All posts by Redaksi

Tidak Amanah, Sekretaris Majlis Syuro Partai Masyumi Abbas Thaha diminta Melunasi Hutang

Konflik internal yang terjadi sejak meninggalnya Buya Haji Afifi Fauzi Abbas masih belum lagi selesai di Yayasan Darul Funun El-Abbasiyah. Yayasan Darul Funun El-Abbasiyah menaungi Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah pun kini terancam pailit.

Pinjaman lunak yang kemudian berubah menjadi hutang piutang terjadi akibat pemecatan sepihak bendahara Yayasan istri kepada Buya Haji Afifi Fauzi Abbas yang bernama Ummi Hajjah Mona Eliza oleh pihak Dewan Pembina Yayasan.

Hutang ini kini berjumlah tidak sedikit dan telah mengambil masa tertunggak tiga tahun sejak meninggalnya Buya Afifi Fauzi Abbas. Dewan Pembina yang memberhentikan beliau adalah Abbas Thaha yang merupakan sekretaris Majlis Syuro Partai Masyumi dan Mazman Mazni yang merupakan seorang pensiunan.

Pimpinan Perguruan Darulfunun Funun El-Abbasiyah Abdullah Afifi yang merupakan cicit langsung dari Syekh Abbas Abdullah dihubungi terpisah di kediaman beliau di Bangi-Malaysia mengungkapkan aksi semacam ini menunda-nunda hutang sambil memanfaatkan situasi bukan merupakan cerminan seorang muslim yang baik.

Sebagai seorang politisi Muslim seharusnya Abbas Thaha memberikan contoh yang baik. Jika perkara seperti ini saja tidak amanah, apalagi jika diharapkan mengurus urusan bangsa dan negara ini.

Hutang yang berlarut-larut kini telah berjumlah tidak sedikit hampir 1,5 Milyar dan terus bertambah dikarenakan operasional yang masih terus dibantu oleh dana talangan pribadi ummi.

Menyikapi hal ini Pimpinan Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah tentu hanya bisa pasrah, jika memang sikap tersebut tidak berubah tentu kita tidak bisa berharap apa-apa, sebagian kita memang diberikan cobaan dari sikap dan integritasnya.

Walaupun begitu beliau juga mengingatkan salah satu perkara yang tidak bisa dibawa mati adalah hutang, Rasul bahkan menyampaikan orang yang mati dalam keadaan berhutang akan sia-sia didoakan karena Allah tidak menerima amalannya.



Ikhtiar dan Takdir

Kita sering bertanya tentang takdir dan ikhtiar. Rasanya kejadian ini adalah penjelasan bagaimana kita dapat memahami takdir, ikhtiar.

Opsi umum pertama, adalah qadarullah, Allah membuat aturan ikhtiar akan mendatangkan hasil.

Akan tetapi ada banyak kemungkinan lain, dimana ada banyak variabel-variabel hukum alam yang Allah tentukan yang kita tidak tahu, pandang sederhana tapi menentukan ataupun salah kalkulasi.

Opsi kedua diantara banyak kemungkinan itu adalah ikhtiar tidak berjalan sesuai perkiraan, mungkin karena Allah telah merencanakan hal lain yang terbaik lainnya.

Dalam keadaan seorang anak yang terjatuh dalam sumur 32 meter, dan proses evakuasi dimana tim reaksi cepat mencoba mengebor (mereka menyebutnya, memindahkan gunung). Ikhtiar mereka berhasil, akan tetapi anak itu meninggal sebentar setelah diselamatkan.

Disinilah ikhtiar dengan berbagai kemungkinan itu tetap harus diupayakan, mereka menyebutnya kemanusiaan dalam level tertingginya, walau mengetahui mereka tidak  akan mendapatkan hasil yang sesuai (humanity at its best).


إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

‎Update: official Moroccan news have confirmed that little Ryan has passed on to the mercy of Allah. He gives and He takes; and our time to return has been destined. May Allah grant the family patience and comfort and make him an intercession for them on the day of decision.

Earlier:
As Morocco moves a mountain to save a five year old boy who fell into a deep well, we are praying in the few seconds remaining that he will be brought out alive. This is humanity at its best – the whole world watching and praying! #SaveRayan



Muhasabah Diri (119): Manusia Memusuhi Apa Yang Dia Tidak Tahu

Proses adalah hal yang amat penting dalam pencarian ilmu. Sosok pembelajar jarang berhenti sebelum apa yang dia cari didapati. Pantang baginya berleha-leha jika belum sampai ke tujuan. Menuntut ilmu tidak kenal masa pensiun. Sepanjang hayat adalah waktu untuk mencari ilmu. Salah seorang tabiin Sa’id bin Jubair rahimahullah, berkata:

(لاَ يَزَالُ الرُّجُلُ عَالماً مَا طَلَبَ العِلْمَ ، فَإِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ عَلِمَ فَقَدْ جَهِلَ)

Artinya: “Seseorang masih dikatakan alim selama ia menuntut ilmu, dan jika ia merasa telah berilmu maka ia adalah bodoh.” (Tadzkirat As-Sami’ wa Al-Mutakallim)

Kesungguhan akan mendatangkan kegigihan. Kegigihan akan menghasilkan ketangguhan. Sungguh, gigih, tangguh jadi motto bagi mereka yang menghendaki kejayaan peradaban yang berbasis ilmu. Sungguh mulia para penebar ilmu. Betapa banyak yang diperbuat dengan ilmu. Tapi sebaliknya dibalik geliat ilmu ada juga yang hanya bisa menilai dengan paradigma sempit yang bersumber jangkauan ilmu yang yang terbatas. Bak katak dalam tempurung, senang menilai orang lain dengan kacamata pribadi. Sejarah mengabadikan betapa besarnya buih yang menghadang Rasulullah Saw dan para sahabat. Pertentangan, pemboikotan bahkan pembunuhan, tapi semuanya dihadapi generasi yang unik ini dengan keteguhan hati demi menebarkan kebenaran sejati. Bahkan Rasulullah Saw mendoakan mereka dengan kebaikan ilmu.

اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون

Artinya: “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku karena mereka tidak mengetahui”. (HR. Baihaqi)

Secara makna hadits ini benar, meskipun ada pandangan ulama hadits ini lemah, sirah Rasulullah Saw juga menggambarkan bagaimana harapan beliau kepada penentangnya agar dapat hidayah. Hidayah harus dijemput dengan ilmu, karena ketidak tahuan akan senantiasa menentang kebenaran.

Semoga kita selalu terjaga dari sifat menentang kebenaran. Dan senantiasa Istiqomah dijalan ini…



Muhasabah Diri (118): Merasa Kerdil Dengan Ilmunya

Tidak semua yang kita inginkan berarti baik buat kita. Begitu juga sebaliknya, tidak semua yang baik kita jadikan tujuan hidup. Menuntut ilmu adalah kebaikan. Tapi tidak semua kita mencarinya. Berbagi ilmu adalah kebaikan, tapi juga tidak semua kita melakukannya. Kadang-kadang kita pelit dengan kebaikan, boros dengan keburukan. Bahkan ada yang bangga dengan maksiat yang dilakukan. Sampai-sampai ada yang pamer maksiat melalui media yang mampu dia bayar. Padahal kebanggaan seperti itu hanyalah sesaat dan diakhirat penyesalan yang didapati jika tidak bertaubat sebelum ajal datang mendekat.

Yang berjibaku berbagi kebaikan tetap ada. Pewaris ilmunya nabi, senantiasa introspeksi diri. Berbagi ilmu bagi mereka adalah tradisi. Suatu saat kebiasaan ini terkikis sedikit demi sedikit pertanda dunia sudah diujung waktu. Ilmu eemakin dibagi, semakin terasa bahwa manusia hanyalah buih diatas samudera lepas. Bahkan tidak ada apa-apanya… Kecil, kerdil tidak patut ada secuil kebanggan dan keangkuhan dihadapan kekuasaan Yang Maha Rahman.

Siang hari menebar kebaikan dengan menghiasi jatah usia mereka dengan berbagi aktivitas kebaikan. Malam hari diisi dengan muhasabah dan istighfar, segala sesuatunya atas kehendak Allah SWT. Selayaknya begitulah yang dilakukan para pewaris nabi. Semakin berilmu, semakin tunduk dan takut pada Allah SWT.

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Tetap produktif dalam menghiasi perjalan waktu, itulah motto para pewaris nabi. Mengaukui manusia adalah kecil didepan samudera ilmu yang luas…



Muhasabah Diri (117): Aksesori Yang Menipu

Beragama menurut sebagian orang tidaklah penting, sehingga aktivitas kearah itu hampir tidak mewarnai hidupnya. Tapi ada momen-momen tertentu, agama dia cari. Saat ada kematian, saat ada musibah… Begitulah manusia, sadar disaat ada kesempitan, lupa diri disaat ada kesempatan. Menagis disaat diberi ujian, ketawa disaat mendapatkan pujian. Seseorang yang sadar akan hakikat agama, upaya mencarinya jadi agenda utama. Tapi para abdi dunia, akan selalu menghindar untuk mempelajarinya. Tipe manakah kita?. Kita sendiri yang menentukan.

Bagi orang tua, pendidikan anak tentulah utama. Demi mengharapkan masa depan cerah, berbagai jalan ditempuh, termasuk mencari ilmu buat jaminan hidup nyaman dan sejahtera. Bahkan tidak sedikit orang tua berkerja membanting tulang buat kesuksesan buah hatinya kelak. Alangkah bangganya disaat menyaksikan keberhasilan buah hatinya dalam dunia akademis dan dunia kerja. Tamat dari sekolah dan kampus mentereng, dan bekerja di perusahaan bergengsi dengan gaji lumayan buat hidup dan segenap tuntutan kekinian. Rumah mewah dengan berbagai fasilitas menakjubkan jadi kebanggaan.

Sahabat…
Hidup mapan tentu banyak manfaatnya. Kekayaan tentulah banyak membantu kemudahan hidup. Tapi perlu diingat, jika hal itu didapati tanpa mengindahkan agama, suatu saat malah jadi beban berat di mahkamah Ilahi. Mengenyampingkan persoalan rohani hanya akan mempersulit diri pada waktu tidak akan bermanfaat harta maupun anak keturunan. Fatamorgana keindahan sesaat yang menipu, berakhir dengan kesengsaraan tanpa ujung.

Bagi seorang muslim, selayaknya harta kekayaan, begitu juga anak keturunan jadi pemberat timbangan kebaikan dan investasi pahala diakhirat kelak. Sehingga kenikmatan di dunia dan akhirat sama-sama didapat.



Muhasabah Diri (116): Perlombaan Itu Kian Terasa Asing

Hidup hakikatnya adalah ladang amal, kesempatan mengumpulkan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang nanti bermuara pada kenikmatan atau kesengsaraan. Sekaranglah kesempatan untuk menentukannya. Dalam mencari bekal perjalanan, kadang-kadang dilakukan secara bersama-sama dan kadang-kadang sendiri-sendiri, meskipun demikian hasil dan pertanggungjawabannya tetap bersifat individual. Di dunia kita masih saling mengelak untuk melakukan kebaikan, tapi diakhirat adalah penyesalan.

Tanpa ilmu bisa jadi bekal yang kita cari akan sia-sia. Bekal itu sudah diwariskan oleh Rasulullah Saw untuk umatnya. Itulah yang kita buru hari ini. Berbagai sarana kita manfaatkan untuk mengais ilmunya Rasulullah Saw melalui ulama para pewaris nabi. Dengan ilmu itulah kita menegaskan identitas diri kita sebagai muslim. Tanpa itu kehidupan kita sama dengan kebanyakan orang, sia-sia umur kita. Penyesalan yang berkepanjangan akan diperoleh diakhirat kelak.

Keberadaan para ulama semakin hari semakin berkurang pertanda dunia sudah tua dan keberkahan ilmu semakin menipis. Fenomena kebodohan banyak dipamerkan, bahkan hari ini sudah mulai terjadi seseorang tidak kenal lagi dengan tuntutan agamanya. Agama hanya dianggap identitas diatas selembar kertas, bukan sebagai titik tolak beraktivitas. Menampilkan pribadi yang beragama hari ini dianggap aneh dan akan terasing dimata kebanyakan orang. Inilah sebuah gambaran yang pernah diungkapkan Rasulullah Saw terhadap umat terakhir ini.

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Artinya: “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim).

Semangat perlombaan untuk kebaikan hari ini sudah mulai memudar. Kebaikan akan buram dimata para budak dunia. Buruk dan menyesakan bagi mereka yang akrab dengan maksiat.

Sahabat…
Istiqomah ditengah keterasingan memang berat. Tapi itulah jalan keberuntungan…
فطوبى للغربى



Muhasabah Diri (114): Tantangan Ilmu, Jangan Disia-Siakan

Belajar adalah kebutuhan setiap orang yang menginginkan perubahan. Tapi tidak sedikit juga yang merasakan bahwa belajar adalah beban. Bagi si pembelajar, ada kepuasan sendiri disetiap melalui pase-pase pembelajaran. Juga ada yang merasa tertekan disaat menghadapinya. Ilmu amatlah luas ranahnya, tidak semua orang leluasa meraihnya. Tidak banyak orang yang mampu menguasai banyak bidang ilmu, yang banyak adalah pakar di bidang tertentu.

Disaat ilmu sudah dapat diraih. Ada saatnya buat mengamalkannya, mengembangkannya agar terpakai untuk waktu selanjutnya. Begitulah ilmu, tidak boleh didiamkan. Sejarah memberitahu bahwa ulama terdahulu amat perhatian dengan ilmu. Disaat mereka menguasai konsep ilmu tertentu, pantang bagi mereka untuk tidak mengembangkannya. Mereka lakukan itu, karena yang namanya temuan ilmu pengetahuan berubah-ubah. Jadi jika tidak mengikuti karakter ilmu kita akan ketinggalan. Sebagai contoh perkembangan ilmu pengetahuan sangat membantu kita dalam memahami Al-Qur’an. Memahami makna ungkapan Al-Qur’an secara konvensional bukanlah solusi. Kata ذرة dalam Al-Qur’an tidak sama artinya dalam pandangan ulama.

وَمَا تَكُوْنُ فِيْ شَأْنٍ وَّمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْاٰنٍ وَّلَا تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا اِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِۗ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَّبِّكَ مِنْ مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ وَلَآ اَصْغَرَ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرَ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Artinya: Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus: 61)

Pemahaman para ulama terhadap kata zarrah/ ذرة berkembang dan berubah-ubah, ada yang memaknai semut kecil yang kemerah-merahan, juga ada yang melihat bahwa zarrah adalah debu. Juga ada yang mengartikan biji sawi dan biji bayam. Terakhir juga ada yang memaknai atom. Ilmu menuntut kita untuk selalu mengkaji. Ayat-ayat Al-Qur’an tentu tidak akan berubah, karakter ilmulah yang senantiasa berubah-ubah. Banyak contoh-contoh lain dalam Al-Qur’an terkhusus tentang ayat-ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan. Ada kata الطارق, apakah artinya bintang yang muncul di malam hari saja? Atau jenis bintang yang ada mengeluarkan bunyi? Karena kata الطارق makna asal katanya dan kata bentukan derivasinya ada kandungan unsur bunyi disitu disitu. Ibarat seorang mengetuk pintu الطارق ada unsur bunyinya. Atau مطرقة palu juga ada unsur bunyinya. الطريق jalan ada unsur bunyi pejalan kaki. Terakhir ilmuwan antariksa juga ada menemukan fenomena jenis bintang yang berbunyi yang mereka sebut bintang Pulsar.

وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ، النَّجْمُ الثَّاقِبُ

Artinya: 1. Demi langit dan bintang Thariq, 2. tahukah kamu apakah Thariq itu? 3. (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.(QS. At-Thariq: 1-3)

Sahabat…
Menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan, tantangan buat kita bahwa sebagai bentuk amanah ilmiah tentu ikut ikuti juga perkembangannya. Disatu sisi akan ditemukan keunikan dan kemukjkzatan al-Qur’an dan tantangan buat kita bahwa ada celah buat kita menampilkan keunikan Al-Qur’an…



Muhasabah Diri (102): Jangan Remehkan Ilmu Dan Ahlinya

Sok alim, sok bersih…, mungkin sering kita dengar lontaran seperti ini dalam keseharian. Disaat ada yang tidak berkenan dihati seseorang. Tidak semua orang siap menerima nasehat dan kritikan. Sikap sombonglah yang menghalangi seseorang berat menerima nasehat. Meskipun demikian, masih ada yang membutuhkan nasehat dan arahan dalam hidupnya. Bahkan dia berterimakasih kepada seseorang yang telah memberinya nasehat. Jika kebiasaan saling menasehati hilang, barangkali hal-hal negatif akan mudah mewabah. Maksiat menyebar dengan cepat. Pola hidup cuek jadi gaya keseharian.

Dalam mencari ilmu, keikhlasan adalah modalnya. Lihat para ulama… Meskipun berbagai macam ujian dan siksaan yang dihadapi, bahkan nyawa taruhannya, mereka tetap teguh dan istiqomah. Said Ibnu Jubair, tetap saja selalu menasehati para algojonya Al- Hajjaj Ibnu At-Tsaaqafi yang menyiksa beliau, keteguhan hatinya betul-betul teruji sampai kesyahidan menjemputnya. Imam Ahmad bin Hambal, meskipun dijebloskan ke penjara, tetap konsisten dengan keyakinannya tanpa surut sedikitpun dan tetap dengan santun kata-kata nasehat selalu keluar dari lisannya. Contoh ketelandan dari para ulama amatlah banyak, tinggal kita yang harus menggali keteladanan dari mereka.

Fenomena penyimpangan dan pengkerdilan terhadap ilmu dan ulama sudah terjadi sepanjang sejarah manusia. Diantara bentuk penyimpangan dalam mencari ilmu adalah melenceng dari niat yang mulia. Ambisi diri ingin dipuji, mengharapkan orang lain salut dan berdecak kagum padanya. Padahal itu sebuah kesalahan. Rasulullah Saw sudah mewanti-wanti umatnya dengan tipe penuntut ilmu seperti ini, hati-hati jangan sampai terjerumus dan salah tujuan.

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Artinya: “Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa menyaingi para ulama atau untuk mendebat orang-orang bodoh atau agar menarik perhatian yang lainnya, maka Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

Perdebatan banyak mewarnai hari-hari kita. Persatuan dan kekompakan umat diabaikan demi menuruti ambisi pribadi. Dengan leluasa dan lantang mencaci maki para ulama, hanya bermula dari perbedaan pendapat. Risih, miris hari ini umat dipertontonkan ketidak dewasaan kita menyikapan perbedaan. Ambisi diri dan keinginan eksis dari pada penuntut ilmu cenderung menyalahkan para ulama yang lebih dahulu hadir dan sudah banyak berbuat untuk umat. Salah dan khilaf sebagai manusia hal yang biasa terjadi. Ulama juga manusia biasa, kadang-kadang salah, apalagi sumber ilmu amatlah luas, wajar terjadi perbedaan. Selagi perbedaan itu tidak pada ranah yang harus diperdebatkan, berlapang dada adalah solusinya. Menjaga lisan untuk tidak mengumpat demi persatuan umat adalah jalan cerdas yang perlu ditempuh. Menahan diri untuk tidak mencaci maki orang lain adalah sifat terpuji, apalagi yang dihujat itu adalah para ulama… Menikam dari belakang bukanlah sikap yang harus dilestarikan. Menyedihkan memang umat dipertontonkan hujat menghujat… seakan-akan panggung ilmu dan ulama isinya banyak perdebatan dan caci makian… Tidak, sekali tidak seperti itu.

Saudara…Bukanlah sikap pewaris nabi itu santun dan lemah lembut dalam mengajak?. Sudahlah akhirilah menebar virus perpecahan. Semoga persatuan berhasil kita rengkuh sedikit demi sedikit. Percayalah seorang muslim akan kuat bersama saudaranya…



Ketua PDM Limapuluh Kota, Dr Afifi Fauzi Abbas Tutup Usia

SinergiNews  Kab. Limapuluh Kota, 30/09/2021. Innalillahi wa inna ilaihirraji’un. Kabar duka tengah menyelimuti Keluarga Besar Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Limapuluh Kota sekaligus juga Pimpinan Yayasan Wakaf Darul Funun El-Abbasiyah, Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, M.Ag. telah tutup usia pada Kamis (30/09/2021) pukul 04:30 WIB pagi.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat, Dr. Sofwan Karim El-Husain mengatakan rasa kehilangan tokoh Muhammadiyah dan belasungkawa atas meninggalnya almarhum.

“Kami atas nama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dan Keluarga Besar Muhammadiyah se-Sumatera Barat mengucapkan duka yang mendalam. Kami mendo’akan semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya,” kata Sofwan Karim el-Husain saat dikonfirmasi melalui WhatsApp.

Sofwan Karim mengungkapkan, Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, M.Ag. yang lahir 6 September 1956 adalah seorang ahli Fiqih, Syariah, Siyasah, Perbandingan Mazhab, Ekonomi Islam, dan Ilmu Falak di Indonesia. Beliau juga adalah Pimpinan Yayasan Wakaf Darulfunun El-Abbasiyah, Ketua Senat IAIN Bukittinggi, Ketua Muhammadiyah Lima Puluh Kota.“Beliau murni tokoh Muhammadiyah dengan menelusuri latarbelakang pendidikan dan kiprah organisasi, tak diragukan lagi sepenuhnya mengabdikan hidup untuk perkembangan dan kemajuan dakwah Muhammadiyah di Sumatera Barat,” ucap Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat tersebut.

Almarhum mengajar di IAIN Bukittinggi dan pernah mengajar selama 30 tahun di UIN Syarif Hidayatullah, Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka (UHAMKA) Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekolah Tinggi dan Manajemen PPM.

REKAM JEJAK

Semasa hidup, almarhum pernah dipercaya sebagai Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Wakil Dekan Administrasi Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Direktur Percetakan Dikdasmen Muhammadiyah.

Selain itu, beliau juga menjabat Pimpinan Yayasan Wakaf Darulfunun, Direktur Darulfunun Institute dan pengajar Ushuluddin di kelas Surau Darulfunun dan Kuliyyatul Muallimin. Beliau akhir-akhir ini terlibat sebagai Ketua PDM Muhammadiyah Limapuluh Kota, anggota Majlis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah dan Ketua Senat IAIN Bukittinggi.

Almarhum juga pernah terlibat sebagai anggota Divisi Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, anggota Bendahara Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Direktur Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, anggota MUI, anggota LPOM MUI, peserta sidang Itsbat MUI dan anggota ICMI.

Selain organisasi dakwah, almarhum juga aktif dalam organisasi pergerakan dan sosial masyarakat, dengan menjadi Pembina Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat, Tokoh Masyarakat ASA (Perantau Sumatera) di Ciputat, Tokoh Masyarakat di Desa Pisangan, Ciputat, dan Wakil Ketua Yayasan Bhakti VII Koto Talago.***

Sumber: https://sinerginews.id/ketua-pdm-limapuluh-kota-dr-afifi-fauzi-abbas-tutup-usia/



Bupati Kampung Tan Malaka Usulkan Syekh Abbas Abdullah jadi Pahlawan Nasional

Padang – Bupati Kabupaten Liko (Lima Puluh Kota) Safaruddin Dt. Bandaro Rajo mengusulkan ulama besar Minangkabau Sjech Haji Abbas Abdullah menjadi Pahlawan Nasional.

“Sangat pantas beliau menjadi Pahlawan Nasional. Ulama besar dan tokoh yang ikut berjuang melawan Belanda,” kata Bupati Kabupaten Liko (Lima Puluh Kota) itu. Bahkan Ir Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia engaja berkunjung ke Padangjopang, Guguk Liko, ” kata Bupati yang dikenal low profile dan dekat dengan kalangan masyarakat bawah ini.

“Gelar pahlawan nasional diberikan kepada warga negara Indonesia yang telah gugur atau meninggal dunia dalam membela bangsa dan negara melawan penjajahan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ” kata tokoh Golkar Sumbar ini.

Safaruddin Bupati dari tanah kelahiran Pahlawan Kemerdekaan Nasional Tan Malaka merasa bangga ulama besar pejuang dan konseptor Indonesia lahir dari Kabupaten Liko.

Catatan : gelar pahlawan ini diberikan oleh Presiden kepada seseorang yang gugur melawan penjajahan melalui Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Tim tersebut dibentuk dan ditetapkan oleh kementerian yang terkait.

Berikut ini syarat dan prosedur pengusulan gelar Pahlawan Nasional. Kriteria gelar pahlawan ditetapkan melalui UU No. 20 tahun 2009 tentang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26, untuk memperoleh Gelar:

Syarat umum mendapat gelar Pahlawan Nasional

WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI;
Memiliki integritas moral dan keteladanan;
Berjasa terhadap bangsa dan Negara;
Berkelakuan baik; Setia dan tidak menghianati bangsa dan Negara; dan
Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
Syarat khusus mendapat gelar Pahlawan Nasional

Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang menpunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Berikut adalah prosedur pengusulan gelar pahlawan yang dikutip melalui Indonesia.go.id:

Masyarakat mengajukan usulan Calon Pahlawan Nasional yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota setempat. Bupati/Walikota mengajukan usulan Calon Pahlawan Nasional yang bersangkutan kepada Gubernur, melalui instansi Sosial Provinsi setempat.
Instansi Sosial Provinsi menyerahkan usulan Calon Pahlawan Nasional yang bersangkutan tersebut kepada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) untuk diadakan penelitian dan pengkajian (melalui Proses seminar, Diskusi maupun Sarasehan).
Usulan Calon Pahlawan Nasional yang menurut pertimbangan TP2GD dinilai memenuhi kriteria, kemudian diajukan kepada Gubernur yang akan merekomendasikan kepada Menteri Sosial RI.
Menteri Sosial RI Cq. Direktorat Jenderal Pemberdayaan sosial dan Penanggulangan Kemiskinan/Direktorat kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial mengadakan verifikasi kelengkapan administrasi.
Usulan calon Pahlawan Nasional yang telah memenuhi persyaratan administrasi kemudian diusulkan kepada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) untuk dilakukan penelitian, pengkajian dan pembahasan.
Usulan Calon Pahlawan Nasional yang menurut pertimbangan TP2GP dinilai memenuhi kriteria, kemudian oleh Menteri Sosial RI diajukan kepada Presiden RI melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan guna mendapatkan persetujuan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional sekaligus Tanda Kehormatan lainnya.
Usulan Calon Pahlawan Nasional yang tidak memenuhi persyaratan dapat diusulkan kembali 1 (satu) kali dan dapat diusulkan kembali minimal 2 (dua) tahun kemudian terhitung mulai tanggal penolakan, sedangkan usulan Calon-Pahlawan Nasional yang ditunda dapat diusulkan kembali dengan melengkapi persyaratan yang diminta dan diajukan kembali kepada Menteri.
Upacara penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dilaksanakan oleh Presiden RI menjelang Peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November

Dikunjungi Soekarno

Bupati mengatakan jauh sebelum ditemui Sukarno, Syekh Abbas Abdullah dan kakaknya Syekh Mustafa sudah dikenal luas oleh masyarakat, terutama di Ranah Minang. Keduanya berasal dari Jorong Padang Japang, Nagari VII Koto Talago, Guguk, Limapuluh Kota.

Bersama sejumlah ulama lain, dua tokoh tersebut menjadi bagian dari gerakan pembaharuan pemikiran dan pengajaran Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20. Keduanya juga aktif berorganisasi dan ikut dalam perjuangan kemerdekaan.

“Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah adalah putra dari Syekh Abdullah, salah satu ulama besar pada masanya. Laman resmi Perguruan Darul Funun El-Abbasiyah menyebutkan, Syekh Abdullah adalah anak dari Tuanku Nan Banyak Dt Perpatih Nan Sabatang. Tokoh ini adalah wakil Tuanku nan Bonjol untuk urusan pengadilan dan hakim pada masa Padri,” kata Bupati.

Syekh Abdullah memiliki enam anak dari tiga istri. Yang tertua adalah Syekh Muhammad Shalih. Anak kedua dan ketiga adalah Mustafa dan Abbas dari Ibu bernama Seko asal Padang Japang. Tiga anak berikutnya dari isteri yang lain, yakni Syekh Muhammad Said, Sa’adah dan Sa’adud.

Syekh Abdullah sudah membuka pengajian di Surau Gadang Padang Japang sejak 1854, setelah Perang Padri usai. Karena itu pula, anak-anaknya sudah mengikuti pendidikan agama sejak kecil, termasuk Muhammad Shalih, Mustafa dan Abbas.

Sejumlah literatur, termasuk tulisan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam Buku “Ayahku” menyebutkan, Syekh Abbas lahir pada tahun 1883. Belum ditemukan literatur yang menulis tahun persis kelahiran kakaknya Syekh Mustafa dan kakak tertuanya Syekh Muhammad Shalih.

Muslim Syam dalam profil Syekh Abbas di buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat” (1981) menulis, Abbas muda juga pernah belajar di Surau Pandam Gadang, Suliki.

“Salah seorang gurunya pernah mengatakan kepadanya, bahwa bila ia ingin memperoleh pendidikan yang tinggi, ia harus belajar ke luar negeri,” tulis Muslim Syam.

Di tanah air yang sedang terjajah, hanya anak orang-orang kaya dan bangsawan yang menjadi kaki tangan kaum penjajah yang dapat menikmati pendidikan tinggi. Pesan itu sangat berkesan bagi Abbas Abdullah muda.

Pada usia 13 tahun, ia mendengar pamannya akan berangkat naik haji ke Mekkah. Abbas kemudian meminta agar diajak ke Mekkah. Awalnya, sang paman tak mengizinkan karena beratnya perjalanan menuju tanah suci. Dari Limapuluh Kota, saat itu harus berjalan kaki ke Riau, sebelum naik kapal menuju Semenanjung Malaka dan terus ke Mekkah.

Tekad dan keinginan Abbas muda yang kuat, membuat pamannya mengalah. Sehingga mereka akhirnya berangkat ke Mekkah dan menunaikan ibadah haji. Ibadah haji selesai, Abbas berkeras meminta izin pamannya untuk tinggal di Mekkah untuk memperdalam pelajaran agama Islam.

Di Mekkah, ia kemudian belajar ke sejumlah ulama asal Minangkabau yang terlebih dahulu sudah belajar di Mekkah. Kitab-kitab agama ia pelajari pada Syekh Latif Syukur dan Syekh Djamil Djambek. Haji Abbas Abdullah juga belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Mazhab Syafii yang menjadi guru puluhan ulama asal kampung halamannya.

Muslim Syam menulis, setelah belajar selama 8 tahun, tepatnya pada usia 21 tahun, Syekh Abbas Abdullah pulang ke kampung halaman. “Barang bawaannya yang terpenting ketika itu adalah sejumlah buku besar yang sulit diperoleh di tanah air.”

Pada 1903, Syekh Abdullah wafat. Pengajaran di Surau Gadang, ia amanahkan pada anak pertama dan keduanya, Syekh Muhammad Shalih Abdullah yang dikenal dengan nama Syekh Madinah dan Syekh Mustafa Abdullah. Sebelumnya, Syekh Madinah juga sudah mengelola sebuah surau di Pariaman. Syekh Abbas membantu kedua kakaknya mengajar di surau gadang itu.

Setelah Syekh Abbas pulang, giliran Syekh Mustafa yang berangkat naik haji. Ia juga bertemu dan belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Pada 1912, Syekh Muhammad Shalih meninggal dunia, sehingga tanggung jawab pengelolaan surau dipercayakan kepada Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas. Saat itulah, Syekh Abbas dan Syekh Mustafa mulai menerapkan ide pembaruan dalam sistem pengajaran di Surau Gadang.

Ia kemudian menemui beberapa ulama murid Syekh Ahmad Khatib lainnya. Antara lain, ia menemui Syekh Abdul Karim Amrullah yang saat itu mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Thaib Umar Sungayang.

“Mereka telah mendapat kata sepakat untuk mengadakan kerja sama dalam pembaruan pengajaran agama,” tulis Muslim Syam.

Buku “Ensiklopedi Minangkabau” (2005) yang disusun Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau menyebutkan, para ulama tersebut mengganti sistem halaqah dalam pengajaran agama di surau masing-masing dengan dengan klasikal. Semua sepakat belajar di kelas, dengan menggunakan meja, bangku dan papan tulis.

“Pada 1918, madrasah-madrasah tersebut menyatu dan bernaung di bawah organisasi Sumatera Thawalib,” tulis buku Ensiklopedi Minangkabau.

Perubahan ke sistem madrasah, juga disertai penyusunan kurikulum dan jadwal pelajaran. “Buku-buku yang dipakai pun mengalami perubahan. Madrasah di Padang Japang dibagi kepada dua tingkatan, yaitu tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, masing-masing untuk 4 tahun,” tulis Muslim Syam.

Sebagian masyarakat menyambut baik perubahan itu. Hal tersebut dibuktikan dengan makin banyaknya murid yang berdatangan kepada para ulama. TV juga yang mengkritik, karena menganggap menyerupai sistem Belanda yang tak beragama Islam. Menjawab itu dan menyiarkan pembaruan, masing-masing madrasah kemudian juga menerbitkan majalah. Yaitu, Al-Imam di Padang Japang, Al-Munir di Padang Panjang, Al-Bayan di Parabek dan Al-Basyir di Sungayang.

Seiring polemik dan perbedaan paham antara ulama, Syekh Abbas merasa perlu menambah ilmu. Ia kembali berangkat ke Mekkah pada 1921. Namun, usai menunaikan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Mesir, belajar beberapa tahun pada ulama-ulama Al-Azhar. Syekh Abbas kemudian melanjutkan perjalanan ke Palestina, Libanon dan Syria untu melihat sistem pengajaran Islam di negara-negara tersebut.SIMAK JUGA :  Viral di Medsos, Sejumlah Cewek Ancam DPR : Ingat Aku Gak ?

Sekembali dari luar negeri, Syekh Abbas melakukan perbaikan pada kurikulum dan peralatan pengajaran di Sumatera Thawalib Padang Japang. Upaya yang dilakukan adalah menambah pelajaran umum dan keterampilan ke dalam kurikulum.

Berkat pambaruan pendidikan yang dilakukan Syekh Abbas, Sumatera Thawalib Padang Japang makin ramai didatangi murid. Bukan saja dari Ranah Minang, tetapi juga dari berbagai daerah di Nusantara. Di antara murid-muridnya yang kemudian juga jadi ulama adalah Zainuddin Labay el-Yunusy, Zainuddin Hamidy dan Nasharuddin Thaha.

Pada 1930, organisasi Sumatera Thawalib dilebur menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) sehingga seluruh madrasah Sumatera Thawalib berada di bawah departemen pendidikan Permi. Hal ini tak disetujui Syekh Abbas. Sehingga, Sumatera Thawalib Padang Japang berubah Darul Funun Abbasiyah.

Maraknya madrasah di Ranah Minang pada masa itu, telah meningkatkan jumlah kaum terpelajar. Pada gilirannya, ini membuat sikap anti-pemerintah kolonial makin bersemi. Penguasa Hindia Belanda gerah dengan situasi ini. Pada 1934, mereka menggeledah sejumlah madrasah, termasuk Darul Funun. Peristiwa ini membuat Darul Funun yang terus dikelola Syekh Abbas bersama Syekh Mustafa sempat terhenti sementara.

“Beliau dua bersaudara adalah orang-orang keras hati, berjiwa revolusioner, tidak ragu-ragu memesan dan mengajarkan kitab-kitab Abduh dan Rasyid Ridha dan kitab-kitab yang lain memberi kebebasan fikiran dari Darul Funun-nya,” tulis HAMKA.

Di awal zaman Jepang, aktivis perjuangan kemerdekaan Ir. Sukarno datang ke Padang Japang untuk menemui kedua Syekh. Sukarno sudah ada di Padang sejak awal Maret 1942 sebelum Jepang masuk. Ia ditinggalkan Belanda begitu saja dalam perjalanan dari Bengkulu menuju Padang. Sukarno kemudian menetap selama beberapa bulan di Sumatra Barat. Selain di Padang, ia juga antara lain mengunjungi Bukittinggi dan Padang Japang, sebelum kembali ke Jakarta pada awal Juli 1942.

Wartawan Senior Fachrul Rasyid HF dalam Buku “Refleksi Sejarah Minangkabau: dari Pagaruyung Sampai Semenanjuang” (2008) menulis, kunjungan Sukarno ke Padang Japang terjadi pada Juni 1942. Semula, menurutnya, tak ada yang tahu apa yang dibincangkan Sukarno dengan Syekh Abbas dalam pertemuan tertutup.

“Tiga hari kemudian, Syekh Abbas mengungkapkan pertemuannya dengan Bung Karno di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid Al-Abbasyiah. Kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara,” tulisnya.

Syekh Abbas, menurut Fachrul, menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar Bung Karno pandai-pandai menjaga martabatnya.

Tak lupa, pada kesempatan itu, Syekh Abbas juga menghadiahi peci yang lebih tinggi untuk Sukarno, mengganti peci lamanya yang agak pendek. “Sebelum pulang, Sukarno diapit Syekh Abbas dan Syekh Mustafa dijepret juru kamera Said Son.”

Kelak dalam pidatonya di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945, “Peri Ketuhanan” menjadi salah satu dari lima sila yang diusulkan Sukarno jadi dasar negara.

Di zaman Jepang juga, Syekh Abbas bersama sejumlah ulama lintas mazhab bersama-sama bergabung dengan Majelis Islam Tinggi (MIT). Ia ikut menyarankan agar anak muda pada masa itu bergabung dengan Gyugun, agar bisa mendapat pelatihan militer yang kelak bisa digunakan untuk memerangi penjajah.

Usai merdeka, saat masih dalam perang kemerdekaan, berbagai barisan ikut bergerilya memerangi Belanda. “Atas kesepatan para ulama, Syekh Abbas pernah diangkat menjadi ‘Imam Jihad’ untuk daerah Minangkabau,” tulis Muslim Syam.

Dalam revolusi bersenjata 1945, menurut HAMKA, kedua beliau telah meng-gerakkan murid-muridnya supaya turut berjihad fi sabilillah. “Syekh Abbas diangkat menjadi ‘Imam Jihad’ oleh Majelis Tinggi Islam.”

Thanthawi Mustafa, salah satu anak Syekh Mustafa gugur dalam pengepungan Belanda di Situjuah, dalam masa PDRI itu. Saat Syekh Mustafa dikabari anaknya gugur, wajahnya tak berubah. “Yang terlebih dahulu beliau tanyakan dari manakah tembusan peluru, adakah dari muka atau dari punggung? Kalau dari muka, yakinlah beliau bahwa puteranya mati syahid,” tulis HAMKA.

Kedua ulama ini terus berperan saat agresi militer II, ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) digerakkan dari Sumatra Barat. Pada Juli 1949, ketika M. Natsir dan Dr. J. Leimena diutus Bung Hatta menemui Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara, salah satu pertemuan sempat digelar di salah satu ruang madrasah Darul Funun.

“Setelah terjadi persetujuan ‘Roem-Royen’ dan terjadi penghentian tembak menembak di Sumatera, di Padang Japang, di surau beliau itulah berkumpul kembali para pemimpin PDRI,” tulis HAMKA.

Padang Japang kemudian menjadi catatan akhir PDRI, karena setelah itu Mr. Sjafruddin Prawiranegara bertolak ke Yogyakarta, menyerahkan kembali pemerintahan kepada Sukarno dan Hatta.

Syekh Mustafa Abdullah Padang Japang berpulang pada 1954. Disusul tiga tahun kemudian oleh Syekh Abbas Abdullah pada Senin 17 Juni 1957 di usia 74 tahun. Darul Funun yang didirikan dan diasuh sejak awal oleh kedua ulama bersaudara ini, masih berjalan hingga kini.

HAMKA menulis, Syekh Abbas, Syeh Mustafa dan ulama-ulama sahabat ayahnya (Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah) konsekuen pada pendirian dan tidak mengenal menyerah. “Tetapi kalau kita berjumpa mereka, kita hanya akan melihat orang-orang tua c diri seakan-akan tidak berisi apa-apa, padahal penuh dengan iman dan keteguhan hati.”

Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang
Sila ketuhanan dari Sukarno dianggap saran dari seorang ulama dari Padang Japang, Sumatra Barat.
Oleh: Jose Hendra | 01 Jun 2016

Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang
Sukarno diapit pendiri Perguruan Darul Funun el Abbasiyah, dua bersaudara yakni Syekh Abbas Padang Japang dan Syekh Mustafa Abdullah.
PIDATO Sukarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dikukuhkan jadi hari lahir Pancasila. Dia mengajukan lima prinsip sebagai dasar negara Indonesia: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

Konsep Ketuhanan yang ditempatkan pada prinsip kelima oleh Bung Karno akhirnya menjadi sila pertama dengan modifikasi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Panitia Sembilan.

Menurut Charles Simabura, dosen ilmu tata negara Universitas Andalas, dalam sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, semua anggota memberi usul. Hampir semua menawarkan konsep Ketuhanan. Menurutnya, konsep Ketuhanan yang diusulkan terutama dari golongan agama lebih kongkret lagi yakni Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.

Advertising

Advertising
Lalu dari mana ide Ketuhanan yang ditawarkan Bung Karno?

Konsep tersebut bulir dari buah pergaulan Bung Karno dengan para ulama. Sejak muda dia tumbuh dalam lingkungan Sarekat Islam. Saat masa-masa pembuangan, Bung Karno terus berkorespondensi dengan ulama. Misalnya, dengan pendiri Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hassan saat dibuang ke Ende. Hingga akhirnya, pada 1942, kata Ketuhanan terpatri dalam benaknya ketika kelak Indonesia merdeka dan membentuk dasar negara adalah sebuah keharusan.

Adalah Syekh Abbas Abdullah yang memberi wejangan kepada Bung Karno. Kala itu, Bung Karno berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan Syekh Abbas.

“Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan benar-benar tercapai. Dalam hal ini Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981.

Syekh Abbas, yang dikenal dengan sebutan Buya (Syeikh) Abbas Padang Japang, menambahkan kalau hal demikian diabaikan, revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.

Fachrul Rasyid HF, yang turut menulis dalam buku tersebut, mengatakan tidak banyak orang tahu pembicaraan mereka berdua sebelum Syekh Abbas mengungkapkannya tiga hari kemudian. “Di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syekh Abbas mengatakan kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara,” ujar Fachrul menirukan kembali cerita yang dia dapat dari keluarga Syekh Abbas dan masyarakat setempat. “Persisnya, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan.”

Kedatangan Sukarno ke Padang Japang masih menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang Japang saat ini. Yulfian Azrial, anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatra Barat, mengatakan, Darul Funun merupakan madrasah yang cukup berpengaruh berkat kebesaran dua syeikhnya, yakni Syeikh Abbas Padang Japang dan Syekh Mustafa Abdullah.

Kebesaran kedua syekh yang bersaudara ini membuat Sukarno merasa perlu ke Padang Japang, setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu. Bukti mesranya hubungan Bung Karno dengan dua ulama tersebut berjejak dalam selembar dokumentasi foto yang diambil Said Son.

Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Mekah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Abbas juga kawan dekat Syekh Abdul Karim Amarullah atau Inyiak Rasul. Bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lainnya, Syekh Abbas mendirikan nama madrasah yang sama yakni Madrasah Sumatra Thawalib.

Tahun 1930, Syekh Abbas mengubah Sumatra Thawalib di Padang Japang menjadi DFA karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Syekh Abbas sendiri kala itu bukan sekadar ulama melainkan juga panglima jihad Sumatra Tengah. Pasukan jihad ini didirikan DFA sebagai basis perjuangan menghadapi Belanda. Anggotanya adalah Hizbul Wathan dan Laskar Hizbullah.

Sementara sekolah tetap menjadi basis menggapai dan mengisi kemerdekaan.

“Wajar Sukarno menemui Syekh Abbas karena dia bukan saja ulama tapi panglima perang,” tukas Fachrul, wartawan senior di Sumatra Barat.

Dikatakannya, perjumpaan Sukarno dengan Syekh Abbas hanya sebentar. Datang sekitar jam satu siang lalu balik sekitar sorenya. Bung Karno sendiri berada di Padang ketika era transisi dari Belanda ke Jepang. Dia berada di Sumatra Barat selama lima bulan, dari Februari 1942 hingga Juli 1942. (Ben Tanur dari berbagai sumber)

Sumber: https://www.harianindonesia.id/berita-utama/bupati-kampung-tan-malaka-usulkan-sjech-abbas-abdullah-jadi-pahlawan-nasional.html



Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, Sang Organisatoris Muhammadiyah Telah Wafat

JERNIHNEWS.COM-Innalillahi Wainnaillahi Raajiuun. Luhak Limopuluah kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, Kamis (30/09/2021) pukul 04.30 WIB dipanggil Sang Khalik.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Limapuluh Kota itu meninggal di kediamannya di Lingkungan Tarok, Kelurahan Tigo Koto Diateh, Kecamatan Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh pada usia 65 tahun.

Tentu tidak saja Muhammadiyah yang merasa kehilangan. Tapi juga Pondok Pesantren Darul Funun Padang Japang. Sebab beliau adalah pimpinan di pondok pesantren lintas zaman yang sudah banyak melahirkan para buya tersebut.

Institut Agama Negeri Islam (IAIN) Bukittinggi juga tak kalah merasa kehilangan. Karena, Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas juga diamanahkan sebagai Ketua Senat IAIN Bukittinggi yang sedang dalam proses menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Bukittinggi.

Jagat media sosial diramaikan oleh kabar kepergian ayah dari tiga anak (2 putra dan 1 putri) itu. Ribuan orang mengucapkan rasa duka mendalam atas kepergian buya menghadap Sang Maha Pencipta. Ratusan pelayat juga mendatangi rumah duka di lingkungan Tarok.

Belasan papan bunga dari berbagai pihak berjejer di depan pagar rumah duka. Di antaranya dari Bupati Limapuluh Kota Safaruddin Dt. Bandaro Rajo, IAIN Bukittinggi, Persatuan Ponpes Limapuluh Kota, DPD PAN Kabupaten Limapuluh Kota dan lainnya. Banyak yang melepas Sang Buya dari rumah duka menuju pemakaman di kampungnya Padang Japang, Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota.

Buya Dr. H. Afif Fauzi Abbas meninggalkan seorang istri Dra. Hj. Mona Aliza, MA dan tiga orang anak, Evan Azami, Abdullah Afifi, dan Rosa Adelina. Ketiga anaknya berada di luar negeri, Malaysia, Qatar dan negara Arab lainnya. “Ketiga anak beliau berada di luar negeri, Malaysia, Qatar dan Mesir,” sebut Das salah seorang warga lingkungan Tarok kepada jernihnews.com.

Hidupkan Kembali Ranting-ranting Muhammadiyah

Tokoh Muda Muhammadiyah Luak Limopuluah, Ustadz H. Irwandi Nashir memiliki kesan luar biasa atas almarhum Buya Dr. Afifi Fauzi Abbas. Sang Buya menurut Irwandi yang juga dosen IAIN Bukittinggi, sangat totalitas dalam berdakwah dan juga menghidupkan kembali ranting-ranting Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota.

“Sejak beliau hijrah dari Jakarta beliau benar-benar total mengaktifkan organisasi Muhammadiyah di Kabupaten Limapuluh Kota hingga sampai ke ranting-ranting. Kita tahu bahwa ujung tombak organisasi Muhammadiyah berada pada ranting-ranting tersebut,” sebut Ust. H. Irwandi Nashir.

Bahkan menurut Irwandi, dalam upaya menghidupkan ranting-ranting yang mati suri Buya Dr. Afifi membuat program pemberdayaan ekonomi peminjaman induk ayam bergilir bagi para pengurus atau aktifis ranting. Program itu sangat penting dan strategis bagi menopang perekonomian pengurus, aktifis dan kader Muhammadiyah di ranting yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya di dalam mengelola organisasi dan dakwah.

“Program peminjaman induk ayam bergulir itu alhamdulillah sukses. Bahkan ada yang bisa menguliahkan anaknya dari hasil ternak ayam tersebut. Begitulah totalitas beliau mengaktifkan dan membesarkan Muhammadiyah di Kabupaten Limapuluh Kota. Beliau sangat perhatian kepada masyarakat dan aktifis Muhammadiyah, termasuk soal perekonomiannya,” kata Ust. Irwandi.

Ust. Irwandi juga mengungkap semestinya, pada Kamis (30/09/2021) dilaksanakan perpisahan Keluarga Besar IAIN Bukittinggi dengan Buya Dr. Afifi Fauzi Abbas, sehubungan sang Buya memasuki usia purna tugas sebagai PNS/ASN di IAIN Bukittinggi. Berbagai persiapan telah ditunaikan.

“Pak Afifi wafat di usia 65 tahun. Sebenarnya hari ini Kamis (30 September 2021) adalah hari pelepasan beliau secara resmi purnabhakti sebagi PNS di IAIN Bukittinggi. Undangan sudah disebar. Namun Allah Ta’ala memanggil beliau pas di hari H,” kata Irwandi kepada jernihnews.com.

Hijrah dari Jakarta

Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, M.Ag yang lahir 6 September 1956 di Padang Japang, VII Koto Talago, Guguak, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, lama berada di Jakarta. Dia kuliah sarjana muda hingga S1, S2 dan S3 di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Buya Afifi adalah ahli fiqih, syariah, siyasah, perbandingan mazhab, ekonomi islam, dan ilmu falak. Dia merupakan anak dari Buya H. Fauzi Abbas (ayah) dan Hj. Yuhaena (ibu). Kakeknya, Syekh Abbas Abdullah. Kakeknya merupakan ulama pembaharu pendidikan Islam dan pengorganisasian dakwah.

Riwayat pendidikan Dr. H. Afifi Fauzi Abbas; SDN di Padang Japang, MTs Surau Darul Funun di Padang Japang, MA Surau Darul Funun di Padang Japang Sarjana Muda Syariah (BA) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sarjana Syariah (Drs) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Magister Syariah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Doktor Syariah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Buya Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, M.Ag mengajar di IAIN Bukittinggi dan pernah mengajar selama 30 tahun di UIN Syarif Hidayatullah, UHAMKA Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekolah Tinggi dan Manajemen PPM.

Dia pernah dipercaya sebagai Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Wakil Dekan Administrasi Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Direktur Percetakan Dikdasmen Muhammadiyah.

Selain itu juga adalah Pimpinan Yayasan Wakaf Darulfunun, Direktur Darulfunun Institute dan pengajar Ushuluddin di kelas Surau Darulfunun dan Kuliyyatul Muallimin. Berbagai jabatan pernah diamanahkan kepada beliau di lingkungan Muhammadiyah. Yakni; Ketua PDM Muhammadiyah Limapuluhkota, anggota Majlis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, anggota Divisi Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Bendahara Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Direktur Penerbit dan Percetakan Dikdasmen PP Muhammadiyah, Pembina Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat dan banyak lainnya. (erz)

Sumber: https://www.jernihnews.com/berita/2256/buya-dr-h-afifi-fauzi-abbas-sang-organisatoris-muhammadiyah-wafat.html



Zainuddin Labay Al-Yunusiyyah: Muslih Hebat Dari Minangkabau

Authors: 

Izziah Suryani, Mat Resad @ Arshad

Abstract:

Zainuddin Labay al-Yunusiyyah merupakan seorang daripada ulama islah Minangkabau yang memainkan peranan besar dalam islah pemikiran dan reformasi pendidikan Islam. Walaupun beliau mempunyai latar belakang pendidikan yang tidak teratur dan hanya belajar dalam wilayah Minangkabau, namun beliau merupakan seorang tokoh ulama yang begitu progresif dan mampu menyamai tokoh-tokoh islah terkemuka yang lain. Sumbangan terbesar beliau yang memberi impak besar kepada umat Islam Minangkabau ialah pembaharuan pendidikan Islam berorientasikan moden. Model institusi pendidikan Islam moden yang diperkenalkan oleh Zainuddin Labay al-Yunusiyyah menjadi contoh kepada penubuhan institusi pendidikan Islam yang lain. Justeru, kajian ini meneliti gerakan islah di Minangkabau dan biografi Zainuddin Labay al-Yunusiyyah. Selain itu, objektif kajian ini juga menganalisis peranan beliau terhadap pemurnian pemikiran dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Kajian ini merupakan kajian yang berbentuk kualitatif menggunakan analisis kandungan sebagai reka bentuk kajian dengan menggunakan metode kajian sejarah. Hasil kajian mendapati Zainuddin Labay al-Yunusiyyah merupakan seorang daripada ulama islah abad ke-20. Walaupun beliau tidak mendapat pendidikan yang sistematik dan hanya belajar di Minangkabau sahaja, beliau mampu muncul sebagai tokoh pembaharu dan islah yang memberi impak besar kepada gerakan islah di Minangkabau terutamanya reformasi pendidikan Islam dan juga islah pemikiran Islam di Minangkabau. Pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh Zainuddin Labay al-Yunusiyyah menjadi asas dan model kepada pembaharuan pendidikan Islam di seluruh Minangkabau dan juga Indonesia.

Keywords:

ulama islah, islah pemikiran Islam, reformasi pendidikan Islam, Zanuddin Labay al-Yunusiyyah, Minangkabau

Jurnal:
Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari



Literature Qur’an in Indonesia: Tafsir Al-Qur’an H. Zainuddin Hamidy And Fachruddin HS (Has Analysis Of The Philological Approach)

Authors: Sayyida, Kusmana, Eva Nugraha, Hamka Hasan, Yudi Setiadi, Rahman Ahdori

Abstract:

The interpretation of the Al-Quran and its literature throughout Indonesia in
the 20th century experienced significant development and progress very rapidly since it was started by Mahmud Yunus in the 1940s. The tafsir writer wrote the interpretation for the advancement of Muslims in Indonesia. at least there are interpretations written in Indonesian that are used for reading material for the people of this country. Because many Indonesian Muslims do not deepen and understand the al-Qur’an which is originally Arabic. After the interpretation of Mahmud Yunus’ work, then Ahmad Hasan
interpreted the Qur’an with his interpretation of Al-Furqan, namely in 1940. Then, H. Zainuddin Hamidy and H. Fachruddin HS wrote their tafsir works with a better arrangement. There are many interesting sides to this interpretation. In a paper on this interpretation work, the speaker will discuss one of the commentators in Indonesia, the more popular one by the name of Haji Zainuddin Hamidy and his friend Fachruddin HS.

Some Notes:

  1. The syaikh that mention as scholars or teacher of Fachruddin HS and Zainuddin Hamidy is Syaikh Abbas Abdullah, the article wrote Syaikh Abdullah Abbas.
  2. Al-Iman Magazine should be Al-Imam.

Jurnal:
ICIIS 2020



Bupati Resmikan Gedung BLK Darul Funun El Abbasiyah

Lima Puluh Kota, Diskominfo – Bupati Lima Puluh Kota, Safaruddin Dt. Bandaro Rajo resmikan penggunaan Gedung BLK Komunitas Darul Funun El Abbasiyah di Padang Jopang, Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Senin, (24/5/2021)

Workshop dengan kejuruan teknik informatika Balai Latihan Kerja Komunitas Darul Funun El Abbasiyah itu merupakan bantuan hibah dari Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia tahun 2020 sebesar 1 Milyar Rupiah

Dalam sambutannya, Bupati Lima Puluh Kota, Safaruddin Dt. Bandaro Rajo menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia atas terlaksananya pembangunan Gedung Balai Latihan Kerja BLK Komunitas Darul Funun El Abbasiyah.

“Alhamdulillah, pemerintah hadir. Balai Latihan Kerja telah berdiri di Darul Funun. Salah satu upaya dalam rangka peningkatan SDM yang berkualitas dan berlandaskan keimanan yang selaras dengan visi misi Lima Puluh Kota Madani,” ucapnya.

Bupati Lima Puluh Kota itu mengatakan, dizaman kemajuan teknologi dan digitalisasi diperlukan keterampilan dan keahlian bagi santri yang disebut dengan skill. Untuk itu kehadiran BLK di bidang ilmu komputer dan teknologi diharapkan dapat melengkapi terwujudnya santri yang pandai mengaji serta memiliki skill dalam memanfaatkan teknologi secara produktif.

“Banyak yang akan kita lakukan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia Lima Puluh Kota kedepan. Dengan adanya skill , segala potensi dapat diwujudkan asal produktif dengan memanfaatkan teknologi, dan jangan hanya bersifat konsumtif teknologi,” pungkasnya.

Sementara itu kepala unit panitia pelaksana pembangunan Gedung BLK Komunitas Darul Funun El Abbasiyah, mengatakan pembangunan Balai Latihan Kerja Darul Funun sesuai dengan kebutuhan para santri dan juga masyarakat yaitu teknik informatika

Hadirnya workshop kejuruan teknik informatika ini merupakan upaya dalam peningkatan sumberdaya manusia serta kompetensi tenaga kerja, sehingga para santri dan masyarakat mendapat skil serta ilmu pengetahuan disamping sekolah formal.

“Pemilihan jurusan ini tak terlepas dari perkembangan jaman yang sekarang ini serba digital dan tidak dapat dipisahkan dari teknologi. Kedepan mudah-mudahan kita dapat bernilai manfaat bukan hanya bagi santri Darul Funun saja, tetapi bagi masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota” pintanya.

Selain dihadiri oleh Bupati Lima Puluh Kota, Safaruddin Dt. Bandaro Rajo, acara tersebut juga dihadiri oleh ketua Yayasan Darul Funun El Abbasiyah, Afifi Fauzi, kepala BLK Padang  yang diwakili Afridamo J, Sekda Lima Puluh Kota Widya Putra, Asisten II, Fitma Indrayani SH, Ketua TP PKK Kabupaten Lima Puluh Kota, Nevi Zulvia Safaruddin, Camat Guguak, Wali Nagari, serta para tokoh masyarakat.



Peresmian Gedung BLKK Darulfunun Teknik Informatika

Alhamdulillah telah diresmikan Gedung BLK Komunitas Darulfunun pada tanggal 24 Mei 2021 bersama-sama Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluhkota, BLK Propinsi Sumatera Barat, Yayasan Darulfunun, dan Komponen Masyarakat.

Balai Latihan Kerja ini dibangun dengan dana bantuan Kementrian Tenaga Kerja, dan dapat diselesaikan tepat waktu. BLKK Darulfunun ini memiliki program studi Teknik Informatika, dengan harapan bisa membantu peningkatan literasi digital di Kabupaten Limapuluhkota.



The Sheikh Jarrah Incident: The Toothless Arab Countries vs Israel

The South China Morning Post, a respected daily from Hong Kong, on the 17 of May, has picked up the stance of Malaysia, Brunei and Indonesia in rallying the Muslims against the latest Israel atrocities.

In its comments, the Hong Kong SCMP said that the three countries have taken up the strong sentiments of its populace and the governments where the Arab countries have left.

This is not the first time such an observation is being made by a foreign observer concerning the movement of the centre of gravity of the Muslim World to the Far East rather than the traditional Middle East.

With the world’s largest Muslim population of 276 million in 2021, Indonesian coupled with Turkey, Malaysia and Brunei looks stronger and should be the de facto spokesman for the Muslim World.

The Arab world, with 22 countries and having a humongous 422 million Arab Muslims looks toothless and spineless in dealing with its arch-enemy, Israel, alone country with only 8.77 million people.

The Israel government, in response, on the 17 of Mei has warned Malaysia on its continuing support of Hamas deemed a terrorist organisation by the US and the western world.

It should be reminded that a Palestinian lecturer cum engineer was gunned down, residing in Gombak in the suburban of East Kuala Lumpur in April 2018.

He was alleged to have been killed after the dawn prayers by Mossad, the Israel intelligence.

In response to the threat, the Inspector General of Police (IGP) of Malaysia said that security will be beefed up and is taking the threat seriously.

I am sure such a comment about the role of the Arab countries in dealing with murderous Israel will not be the last frank observation in the international analysis of their fellow Arab brethren unto the Palestinians.

Also posted in: https://perwakilan.co.uk/2021/05/the-sheikh-jarrah-incident-the-toothless-arab-countries-vs-israel



Menggerakkan Petani – Rural Development & Agricultural Sustainability on Circular Economic with TDR IMDI

Penulis:
Abdullah A Afifi

Abstract

This presentation is about the method used for rural economic development based on Technology-driven Resources (TDR) and Industrial Maturity Development Index (IMDI).

Event:
IAIC Smart Farming Community – 24 Oktober 2020