahasa yang lain.

Suatu hari Haji Agus Salim menemui temannya di kantor pemerintah Hindia Belanda. Temannya menyesalkan, coba kalau kau bekerja menjadi pegawai Belanda, nasibmu takkan seperti ini. Tak berapa lama, datang tuan Cobee, adviseur Belanda. Begitu dilihatnya ada tamu yakni Haji Agus Salim, orang Belanda itu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sesudah itu dia pun pergi. Teman yang bekerja di kantor Belanda itu malah tidak disalami. Kata Haji Agus Salim kepada temannya itu, “Coba kalau saya bekerja dengan Belanda, tentu seperti kau. Meski saya tidak bekerja dengan si Belanda itu, mereka hormat kepada saya.”

Dalam sebuah rapat umum di zaman kolonial, waktu Haji Agus Salim naik podium, tiba-tiba terdengar suara dari belakang, “mbek… mbek….” menyindir Haji Agus Salim yang berjenggot. Ia tidak kehilangan akal dan spontan berucap, “Saya tidak mengira, disini banyak juga kambing-kambing yang hadir.” Orang yang mengembek dengan maksud mengolok-olok Haji Agus Salim malu sendiri dan disuruh keluar.

Haji Agus Salim memiliki rasa humor tinggi, tapi humor yang bermutu. Dalam jamuan makan di luar negeri bersama orang-orang Barat, hanya Haji Agus Salim yang makan pakai tangan. Seorang bule berkata, “Tidakkah Tuan jijik makan pakai tangan?” Haji Agus Salim menjawab enteng, “Saya tahu tangan saya ini lebih bersih daripada sendok dan garpu yang Tuan pakai. Tangan saya tidak pernah dipakai orang lain.”

Suatu kali Haji Agus Salim minta dibuatkan peci yang dirajut oleh istrinya. Peci itu ditunggu sampai jadi hingga menunda keberangkatan untuk suatu keperluan karena ingin memakai peci rajutan itu. Waktu pulang sore harinya peci itu tidak kelihatan lagi di kepalanya. Ternyata telah dihadiahkannya kepada seorang kawan yang sangat mengagumi peci itu. Peci baru siap yang amat disukainya hingga mau menunggu sampai selesai membikinnya. Kata Haji Agus Salim, memberi sesuatu barang yang amat kita sayangi kepada orang lain, itu baru namanya pemberian.

Dalam kisah hidup keluarga Haji Agus Salim, meski hidup sederhana dan tempat tinggal berpindah-pindah karena mengontrak, namun selalu diliputi kegembiraan, rasa syukur dan qanaah (merasa cukup dengan nikmat yang ada). Perabot rumah Haji Agus Salim selalu diubah-ubah letaknya untuk penyegaran suasana supaya tidak membosankan. Keluarga Haji Agus Salim melahirkan anak-anak yang sehat jasmani dan mental-ruhani. Anak-anak memanggil ayahnya “Paatje” dan ibunya “Maatje”. Dalam Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal, ia mengatakan, “Jika maksud tercapai, Allah yang punya karunia. Jika tidak tercapai, Allah yang punya kuasa. Ia yang Rahman dan Rahim.”

Sebagaimana diungkapkan dalam kenangan anak-anaknya ketika tidak punya lauk-pauk untuk dimasak karena uang belanja sedang menipis, Haji Agus Salim ikut memasak nasi goreng untuk dinikmati seisi rumah dengan penuh keceriaan. Ketika hujan lebat atap rumah bocor, ember-ember ditaruh di tempat yang kebocoran, anak-anak diajak membuat perahu kertas lalu mereka asyik bermain perahu. Mereka tak perlu tahu orangtuanya sedang tak punya uang buat memperkaiki atap rumah. Kebahagiaan dan keceriaan terukir dalam jiwa anak-anak Haji Agus Salim seumur hidup mereka.

Dengan pandangan hidup yang terbentuk dengan landasan tauhid dan tawakal, Haji Agus Salim selalu yakin pada takdir bahwa di saat bagaimana pun sulitnya, pertolongan Allah pasti datang. Salah satu sifat mengagumkan dari Haji Agus Salim seperti dikenang murid-muridnya adalah tidak tampak kesuraman di saat miskin dan tidak kelihatan kesombongan dan lupa daratan setelah hidup mapan di hari tuanya.

Di zaman kolonial, orang yang tidak pandai berbahasa Belanda diangap rendah dan merasa rendah diri. Haji Agus Salim berbicara dalam bahasa Belanda dengan anak-anaknya semenjak kecil.

Haji Agus Salim dibantu istrinya mendidik sendiri anak-anaknya di rumah (homeschooling) tanpa sekolah formal, kecuali anak yang bungsu masuk sekolah setelah Indonesia merdeka. Ketika baru menikah, Haji Agus Salim berpesan kepada istrinya Zainatun Nahar binti Almatsier yang sama berasal dari Koto Gadang agar banyak membaca, sebab setelah mempunyai anak kemungkinan tidak akan disekolahkan, tapi kelak akan dididik sendiri.

Di mata Haji Agus Salim, sistem pendidikan kolonial memberi pengaruh kurang baik terhadap Bumiputera, apalagi di tengah upaya menjadi bangsa yang ingin menjadi tuan di negeri sendiri. Haji Agus Salim dan istrinya menanamkan kepada anak-anaknya kemauan untuk mencari sendiri pengetahuan lebih lanjut melalui membaca buku dan bergaul dengan orang-orang pandai.

Suatu ketika ada orang bertanya kepada Haji Agus Salim, “Bagaimanakah mungkin anak-anak Tuan bisa demikian lancarnya berbahasa Inggris kalau dia tak pernah bersekolah? Haji Agus Salim menanggapi, “Pernahkah Tuan mendengar dimanakah kuda belajar meringkik? Kuda yang tua meringkik dan anak-anaknya meringkik pula. Demikian pula saya meringkik dalam bahasa Inggris, maka anak-anak saya meringkik pula dalam bahasa Inggris.”

Pahlawan Kemerdekaan Nasional

“Kita sebagai bangsa merasa berbahagia mempunyai orang seperti Haji Agus Salim. Karena tidak banyak orang seperti beliau. Tipe manusia yang geniaal.Beliau tidak hanya sebagai perintis, akan tetapi juga sebagai pelaksana dari kemerdekaan kita. Kalau kita gambarkan almarhum mempunyai tiga sifat yang istimewa, yaitu tajam, tangkas dan cerdas.” Demikian Wakil Presiden RI Pertama Mohammad Hatta dalam mengenang setahun wafatnya Haji Agus Salim di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta tahun 1955.

Menurut Bung Hatta, sebagaimana dikutip Solichin Salam dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, patut dikenang rasa setia kawan yang besar pada diri Haji Agus Salim. “Kalau dapat ia ingin menolong semua orang yang melarat hidupnya. Perasaan itulah barangkali yang menimbulkan paham sosialisme dalam dadanya, yang diperkuat pula oleh ajaran Islam.” kata Bung Hatta.

Haji Agus Salim rela hidup sangat sederhana senasib dengan rakyat Indonesia yang diperjuangkannya. Seandainya ia mau menjadi pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda pasti dapat menikmati hidup berkecukupan secara materi dan status sosial. Para pemimpin yang idealis pada umumnya rela menempuh jalan hidup menderita demi menjaga kemurnian cita-cita dan kesetiaan dengan prinsip-prinsip perjuangan. Sebuah kata mutiara yang menggambarkan keadaan di masa itu dalam bahasa Belanda yaitu, “leiden is lijden”, memimpin adalah menderita.

Kata-kata hikmah Haji Agus Salim “Hinakan harta jangan hinakan diri.” dan “Jangan dipuji suatu hari sebelum datang magribnya.” memiliki makna yang mendalam jika direnungkan. Dalam sebuah tulisannya di surat kabar Haji Agus Salim menegaskan, “Dalam negeri kita janganlah kita yang menumpang”. Kalimat ini, menurut Buya Hamka, adalah bekal yang menjadi pegangan seluruh insan Indonesia yang mesti tahu ke mana arah mereka akan bergerak.

Dalam artikel surat kabar Neratja, 25 September 1917, berjudul Kemajuan Diperoleh Dengan Usaha”, Haji Agus Salim membangkitkan semangat bangsa Indonesia agar percaya pada kekuatan diri sendiri, jangan terlalu mengharapkan belas kasihan bangsa penjajah, karena bangsa yang menjajah itu tidaklah akan sudi mengajar dan mendidik kita dengan sesungguhnya, karena mereka takut akan dilawan dengan kepandaian yang kita dapat dari mereka.

Haji Agus Salim salah satu pelopor pers nasional antara lain sebagai pemimpin surat kabar Hindia Baru dan Neratja. Dalam artikel-artikelnya ia melancarkan kritik tajam atau sindiran halus terhadap pemerintah kolonial. Di Harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menyindir sikap pemerintah kolonial, “Kekuasaan polisi mesti terang-terang batasnya dan polisi tukang tangkap janganlah merangkap pula jabatan tukang mencari keterangan.”

Sebagai pejuang kemerdekaan Haji Agus Salim memiliki andil besar dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Haji Agus Salim salah satu founding fathers negara dan ikut mensahkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang merupakan konsensus tentang dasar negara Republik Indonesia.

Pada awal kemerdekaan Haji Agus Salim menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1945 – 1946). Beberapa kali duduk dalam kabinet sebagai Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta  (1948 – 1949).

Setelah tahun 1949 sampai wafat Haji Agus Salim menjadi Penasihat Utama pada Kementerian Luar Negeri RI.

Haji Agus Salim mengetuai misi diplomatik RI dalam mengupayakan dukungan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia pantas dikenang sebagai “diplomat pertama Indonesia” seperti ditulis Solichin Salam dalam buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional. Haji Agus Salim merupakan perintis hubungan diplomatik Indonesia dengan beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Siria, dan Libanon. Mesir negara pertama yang mengakui de jure kemerdekaan Indonesia. Peran lainnya, menjadi anggota delegasi Indonesia ke Inter Asian Relations Conference di New Delhi, India. Pada 3 Juni 1953 mewakili Pemerintah RI bersama Sri Paku Alam menghadiri Penobatan Ratu Elizabenth II di London. Haji Agus Salim merupakan salah satu anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.

Dalam pengantar buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional karya Solichin Salam, Mohammad Hatta mengisahkan bagaimana tanggapan Haji Agus Salim atas kemarahan pihak Belanda sehubungan pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan RI. Berikut pernyataan Haji Agus Salim, “Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami mendapatkan pengakuan de jure negara-negara Arab atas Republik Indonesia bertentangan dengan Perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Pengakuan de jure kami peroleh akibat daripada aksi militer Tuan.  Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia.”

Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya dengan gigih memperjuangkan Republik Indonesia di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).  Dalam masa perang kemerdekaan dan agresi militer Belanda, Haji Agus Salim diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Brastagi, Sumatera Utara, dan selanjutnya dipindahkan ke Prapat. Haji Agus Salim dan Bung Karno dipindahkan ke Pulau Bangka dikumpulkan dengan Bung Hatta dan kawan-kawan.

Mengenai cinta tanah air, Haji Agus Salim sebagai seorang pemimpin tampa pamrih, sebagaimana diutarakan keponakannya Prof. Dr. Emil Salim dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, bertolak dari niat “lillahi ta’aala”. Cinta bangsa dan tanah air berkembang karena “lillahi ta’aala”. Karena Allah inilah yang menjadi niat utama. Pemantapan niat dalam hati sanubari pejuang dirasa perlu karena perjuangan kemerdekaan tidaklah mudah dan banyak godaan yang menyesatkan mereka yang berjuang. Lagi pula,  menurut Haji Agus Salim, tidak ada keuntungan duniawi yang bisa diraih dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, cinta tanah air tidak hanya terbatas pada usaha membebaskan tanah air dari belenggu penjajah, tidak lagi terbatas pada kecintaan yang dikobarkan oleh nyiur hijau melambai atau kilauan emas dan padi menguning, tetapi beliau menarik ke tingkat lebih tinggi. Kita mencintai tanah air karena ini adalah anugerah Allah. Dalam rangka beribadah kepada-Nya, demikian kata Haji Agus Salim.

Menjelang Tutup Usia

Sebagai intelektual kelas dunia sekitar awal 1953 Haji Agus Salim diundang sebagai guru besar tamu pada semester musim semi untuk memberikan kuliah tentang agama Islam di Cornell University di Ithaca Amerika Serikat. Di samping itu ia diminta memberi ceramah tentang Pergerakan dan Cita-Cita Islam Indonesia di Princeton University Amerika Serikat. Rekaman kuliah Haji Agus Salim di Cornell University diterjemahkan oleh J. Taufik Salim, putra kedua Haji Agus Salim dan diterbitkan menjadi buku Pesan-Pesan Islam dalam edisi bahasa Indonesia.

George McT Kahin menyebut Kuliah Islam Haji Agus Salim di Amerika Serikat tahun 1953 banyak menimbulkan minat di kalangan kaum mahasiswa. Karena sebelumnya belum pernah ada guru besar muslim yang memimpin program dimaksud di kampus terkemuka di negara Barat.

Pada tahun 1952 Haji Agus Salim dan Ibu Zainatun Nahar memperingati ulang tahun perkawinan ke-40. Menurut beliau, perkawinan berbahagia 40 tahun bukanlah atas teori beliau, melainkan dengan izin dan keridhaan Allah. Kalau Tuhan menghendaki bisa saja kami bercerai berpisah dalam waktu yang kami sendiri tidak merencanakannya terlebih dahulu. Maka Tuhanlah yang memelihara perkawinan kami ini, sampai berlangsung 40 tahun, dan tetap dengan kepercayaan kepada Allah juga kami akan teruskan perkawinan ini. Haji Agus Salim memasang pada dinding rumahnya kaligrafi ayat Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 29 yang terjemahannya “Alangkah baiknya jika engkau masuk ke dalam surgamu engkau katakan Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali pada Allah.”  Menurut beliau, surga dimaksud dalam ayat itu ialah rumah tangga yang berbahagia.

Panitia Peringatan Hadji A. Salim Genap Berusia 70 Tahun tanggal 8 Oktober 1954, dari kawan-kawan, pencinta, pengikut dan murid-muridnya memprakarsai penerbitan khusus sebagai penghormatan dan penghargaan yaitu buku Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau Dari Dulu Sampai Sekarang.

Haji Agus Salim diminta oleh pimpinan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) untuk memberi kuliah tentang dakwah Islam. Ia menyambut baik undangan mengajar sebagai guru besar di PTAIN dan kemudian mengajukan permohonan berhenti sebagai Penasihat Utama Kementerian Luar Negeri agar bisa lebih fokus mengajar. Akan tetapi Menteri Luar Negeri Prof. Mr. Soenarjo tidak mengizinkan Haji Agus Salim berhenti dari jabatan Penasihat Kementerian Luar Negeri, meski beliau akan bertugas mengajar di PTAIN Yogyakarta. Di saat usianya menjelang 70 tahun dan sekembali dari memberi kuliah di Amerika Serikat, Haji Agus Salim bermaksud menulis semua pemikiran yang pernah disampaikannya dalam sebuah buku dan menyelesaikan karangan mengenai Tafsir Al-Qur’an. Rupanya Allah berkehendak lain sebelum rencana tersebut terwujud.

Haji Agus Salim berpulang ke rahmatullah tanggal 4 November 1954 setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan esok harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, diantar oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan disaksikan oleh puluhan ribu rakyat. Haji Agus Salim tutup usia satu bulan setelah memperingati ulang tahun ke-70. Ia merupakan “orang pertama” yang dimakamkan di TMP Kalibata.

Negara memberikan penghargaan atas jasa-jasa Haji Agus Salim sebagai pemimpin bangsa yang besar peranannya dalam perjuangan merebut, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Presiden Soekarno pada 27 Desember 1961 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada almarhum Haji Agus Salim. Selain itu pemerintah meresmikan nama Jalan H. Agus Salim di daerah Menteng – Jakarta Pusat, tepatnya di jalan rumah tempat tinggal Haji Agus Salim, yang sebelumnya bernama Jalan Gereja Theresia.

Presiden Soeharto pada 12 Agustus 1992 memberikan penghargaan tertinggi Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama kepada almarhum Haji Agus Salim sebagai tokoh perancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Setengah abad dari usia Haji Agus Salim yang 70 tahun dihabiskan dalam tugas dan bakti bagi kepentingan bangsa dan tanah air sebagai ibadah kepada Allah. Salah seorang cucunya yaitu Ibu Maryam dalam wawancara majalah Intisari No 137, Desember 1974 menuturkan, “Opa tidak meninggalkan warisan berupa harta. Namun beliau meninggalkan warisan yang lebih berharga, yaitu nama baiknya sebagai orang yang pandai dan jujur.”

Semoga Allah SWT memberi tempat yang penuh kemuliaan kepada arwah almarhum Haji Agus Salim dalam kehidupan di alam akhirat yang kekal.

Daftar Pustaka

Latief, M. Sanusi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Penerbitan Pertama (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981).

Masyafa, Haidar, Cahaya Dari Koto Gadang: Novel Biografi Haji Agus Salim(Yogyakarta:  Spirit & Grow, 2015).

Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).

Panitia Peringatan Hadji A.Salim Genap Berusia 70 Tahun, Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau Dari Dulu Sampai Sekarang (Djakarta: Tintamas, 1954).

Pratiknya, A.W. penyunting, M. NatsirPesan Perjuangan Seorang Bapak – Percakapan Antar Generasi (Jakarta – Yogyakarta:  Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989).

Roem, Mohamad, “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae, Manusia Dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES,  1978).

Salam, Solichin, Hadji Agus Salim Hidup dan Perdjuangannja (Djakarta: Djajamurni, 1961).

Salam, Solichin,  Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional (Djakarta: Djajamurni, 1964).

Salim, Hadji Agus, Pesan-Pesan Islam – Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat, Penerjemah J. Taufik Salim (Bandung: Mizan, 2011).

Tempo, Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013).



Alhamdulillah, Darulfunun mendapat dukungan akses Google Education

Alhamdulillah, syukur tiada henti, upaya improvisasi dan inovasi yang terus dilakukan oleh segenap entitas Darulfunun dalam menyambut tahun ajaran baru, mulai soft side: menjaga kualitas kurikullum, memfasilitasi program tahfidz, penekanan ekstrakurikuler untuk membina karakter siswa, dan juga rencana pengembangan kurikullum surau, dan juga infrastruktur: pembangunan pustaka, penambahan ruang kelas, renovasi, pengecatan, penambahan kapasitas area mandi asrama.

Terbaru sekali, Darulfunun mendapatkan akses lisensi Google Education. Google Education sendiri adalah salah satu servis google yang premium seperti fitur gmail, penyimpanan file, Google Docs, dan juga Apps yang dapat dikembangkan pemanfaatannya secara lebih luas mencakup pelatihan software, dari programming, desain produk, hingga kelas virtual.

Kedepannya pemanfaatan ini akan diperluas untuk memperkaya kemampuan Darulfunun dalam program Open Distance Learning (ODL). Program ODL ini adalah salah satu jawaban tantangan Darulfunun menyikapi keterbatasan kemampuan, bagi internal, lokal daerah maupun kemampuan akses pendidikan secara nasional.

Insyaallah kedepan, tahapan ini dapat berkembang menjadi alternatif pembelajaran global yang sesuai dengan model yang Darulfunun kembangkan, yakni massif, intuitif, low cost dan open access yang artinya semua lapisan masyarakat khususnya yang memiliki keterbatasan akan dapat dukungan dalam pembelajaran untuk bersaing secara global.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi penanggung jawab pengembangan: Abdullah A Afifi.



Staff Administrator

Deadline: 30 Juni 2019

Job scopes

  • Support administration of perguruan and yayasan.
  • Manage data of student, staff, assets & properties
  • Manage maintenance records of assets & properties
  • Follow up online-application
  • Manage public activities on google calendar
  • Publish activities on blog or website

Salary start from: IDR 1.000.000,-

Requirements

  • minimal D3
  • familiar with excel & powerpoints
  • familiar with blog & social media
  • understand english


Meneguhkan Eksistensi Perguruan Darul Funun El-Abbasyiah Dalam Pusaran Globalisasi

Sarilamak (Inmas). Bagi pengiat sejarah Indondesia, Perguruan Darul Funun El-Abbasyiah akan membagunkan alam bawah sadar bahwa disinilah awalnya presiden pertama Indonesia Soekarno sebelum proklamasi menerima buah tangan dari Syekh Abbas Abdullah sebuah peci hitam yang pada akhirnya menjadi simbol keislaman dan nasionalisme.  Kampus Asri Perguruan Darul Funun El-Abbasyiah teletak di Nagari Padang Jopang Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota tidak hanya menjadi kampus pendidikan tapi juga merupakan kampus perjuangan dalam melahirkan pejuang umat dan pejuang bangsa.

Bermula pada tahun 1854 dengan nama Pengajian Surau Gadang oleh Syekh Abdullah “Datuk Jabok” (1830-1903) dan kemudian diteruskan oleh anak-anak beliau Syekh Mustafa Abdullah “Beliau Gadang”dan Syekh Abbas Abdullah “Beliau Ketek” (1883-1957), dimasa kedua kakak beradik ini reformasi-reformasi sistem pendidikan dan modernisasi pergerakan & pendidikan Islam terjadi. Pada masa keemasannya perguruan ini dikenal sebagai satu-satunya ataupun pionir terdepan yang merintis pengajaran pengetahuan agama dan umum, yang menjadikannya magnet bagi pelajar-pelajar dari penjuru sumatera, tanah air dan hingga semenanjung melayu.

Memasuki babak baru diera melinium eksistensi Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah masih Istiqomah memberikan layanan pendidikan Islam yang berkualitas bagi santri/wati yang menimba ilmu pada satuan pendidikan MTs dan MA. H.Adia Putra Pimpinan Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah optimis bahwa cita-cita para pendiri perguruan ini dapat terjaga serta terwujud ditengah pusaran globalisasi yang menuntut berbagai perubahan. ”Saya tegaskan bahwa perguruan ini siap untuk beradaptasi dengan berbagai perkembangan teknologi dengan catatan  perkembangan tersebut harus berjalin kelindan dengan semangat ke-Islaman yang menjadi spirit seluruh aktivitas pendidikan di perguruan ini”, jelas Adi Putra kepada media.

Sambil menatap asrama megah yang berdiri dikomplek perguruan tersebut, Adia Putra menjelaskan, ”Kami memiliki komitmen yang kuat untuk melahirkan kader-kader umat yang paripurna, ulama yang intekltual serta intelktual yang ulama, di perguruan ini santri/wati dididik untuk menjadi pribadi yang multidimensional yang tidak hanya berkualitas secara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) tetapi juga IMTAK (Iman dan Takwa), yang menguasai bidangnya dan juga berpegang teguh terhadap nilai-nilai keagamaan yang luhur, yang ditekankan oleh Islam, tegas pensiunan Kemenag Lima Puluh Kota ini.

Dalam catatan, sepuluh tahun terakhir berbagai bentangan prestasi telah diukuir oleh santri/wati Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah. Perguruan ini telah mencatatan tradisi juara pada ajang Kompotisi Sain Madrasah (KSM) tinggkat Nasional, santri/wati juga telah behasil meraih berbagai prestasi dibidang agama, seni, olah raga, mading, baik pada tingkat daerah maupun ditingkat regional. Dan ratusan alumni perguruan ini telah tersebar diberbagai perguaran tinggi bergensi ditanah air bahkan sampai ke Al-Azhar Universti Kairo.

H.Rama Husmen Kepala Kakan Kemenag Lima Puluh Kota yang juga lahir dalam tradisi pesantren yang kuat dalam kunjunganya ke Perguruan Darul Funun El-Abbasyiah menyampaikan,”Saya memilki kebanggan tersendiri dengan sejarah besar yang ada di Darul Funun El-Abbasiyah. Sebagaimana pesantren lainya yang lahir dalam masa perjuangan,  Darul Funun El-Abbasiyah memiliki saham dalam lembaran sejarah Indonesia, saya berharap semangat perjuangan tersebut dapat diwariskan dari generasi kegenerasi dengan tradisi keilmuan yang kuat”, Ramza menyampaikan harapanya.

Lebih dari itu Ramza mengajak seluruh pengiat sejarah khusnya yang ada di Darul Funun El-Abbasiyah untuk menulis sejarah perguruan Darul Funun El-Abbasyiah secara lengkap, ”hal tersebut perlu dilakukan agar tradisi kesejarahan dapat ditelusuri dengan sanat ke-ilmuan yang valid”, jelas Ramza. Disamping itu diingtakan pula bahwa kemajuan teknologi merupakan satu tantangan bagi dunia pendidikan Islam, “Saya yakin Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah dapat menjadikan kemajuan globalisasi sebagai sebuah peluang untuk akselerasi peningkatan kualitas pendidikan tanpa kehilangan jati diri sebagai sebuah pesantren, pesan Ramza.

Umat Islam memiliki harapan yang besar, agar perguruan ini tetap istiqomah melahirkan santri/wati yang berkualitas dalam semangat Ke-Islaman dan Ke-Indonesian yang menyatu dalam setiap gerak dakwa para santri/wati.(APP)

Sumber: https://limapuluhkota.kemenag.go.id/html/index.php?id=berita&kode=420



Darul Funun akan mengembangkan kurikulum Surau

Pada tanggal 4 Mei 2019 dalam rapat terbatas Yayasan, Perguruan, Komite yang juga dihadiri oleh para pembina asrama disampaikan tentang keperluan dan tuntutan dari orang tua untuk meningkatkan kualitas pembinaan di Perguruan Darul Funun khususnya Asrama.

Menanggapi hal tersebut maka dimulailah perbaikan fasilitas asrama, yang pada saat ini diarahkan pada perbaikan tempat tidur dan juga perbaikan tempat mandi, diharapkan peningkatan kenyamanan dan kebersihan dapat membantu peningkatan konsentrasi belajar siswa.

Disamping itu upaya peningkatan mutu pembinaan dirasa perlu untuk dikembangkan satu kurikulum diluar jam belajar masrasah yang meliputi pembinaan karakter khususnya di asrama.

Dengan latar belakang itu maka Darul Funun akan mengembangkan kurikulum Surau yang bukan hanya terkait hafalan tahfiz juga pembinaan siswa dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun implementasi kurikulum ini diharapkan dapat dimulai tahun ajaran baru ini dan dikembangkan bertahap.



Perpisahan Kelas XII 2019

Alhamdulillah selamat kepada siswa Darul Funun kelas XII yang telah bersusah payah menimba ilmu, kebahagian hari ini pantas untuk dirayakan.

Doa dan ridha ustaz dan ustazah menyertai perjalanan ananda berikutnya, tetap optimis insyaallah ada kemudahan dalam setiap kesulitan.



Peletakan Batu dan Pembangunan Perpustakaan Perguruan dengan 8 Ruang Kelas

Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim,

Dengan menyebut asma Allah, Perguruan Darul Funun memulai pembangunan Gedung Perpustakaan dengan 8 Ruang yang sebagiannya dapat difungsikan sebagai ruang kelas.

Alhamdulillah, peletakan batu pertama dan pembangunan awal dapat dimulai dengan dana wakaf dari orang tua yang dikoordinir oleh Komite Sekolah, Pimpinan Perguruan dan Yayasan.

Peletakan batu pertama ini sebagai rahmat dari Allah dikarenakan rencana pembangunan gedung pustaka ini sudah dicanangkan para tahun ajaran sebelumnya, dan baru dapat diwujudkan pada kali ini.

Upaya Darul Funun untuk membangun sumberdaya manusia melalui pendidikan dapat terus dilanjutkan dan diberkahi oleh Allah, sehingga manfaat dari sumberdaya manusia yang terdidik bukan hanya bermanfaat bagi Darul Funun, Padang Japang, Ranah Minang tetapi juga bangsa Indonesia dan umat Islam secara umum, mampu menjadi mercusuar yang disebut di Al-Quran “minna dzulumati ilannur”, yang dipopulerkan oleh Kartini dalam penjelasan oleh HAMKA “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Keluarga besar Darul Funun El-Abbasiyah mengucapkan terimakasih, jazakallahu khairan, semoga Allah memberikan ganti yang lebih baik dari semua yang bapak ibu wakafkan.



Darul Funun mengukuhkan dua tokohnya dengan gelar Buya.

Pemberian penghargaan dan pengukuhan gelar kehormatan BUYA Darul Funun El-Abbasiyah kepada dua tokoh figur yang telah lama mengabdi dan membangun Darul Funun El-Abbasiyah.

1. BUYA Dr H Afifi Fauzi Abbas, MA ( Pimpinan Institut dan Ketua Dewan Pembina Yayasan)

2. BUYA Drs H Adiaputra (Pimpinan Perguruan dan Dewan Pembina Yayasan)

Semoga Allah memudahkan tanggung jawab lebih yang diberikan dan memberikan penghargaan atas keikhlasan dan dedikasinya selama ini.