All posts by Fachrul Rasyid HF

Pada Mulanya Nasi Ampera

Anak muda, di Padang dan Sumatera Barat, terutama yang lahir setelah tahun 1970-an mungkin tak tahu dari mana asal usul nama atau istilah nasi Ampera atau warung nasi Ampera meski sering membacanya terera di depan rumah makan. Mungkin juga sudah sering menikmatinya.

Istilah Ampera erat kaitan dengan perjuangan bangsa dan tak mungkin dihapus dari lembaran sejarah Indonesia. Kisahnya bermula sekitar tahun 1960. Kala itu Presiden Soekarno sedang getol-getolnya mengumandangkan doktrin Nasakom, singkatan nasionalisme, agama dan komunis. Di balik itu Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin mendominasi pemerintahan. Sementara kondisi ekonomi semakin buruk. Di mana-mana rakyat kelaparan.

Upaya membaurkan nasionalisme, agama dan komunis itu mendapat tantangan dari berbagai pihak. Terutama dari TNI (ABRI) dan pemuka agama Islam. Menghadapi itu PKI kemudian melakukan aksi pembantaian sejumlah jenderal TNI pada 30 September 1965 di Lubang Buaya Jakarta. Gerakan itulah yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September (Gestapu) PKI disingkat G.30.S/PKI.

Para pelaku G-30 S/PKI berhasil ditumpas TNI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Namun, para pendukungnya masih terus melakukan berbagai gerakan teror dan mengacau keamanan. Bahkan umat Islam yang mau ke masjid menunaikan shalat subuh pun diteor dan ditakut-takuti.

Kondisi politik, keamanan dan ekonomi yang buruk saat itu mengundang aksi mahasiwa dan pemuda turun kejalan. Pada 10 Januari 1966 mahasiswa yang tergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) turun berdemonstrasi di jalanan Jakarta. Lalu, diikuti mahasiswa di seruluh kota –kota di Indonesia.

Aksi itu terus meluas. Ada yang tergabung dalam KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dimotori Pelajar Islam Indonesia (PII). Dalam beberapa hari kemudian muncul aksi serupa dari berbagai kelompok profesi.

KAMI /KAPPI berjuang sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat AMPERA. Ada tiga tuntutan yang diusung para pejuang Ampera yang dikenal dengan singkatan TRI TURA ( Tiga Tuntutan Rakyat). Yaitu : (1) Bubarkan PKI beserta ormas dan antek-anteknya, (2) Rombak Kabinet Dwikora (seratus menteri) yang didominasi tokoh PKI dan (3)Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.

Tritura yang disuarakan pejuang Ampera akhirnya dipenuhi Presiden Soekarno. Pada 11 Maret 1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 ( disingkat Supersemar. Melalui surat itu Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Suharto, kemudian menjadi Presiden RI, untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Selain itu, Supersemar juga mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini pula kemudian yang dijadikan landasan pikiran mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPRS no XXIII/MPRS/1966 di bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan.

Para mahasiswa dan pemuda yang turun di jalan itu mendapat dukungan semua lapisan masyarakat, kecuali pendukung PKI tentunya. Pengusaha, pedagang dan tokoh masyarakat ramai-ramai menyediakan dapur umum dan membeli nasi bungkus untuk dibagikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu. Bahkan banyak yang menyediakan kendaraan mobil, pakaian dan minuman.

Bantuan seperti itu terus berlanjut ketika KAMI/KAPPI melakukan penangkapan akktivis PKI. Beda dengan kebanyakan aksi demo sekarang yang tak sepnuhnya mendapat dukungan rakyat. Diantaranya malah dihadang warga karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Di Padang khususnya dan di Sumatera Barat umumnya, pengusaha warung nasi pun menyumbangkan nasi bungkus untuk pejuang Ampera. Karena sudah sedemikian besar jumlahnya, bungkusan nasinya pun menjadi kecil. Lauk pauknya kadang cuma sepotong ikan dan sedikit sayur.

Di Sumatera Barat nasi bungkus untuk pejuang Ampera itulah yang kemudian disebut nasi Ampera. Itu pula yang berkembang menjadi ciri rumah makan. Jika ada rumah makan yang menulis Ampera berarti menyediakan nasi bungkus atau sepiring nasi sepotong ikan, rendang atau ayam dan sedikit sayur. Kalau ditulis hidangan, berarti semua jenis masakan dihidangkan di meja makan.

Sebelum tahun 1966 nasi bungkus atau sepiring nasi dengan ikan dan sayur itu disebut nasi ramas. Ramas maksudnya lauk pauknya berikut sayur dan kuah gulai serta samba lado ditambah kerupuk merah dicampur dalam satu bungkus atau sepiring nasi. Tapi sejak munculnya istilah nasi Ampera, sebutan nasi ramas lama kelamaan menghilang dari bibir warga. Bahkan kini sudah jarang terdengar.

Seiring dengan menyebarnya warung nasi Padang (Minang) sebutan warung atau nasi Ampera pun ikut berkembang ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan berbagai kota lainnya. Hebatnya, warung nasi Ampera itu bukan hanya menjual masakan Padang tapi juga Sunda dan Jawa. Bentuknya juga bukan lagi sekedar warung kecil tapi berkembang jadi restoran besar.

* pernah dimuat di Khazanah Minggu Padang Ekspres – 10 Februari 2013



Bukan Sekedar Perintang Waktu: Didikan Subuh dan Pesantren Kilat

Pada momentum peringatan hari kebangkitan nasional, ada baiknya kita membalik lembaran sejarah lahirnya Didikan Subuh (DS) di Sumatera Barat. DS merupakan salah satu respon terhadap kondisi Pemerintahan Presiden Soekarno yang saat itu didominasi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menerapkan/ membaurkan Nasionalisme, Agama dan Komunisme yang disingkat) Nasakom.

Masyarakat lebih banyak direcoki dan dimobilisasi isu konprontasi dengan Malasyia dan anti Amerika. Di mana-mana, di dinding toko, tembok-tembok pagar hingga ke sekolah-sekolah dipenuhi corat coret tulisan Ganyang Malaysia dan Ganyang Armada Ke 7 Amerika.

Menghadapi kemungkinan perang, rakyat diperintahkan membuat lobang berbentuk leter “L” di depan, dibelakang atau di bawah rumah masing-masing sebagai tempat persembunyian. Di setiap sekolah juga dibuat lubang lebih besar semuat seluruh murid sekolah. Selain menyiapkan rakyat terlatih yang kemudian digabungkan ke dalam organisasi Pemuda Rakyat, lembaga pendidikan hingga kegiatan pramuka pun dikerahkan belajar Nasakom dan bahkan belajar huruf Cina.

Padahal kemudian bertiup kabar bahwa bila PKI berhasil mengambilalih kekuasan pemerintahan, maka seluruh umat Islam akan dibunuh. Para ulama, tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh yang anti PKI masuk dalam lest hitam atau daftar orang-orang yang akan dibunuh. Lobang-lobang tadi akan digunakan sebagai kuburan massal.

Dalam situasi seperti itu pendidikan agama terpinggirkan. Pesantren dan kegiatan di masjid dicurigai dan diawasi sehingga kegiatan mengaji anak-anak di surau dan cermah-ceramah agama di masjid jadi sepi. Kalau pun ada yang berani melaksanakan pendidikan agama di surau/mushalla dan masjid akan ditakuti-takuti dan digangu oleh orang-orang tak dikenal yang waktu disebut orang hitam.

Berbagai ikhtiar dilakukan umat Islam untuk pendidikan agama anak-anak. Salah satunya adalah melaksanakan pendidikan di waktu subuh yang kemudian berubah istilah jadi Didikan Subuh. Didikan Subuh pertama lahir di Mushalla Aljadid Simpang Aru, Padang, tahun 1964. Selain belajar mengaji dan pendidikan keislaman Didikan Subuh melatih anak-anak berpidato (muhadharah) diskusi dan menyanyikan nyanyian islami. Ternyata, berkat publikasi koran-kortan anti PKI dan RRI, didikan subuh cepat diterima dan diikuti masyarakat.

Setelah peristiwa gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan istilah Gestapu /PKI dan pemerintahan diambilalih Kolonel Seoharto, PKI dibubarkan dan diganyang di mana-mana. Keadaan pun berubah. Umat Islam mendapat kebebasan menjalankan pendidikan agama sehingga Didikan Subuh pun berkembang sampai ke pelosok desa.

Sebagian besar penggerak Didikan Subuh adalah pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) atau Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saat itu kedua organisasi ini merupakan anggota inti Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) motor penumbangan Orde Lama. Mereka punya pasukan khusus (pasus) dengan jaket loreng kuning merah hitam dan mendapat latihan dasar kemiliteran. Anak-anak didikan subuh pun dilatih kesamaptaan.

Buya Prof. DR. Hamka yang kala itu jadi ketua/imam Masjid Al-azhar Kemayoran Jakarta, juga mengembangkan didikan subuh dan kuliah subuh bagi orang dewasa. Kuliah subuhnya diterbitkan Majalah Panji Masyarakat, majalah Islam Pimpinan Buya Hamka. Belakangan kuliah subuh itu dibukukan.

Sedang Pesantren Ramadhan (PR) lahir dan berkembang dari Pesantren Kilat, dengan lama belajar sekitar 4 hari hingga seminggu. Pesantren kilat berkembang atas anjuran Presiden Soeharto tahun 1994 sebagai upaya antisipasi intervensi budaya asing yang merusak generasi muda.

Presiden Soeharto mengadobsi Pesantren Kilat dari Basic Tryning PII, kegiatan yang diamuk PKI di Kanigoro, Jawa Tengah 1964. Peristiwa itu kemudian menjadi awal cerita/ prolog dalam Film G.30.S/PKI. Presiden Seoharto mau menganjurkan Pesantren Kilat ala Basic Trining PPI, setelah mengakui kembali keberadaan PII yang sebelumnya dianggap membangkang karena menolak asas tunggal Pancasila. Namun dalam perkembangan metoda pengajaran di PR berubaha dari pembentukan prilaku dan pembinaan mental menjadi pengajaran agama dalam bentuk ceramah-ceramah.

Ketika kemudian kondisi sosial politik awal pemerintahan Orde Baru, beberapa tokoh tokoh Islam dari Muhamadiyah duduk di pemerintahan. Misalnya, almarhum Bapak Amir Ali diangkat jadi Kakanwil P&K Sumatera Barat yang saat itu banyak dikuasai orang-orang pro Nasakom. Sekitar tahun 1968 Amir Ali, didukung Gubernur Harun Zain mulai memerintahkan agar di tiap sekolah dibangun mushalla atau masjid tempat siswa shalat zuhur berjamaah. Dan, setiap hari Jumat para siswi SLTP/SLTA diwajibkan berbaju kurung. Di bawah Gubernur Azwar Anas (1977-1987) pembangunan masjid di sekolah, pakaian muslim dan didikan subuh terus dikembangkan.

Pada tahun 1999-2004 Pemda dan DPRD Sumatera Barat menerbitkan Perda Anti Maksiat dan Peda Baca Tulis Aguran. Antara lain mengatur soal pakaian muslim bagi para sisiwi sekolah menengah sehingga jadi seragam resmi siswa siswi SLTP/SLTA di Sumatera Barat.

* tulisan ini pernah dimuat di Pos Metro – Opini pada tanggal 21 Mei 2010



Akhir dari segala kebebasan

Manusia dengan segala kemauan, keilmuan, kemajuan dan keangkuhan membangun kultur kebebasan untuk dan atas nama hak azasi manusia, atas nama kebebasan ilmiyah, atas nama kebebasan kekuasaan, atas nama kebebasan gender, dan atas nama diri sendiri

Lalu, dengan kebebasan itu melintasi batas negara, batas budaya, batas agama, moral dan etika mengaburkan dan bahkan menguburkan batas salah dan benar, batas halal dan haram, batas pakaian antara penutup malu dan kemaluan, batas jenis kelamin, batas siang dan malam, batas ulama dan umara, batas ibu, ayah dan anak, batas guru dan murid, batas antar manusia sehinga bersalaman tak cukup dengan tangan tapi juga dengan pipi dan ciuman. Keakraban tak cukup hanya dengan keramahan, tapi juga sampai serumahan. Manusia bahkan telah melintasi batas-batas fitrahnya sendiri, memperalat agama, politik dan budaya atas nama pencintraan yang sesungguhnya adalah kebohongan.

Kebenaran agama dikaburkan dengan kemauan pikiran, batas aturan dan etik dikaburkan dengan kemauan politik, batas kemanusian berbaur dengan batas kehewanan.
Alam, gunung, bukit, laut, sungai, hutan dengan segala isinya, atas nama kebebasan diekploitasi secara angkuh dan berlebihan.Manusia memakan apa saja yg tidak biasa hanya atas nama nafsu dan kemauan.

Kini, di atas segala kebebasan itu, hanya dengan satu makhluk super kecil, direkayasa atau ada apa adanya, memaksa semua manusia untuk berhenti dan menghentikan semua kebebasannya. Kebebasan untuk melintasi negara, wilayah, agama, dan budaya, bahkan kebebasan untuk saling berjumpa. Manusia sebagai makhluk sosial harus dibatasi, bahkan sementara dihentikan.

Tak hanya dengan lain jenis atau sesama jenis kebebasan untuk bertemu dengan anak dan keluarga sendiri pun dihentikan. Jangankan bersalaman sesama, berdekatan pun harus dihentikan. Jangankan untuk mengambil, menguasai dan merampas sesuatu untuk menyentuh apapun harus dipertimbangkan.

Kini adalah satu kesempatan berdiam diri di rumah, duduk dan merenung siapa manusia kita selama ini dan apa makna musibah yang sedang menimpa. Kenapa rumah dan harta kita harus dibersihkan, disemprot, dan diri kita harus bersih baik dari kotoran pikiran, tangan dan dari apa yang melekat di badan maupun dari kenalan, perkoncoan, keluarga dan tetangga sendiri.

Mudah-mudahan ada satu kesadaran, “manusia kembalilah kepada fitrah sebagai makhluk yang suci dan bersih diciptakan dengan aturan dan batasan-batasan.

Padang, 28/03/2020



Peradilan Raja Hutan


Empat ekor harimau Sumatera diadili di Dusun Durian Jantung, Kenagarian Batu Basa, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman pertengahan November 2005 lalu. Tanpa didahului pengusutan, panggilan pemeriksaan, tanpa keterangan saksi dan barang bukti atau tanpa didahului penyelidikan dan penyidikan, keempatnya langsung dilimpahkan ke mahkamah.

Mereka kemudian diadili secara inabsensia dengan dakwaan membunuh dan memangsa ternak penduduk. Keempatnya dituntut hukuman mati. Lalu, tanpa eksepsi, tanpa saksi, tanpa pledoi terdakwa, tuntutan itu dikabulkan sepenuhnya. Mereka kemudian divonis mati.

Eksekusi pun dilakukan secara “in-absensia”. Yakni dengan cara menabur racun pada makanan, lalu, ditaruh di tengah hutan kediaman mereka. Tak lama kemudian keempat harimau itu tewas sekaligus. Saat ditemukan jasadnya, diketahui tiga diantaranya adalah anak harimau, yang mungkin masih disuapi induknya.

Polisi yang datang ke lokasi itu, 21 November 2005 lalu, dibuat bingung. Soalnya, penegakkan hukum terhadap harimau itu tak mengikuti prosedur yang berlaku. Seandainya, keluarga harimau menuntut balik, misalnya, menggugat ganti rugi atau praperadilan, polisi pasti kelabakan. Sebab, siapa penuntut, hakim dan eksekutornya hingga sekarang belum terungkap.

Bahkan ternak siapa yang dimangsanya, tak ada pula saksi korban. Kemudian, apakah keempat harimau itu memangsa ternak secara bersama-sama. Atau hanya dilakukan induknya, sedang anaknya hanya turut serta membunuh, atau cuma sekedar menikamti hasil “kejahatan” itu, juga tak ada penjelasan.

Hebatnya, meski harimau tak seganas gembong teroris, Dr. Azhari, jasadnya, tak dikembalikan kepada keluarganya sebagaimana jenazah Azhari. Jasad raja hutan lebih tragis. Tubuhnya dikuliti. Gigi dan tulang belulangnya dicincang. Yang dikubur cuma sisa-sisa jasadnya sehingga tak jelas lagi identitasnya.

Tekad polisi mengusut pelanggaran hukum terhadap harimau itu, tentu, perlu didukung. Polisi bisa dibantu tim pencari fakta dan komisi yudisial. Soalnya, jika dicermati lebih jauh, bisa jadi harimau itu cuma membela hak-haknya atau sekedar mempertahankan wilayanya, Hutan Lindung Maninaju Selatan bagian dari Cagar Alam Lembah Anai, yang terus diserobot. Hasil bumi dan hasil hutannya dikuras. Bahkan babi hutan pun diburu tiap minggu.

Padahal, meski melarat di bawah garis kemiskinan, harimau tak mendapat santunan dari Dinas Sosial. Mereka juga tak kebagian dana konpensasi BBM karena belum tercatat petugas BPS. Lantas, untuk bertahan hidup itu, salahkah mereka memangsa satu dua ekor ternak sekali dalam sepuluh atau dua puluh tahun?

Tentulah sangat tidak adil kalau harimau dipersalahkan dan dialili hanya karena ia dijuluki raja hutan. Sementara raja hutan sesungguhnya, yang menguras kekayaan hutan, menyelundupkan kayu keluar negeri, menilap APBN dan APBD, belum pernah dihukum mati. Kita menduga harimau dihabisi karena memang berjulukan raja hutan. Para eksekutor menghasbisinya dan mengambil atributnya untuk kebanggaan dan popularitas pribadi.

Polisi tampaknya memang perlu mengusut kasus ini. Soalnya, sejak manusia jadi raja di hutan, penegakkan hukum oleh manusia terhadap manusia mulai terkontaminasi hukum hutan itu. Sehingga, prosedur baku pengusutan, seperti penyelidikan, penyidikan dan asas praduga tak bersalah makin sering diabaikan.

Lihat saja pengungkapan beberapa kasus, misalnya dugaan korupsi, belakangan. Begitu ada “informasi”, entah itu pengaduan seseorang, melalui surat resmi atau surat kaleng, langsung diekspose secara besar-besaran dan beruntun di media massa. Nama dan pekerjaan tersangka dirinci dan modus kejahatannya dikisahkan seolah sudah teruji melalui proses pembuktian. Tak peduli, akibat ekspose itu, media ikut terseret malanggar ketentuan tentang trial by the perss, penghakiman media terhadap seseorang yang belum tentu bersalah.

Sebaliknya, terduga nyaris tak diberi kesempatan untuk menanggapi atau menggunakan hak jawabnya. Kalau pun mencoba membantah, ia akan berhadapan dengan tuduhan tak kooperatif dan melawan petugas, dan bisa berujung pada penahanan.

Padahal, mestinya sebelum diekspose, tiap infromasi harus diuji kebenarannya melalui rangkaian penyelidikan, pengusutan secara tertutup oleh intelijen. Kemudian diikuti penyidikan, pemeriksaan secara terbuka. Tersangka dan saksi diminta keterangannya dan barang bukti dikumpulkan. Ini penting, selain menghindari trial by the pers, juga karena apa yang diekspose sering berbeda dengan hasil penyelidikan, penyidikan dan bahkan vonis pengadilan.

Jika kemudian terdakwa divonis bebas, lantas siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pencemaran nama baik akibat ekspose penyidik itu. Siapa yang mengganti kerugian tersangka yang kehilangan waktu dan pekerjaan akibat penahanan? Siapa yang harus mengganti kerusakan harta benda tersangka yang terlanjur disita. Siapa yang harus merehabilitasi nama baik dan memulihkan kembali krakter seseorang yang terbunuh akibat kekeliruan penerapan hukum itu?

Lembaga praperadilan atau pasal 333 KUHP dan pasal 95, 96 dan 97 KUHAP memang memberi peluang kapada korban salah tangkap, salah tahan, dan salah didakwa, menuntut pidana dan ganti rugi. Namun prakteknya, pasal ini sulit ditembus para korban. Sedangkan rehabilitasi dalam amar putusan hakim saja terbukti belum cukup membersihkan opini jelek terhadap seseorang.

Kerana itulah agaknya, Presiden SBY menerbitkan Inpres Nomor 5 Tanggal 9 September 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. D situ Presiden memerintahkan agar Kapolri dan Jaksa Agung “mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang oleh jaksa (Penyidik, Penuntut Umum) dan anggota Polri”.

Instruksi presiden saja tentu belum cukup. Pakar hukum mesti merumuskan secara lebih konkret tentang rehabilitasi nama baik korban penyalahgunaan kekekuasan itu dalam KUHP dan KUHP. Sehingga dengan demikian, penyidik tidak sembarangan mengekspose satu kasus sebelum melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Jika tidak, para tersangka yang belum tentu bersalah tetap akan diperlakukan bak raja hutan yang diracun cuma atas dasar ambisi, emosi dan dugaan-dugaan.****

Fokus Minggu Harian Haluan 11 Desember 2005



Payakumbuah Pasa Rang Limapuluah

Jika Bukittinggi adalah koto (kota) rang Agam, maka Payakumbuh pasa (pasar) rang Limapuluh. Ungkapan yang kedua itu tak muncul sendiri melainkan berlatar belakang sejarah, politik, sosial budaya dan ekonomi Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota.

Dalam tambo, misalnya, disebutkan serombongan orang berjumlah 50 orang konon turun dari Pariangan sampai di daerah yang ditumbuhi kumbuah, sejenis tumbuhan rawa. Lalu, di Labuah Basilang mereka berpisah dan masing-masing mendirikan kampung sampai akhirnya jadi 50 koto.

Dalam sejarah, Payakumbuh adalah ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, sebelum berdiri sendiri jadi Kotamadya 17 Desember 1970. Tak heran jika warga Limpuluh Kota hingga hari ini menyebut Payakumbuh “pasa” alias pasar. Kalau ada yang bertanya dan dijawab ka “pasa”, itu artinya Payakumbuh. Tak ada sebutan “pasa” selain Payakumbuh.

Untuk pasar selain Payakumbuh warga menyebutnya “pokan” atau pekan. Di kawasann mudiak (Limapuluh Kota Bagian Utara) yaitu Kecamatan Payakumbuh, Guguak, Mungka, Suliki, Bukit Barisan, dan Kecamatan Gunung Omeh, bila menyebut “pokan”, itu bisa berarti Pokan Komih/ Kamis (Limbanang), Pokan Sotu/ Sabtu (Dangung-Dagung), Pokan Sinoyan/ Senin (Suliki), Pokan Lasa /Selasa (Mungka), Pokan Rabaa/Rabu (Simalanggang). Begitu juga di Kecamatan Harau, Luhak, Sago Halaban atau Situjuah Limo Nagori.

Hanya warga Kecamatan Kapur IX dan Pangkalan Koto Baru yang menyebut Payakumbuh. Mereka menyebut pasa untuk pekan-pekan untuk pasar yang ada di tiap nagari di sana. Perbedaan itu mungkin karena zaman penjajahan Belanda Kecamatan Kapur IX dan Pangkalan Kotobaru berada di bawah Keresidenan Bangkinang.

Terlepas dari faktor sejarah itu, kultur dan ekonomi masyarakat Limapuluh Kota memang telah menempatkan Payakumbuh sebagai pasarnya. Apapun produk Limapuluh Kota dipasarkan di Payakumbuh. Sebaliknya kebutuhan pun dibeli di Payakumbuh. Hanya belakangan sejak Bupati Alis Marajo membangun jalan ke pelosok Limapuh Kota, sebagian besar produk Limapuluh Kota, terutama ayam, telur, coklat, karet (sejak pabrik karet di Ngalau tutup), gambir, jagung, pisang dan sebagainya langsung dipasarkan ke Pekanbaru atau ke Padang.

Yang meramaikan pasar kuliner malam hari di Payakumbuh, penjual atau pembeli, juga warga Limapuluh Kota. Tak aneh kalau yang terkenal di malam hari di Payakumbuh adalah sate Dangung-Dagung, martabak Kubang dan jeruk Gunung Omeh, daerah Limapuluh Kota. Limpuluh Kota sendiri, meski sudah pindah ibukota ke Sarilamak, belum punya “pasa”.

Melihat kenyataan itu sudah saatnya dirumuskan perencanaan bersama pembangunan Payakumbuh dan Limpuluh Kota, sebagaimana halnya pernah saya saran dan dikerjakan Kabupaten Solok dan Kota Solok masa Ketua Bappeda Kota Solok dijabat Drs. Yulizar Bahrin 1988 silam.

Perencanaan bersama Payakumbuh dan Limapuluh Kota bisa dimulai oleh Payakumbuh dengan membangun dua pasar baru, di bagian utara kota. Pasar ini bisa jadi kolektor dan distributor produksi pertanian, perkebunan dan peternakan rakyat Limpuluh Kota Bagian Utara yang terdiri dari 6 kecamatan.

Pasar ini, bisa dinamai Latina (Limpasi Tigo Nagari), akan sangat strategis dan efektif karena terletak di lintasan Jalan Lintas Sumatera, Pekanbaru – Bukittinggi. Pasar ini bisa jadi pusatdistribusi ayam, telur dan beras dari Limapuluh Kota Bagian Utara ke Pekanbaru, pasar utama produk Limapuluh Kota.

Konsekwensinya, Pemkab Limapuluh Kota perlu meningkatkan status jalan Lampasi – Mungka- Limbanang dari jalan kabupaten jadi jalan provinsi menambah volume angkutan di Jalan Lampasi- Dangung-Dagung – Limbanang yang sudah berstatus jalan provinsi.

Peningkatan status jalan ini jadi penting mengingat kawasan ini paling besar jumlah penduduknya dan jumlah sekolahnya. Selain lebih luas wilayahnya juga merupakan penghasil utama beras, ayam dan telur di Lampuluh Kota, sekaligus mendukung percepatan Koto Tinggi menjadi kota.

Pasar baru kedua yang dibutuhkan Payakumbuh adalah di sekitar Bukit Sitabuah Air Tabit atau bagian selatan kota. Pasar ini akan berfungsi sebagai pusat perdagangan beras dari selatan Limpuluh Kota, seperti dari Kecamatan luhak, Sago Halaban dan Situjuah Limo Nagari. Pasar ini sekaligus menampung produk dari Lintau Kabuapten Tanah Datar. Konsekwensinya Limapuluh Kota harus meningkatkan jaringan jalan di sekitar Luhak, Sago Halaban, dan Situjuah.
Dengan demikian, warga Payakumbuh/Limapuluh Kota tak harus bagadincik di Pasar Ibuah dan pasar pusat kota yang kini jadi sarang kemacetan.

Tapi pembangun kedua pasar tersebut memang sangat ditentukan kejelian pejabat kedua daerah melihat peluang dan tantangan kemudian bagiamana merencanakan peningkatan kesejahteraan rakyat daerahnya hingga sepuluh tahun ke depan. Dan, ini tentu lebih ”merakyat” ketimbang membangun lapangan terbang yang peernah dikemukakan Walikota Payakumbuh. Sebab, bandara hanya menyangkut kepentingan orang-orang berduit karena yang naik pesawat terbang hanyalah orang-orang mampu.

Kita melihat rencana pembangunan pasar itu merupakan ujian bagi kedua kepala daerah terhadap komitmennya pada peningkatan kesejahteraan rakyat. (*)

Komentar Singgalang Kamis 20 Maret 2014