All posts by admin

Beasiswa Tahfidz & Prestasi Semester Ganjil 2017/2018

Semester ini terdapat cukup banyak siswa tahfidz dan berprestasi, baik dari siswa baru kelas VII dan juga siswa yang mengalami peningkatan hafalan tahfidz dan berprestasi baik dalam kegiatan belajar mengajar juga mewakili perguruan dalam kompetisi tingkat daerah dan provinsi.

Alhamdulillah pada hari sabtu minggu lalu, dalam pembagian rapor bayangan, kita umumkan sekali nama-nama siswa yang dapat penghargaan atas kerja kerasnya, dan kami para pendidik dan pendukung diberi kesabaran dan kekuatan untuk membina.

 

Beasiswa diumumkan dan diberikan oleh Ketua Yayasan Buya Afifi Fauzi Abbas dan Kepala Madrasah Buya Adi Putra.

Jumlah
Beasiswa tahfidz (min 1 juz): 15 org
Beasiswa prestasi: 16 org

Tingkat MTs: 17 org
Tingkat MA: 14 org

 

Semoga Allah mudahkan para siswa dalam belajar mereka, dan semoga kita diberkahi oleh Allah.

Infaq & waqaf untuk mendukung program ini dapat disalurkan melalui link ini: https://kitabisa.com/tabunginfaq2017 atau dapat menghubungi perguruan dan yayasan.



Laporan Waqaf Pengadaan Kursi dan Meja untuk Tahun 2017/2018

Dimulainya tahun ajaran baru 2017/2018 ini, alhamdulillah ada pertambahan siswa/i yang melebihi kapasitas perguruan.

Sebanyak 60 meja dan kursi diperlukan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, alhamdulillah kami menerima infaq Waqaf dari para shalihin/shalihat untuk mendukung keperluan ini.

Waqaf yang disalurkan dalam pengadaan kursi dan meja ini berjumlah Rp. 18.5jt. Semoga Allah beri keberkahan dan kemudahan kepada para shalihin/shalihat, dan waqaf ini dijadikan shadaqah jariyah, insyaallah.

Untuk para shalihin dan shalihat yang ingin menyalurkan waqaf, infaq, shadaqah nya dapat melalui link berikut ini: https://kitabisa.com/tabunginfaq2017 , ataupun dapat juga menghubungi perguruan dan yayasan.



Membangun Masyarakat yang Berperadaban

Prof. Dr. Eka Srimulyani, MA., Guru Besar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

ALQURAN memiliki beberapa penggambaran konsep masyarakat atau umat yang ideal, di antaranya adalah ummatan wahidah (umat yang satu). Ungkapan ini disebutkan beberapa kali dalam Alquran, salah satunya dalam surat Al-Baqarah: 213. Ummatan wahidah adalah umat yang menyatu dan bersatu dalam keimanan kepada Allah Swt, dan diberi petunjuk oleh-Nya. Dalam ayat lain (Al-Baqarah: 143), Alquran menyebutkan konsep ummatan wasathan (umat pertengahan), umat atau masyarakat yang moderat. Istilah lain yang juga digunakan dalam Alquran dalam menjelaskan konsep umat adalah khairu ummah (umat yang terbaik) yang dilahirkan untuk manusia (QS. Ali Imran: 110).

Pemahaman khairu ummah dalam ayat tersebut dikaitkan dengan upaya-upaya mereka yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan beriman kepada Allah Swt. Satu contoh penggambaran masyarakat [ideal] yang lebih spesifik tergambar ketika Alquran menjelaskan kondisi kaum Saba’ (QS. Saba’: 15). Dalam ayat ini kontekstualisasi dari masyarakat yang ideal adalah penggabungan antara kemakmuran dan spiritualitas keagamaan/keimanan dalam wujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, gambaran mengenai sebuah negeri yang aman sentosa dan masyarakat yang terampuni dosanya.

Di sisi lain, diskusi mengenai konsep umat atau masyarakat yang “ideal” sering merujuk kepada istilah yang dikenal sebagai madaniyyah (berperadaban) atau dalam masyarakat kita disebut dengan istilah “masyarakat madani”. Secara bahasa madaniyyah berasal dari kata Bahasa Arab madinah yang mempunyai dua pengertian, yang pertama berarti “[masyarakat] kota”, dan kedua dalam artian “[masyarakat] berperadaban” yang mengacu pada kehidupan masyakarat yang berkeadilan dan berperadaban.

Diskusi mengenai masyarakat berperadaban sering dikaitkan dengan ubarnisasi dan perkotaan, karena dalam sejarah peradaban-peradaban besar yang ada di dunia, selalu berbasis di kota-kota besar sebagai pusat kehidupan sosial politik masyarakatnya yang kemudian mempengaruhi wilayah-wilayah sekelilingnya, dan juga karakteristik dasar peradaban lebih cepat diamati dan ditemui dalam kehidupan masyarakat yang berbasis kota.

Masyarakat madani
Referensi mengenai konsep masyarakat madani dalam tataran praktis adalah masyarakat Muslim awal di kota Madinah setelah hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekkah, yang berlanjut sampai masa kepemimpinan para Khulafaur-rasyidin setelah beliau wafat. Masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw saat itu bersendikan pada dimensi keimanan yang diarahkan untuk memperkuat kondisi masyarakat sipil dalam pilar-pilar musyawarah, keadilan dan persaudaraan.

Sejarah mencatat adanya sebuah kohesi sosial yang ideal, terbangun secara kuat dalam masyarakat Madinah saat itu, salah satunya terlihat lewat ukhuwwah (persaudaraan) yang mendalam dan bersahaja antara suku Quraisy Mekkah yang dikenal dengan istilah kaum Muhajirin dan penduduk Yatsrib (Madinah) yang dikenal sebagai kaum Anshar. Kota Madinah sendiri saat itu juga terdiri dari beragam suku seperti Suku Aus, Khazraj dan masyarakat Yahudi (Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, Bani Quraizah), di samping Muhajirin yang hijrah dari Mekah.

Prinsip yang melandasi kohesi sosial tersebut dilandasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam sebuah konstitusi yang cukup yang terkenal dalam sejarah yaitu “Piagam Madinah”. Piagam Madinah mencantumkan beberapa prinsip-prinsip penting dalam membangun masyarakat ideal yang menekankan pada persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-‘ukhuwwah), perdamaian, toleransi, keadilan (al-’adalah), sikap tidak diskriminatif, dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman.

Prinsip-prinsip ini menjadi solusi dari kompleksitas kehidupan sosial politik masyarakat Madinah saat itu yang beragam baik dari sisi agama yang dianut, maupun kesukuan, yang sebenarnya memiliki potensi konflik di dalamnya. Kalau dikaji dan dianalisis, sebenarnya prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Madinah tersebut sangat relevan diadopsi untuk kondisi masyarakat Muslim modern hari ini sekalipun.

Dari sisi wacana, konsep masyarakat madani terkadang sering disamakan dengan konsep civil society (masyarakat sipil), sebuah konsep masyarakat yang memiliki elemen-elemen kemasyarakatan yang kuat, dan/atau civilized society yang juga bermakna masyarakat berperadaban. Peradaban dalam konsep tamaddun seperti yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah.

Menurut Ibnu Khaldun, tamaddun merupakan pencapaian manusia yang sudah melebihi keperluan dasar manusia sehingga memberi kesempatan bagi mereka untuk berpikir dan menghasilkan daya cipta dan peradaban yang lebih tinggi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan seni.

Masyarakat maju
Selain istilah tamaddun, Ibnu Khaldun juga memunculkan istilah umran yang merupakan kajian terhadap kawasan-kawasan bandar/perkotaan yang memiliki struktur tanah yang subur, infrastruktur yang memadai dalam suatu wilayah pembangunan yang baik ditempati secara permanen oleh sebuah masyarakat yang maju.

Di Indonesia, sejak 1990-an, diskusi tentang konsep masyarakat madani di Indonesia sudah mulai muncul secara intensif. Pada 1995 dalam sebuah diskusi di simposium Nasional dalam rangka Festival Istiqlal di Jakarta, Dato’ Anwar Ibrahim menyampaikan presentasi khusus tentang tawaran konsep masyarakat madani.

Para pakar lainnya juga tidak luput ikut berkontribusi dalam membentuk pemahaman mengenai konsep masyarakat madani tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, bahkan tidak hanya dalam bentuk diskusi dan wacana, istilah masyarakat madani kemudian juga diadopsi dalam tema pembangunan masyarakat kota/daerah di Indonesia.

Akhirul kalam, secara sederhana dapat dipahami, ada beberapa karakter yang melekat pada masyarakat Muslim madani (berperadaban) yang dimaksud, di antaranya adalah mengedepankan nilai-nilai keimanan kepada Allah Swt, mengembangkan prinsip keadilan dan kesetaraan, penguatan elemen masyarakat, toleransi, dan memiliki akhlaq mulia, serta penguasaan ilmu pengetahuan, termasuk seni yang digunakan bagi kemanfaatan umat/masyarakat.

Momentum Ramadhan yang penuh berkah ini sedianya merupakan saat yang tepat untuk mewujudkan dan memperkuat asas-asas masyarakat berperadaban tersebut dalam bingkai keimanan dan ketakwaan.

Wallahu a’lam bishawab.



Barat Akui Akurasi Peta Al-Idrisi

Bukunya tentang geografi sangat populer selama beberapa abad. Al-Idrisi sangat termasyhur di Barat sebagai ahli geografi yang membuat bola dunia perak bagi Raja Roger II dari Sisilia pada 1154 M. Pada bola dunia seberat 400 kilogram itu dengan cermat ia catatkan tujuh benua beserta jalur perdagangan, danau dan sungai, kota-kota besar, dataran, dan pegunungan.

Al-Idrisi lahir di Ceuta, Maroko, Afrika Utara, pada 1100 M. Saat bertemu Raja Roger untuk mendiskusikan pembuatan bola dunia, ia berusia akhir 30-an. Pembuatan bola dunia itu memakan waktu 15 tahun. Dia juga memberi informasi, termasuk jarak, panjang, dan tinggi yang sesuai. Bola dunia itu juga dilengkapi dengan bukunya Al-Kitab al-Rujari (Buku Roger). Dalam buku itu terdapat 71 bagian peta, sebuah peta dunia, dan 70 tambahan bagian peta.

Dia juga membuat representasi dunia pada sebuah piringan. Seperti pakar geografi Muslim lain sebelumnya, al-Idrisi mengunjungi banyak tempat yang jauh, termasuk Eropa. Tujuannya, untuk mengumpulkan data geografis. Para ahli geografi Muslim telah membuat pengukuran akurat permukaan bumi dan beberapa peta dari seluruh dunia.

Al-Idrisi menggabungkan pengetahuan yang tersedia dengan temuannya sendiri untuk menciptakan informasi yang komprehensif dari semua ba gian dunia. Seiring dengan kepopulerannya yang menyebar, dia mendapatkan perhatian dari para navigator laut Eropa dan perencana militer, tidak terkecuali Roger II, Raja Norman Sisilia.

Sang raja memintanya untuk membuat peta dunia teranyar. Figur dan karya al-Idrisi lebih dikenal di dunia Barat di bandingkan ahli geografi Muslim lain karena kapal dan navigator dari Laut Utara, Atlantik, dan Mediterania kerap singgah di Sisilia yang berada di bawah kekuasaan Muslim sebelum Raja Roger. Karya-karya pemikir Muslim tersedia secara bebas dan menyebar ke Eropa melalui Latin Barat. (Republika)



Prof Jamhari: Pesantren dapat meniru modernisasi Jepang

Inisiator program pengiriman guru agama dan pimpinan pesantren Indonesia ke Jepang Profesor Jamhari Makruf melihat banyak nilai modernisasi yang bisa ditiru dari Negeri Sakura tanpa harus kehilangan jati diri bangsa.

“Biasanya orang Islam takut sekali kalau sekolah atau pendidikannya berubah kemudian akan ikut mengubah jati diri Islamnya. Jepang bisa memberi contoh meskipun berkembang menjadi negara maju dan modern, tetapi nilai-nilai budaya aslinya masih tertanam dengan sangat baik,” ujar Jamhari usai acara Penyampaian Laporan Hasil Program Kunjungan Pimpinan Pesantren ke Jepang tahun 2017 di Jakarta, Kamis malam.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebut beberapa nilai budaya Jepang yang patut dicontoh oleh sekolah dan pesantren di Tanah Air antara lain kebersihan, kedisiplinan, menghargai waktu, ramah dan sopan santun, saling menghormati, etos kerja yang tinggi, kreativitas dan inovasi, serta kemajuan teknologi.

Dengan mengikuti program kunjungan selama 10 hari di Jepang, guru dan pimpinan pesantren Indonesia diharapkan dapat membagikan inspirasi dan pengalamannya mengamati dan merasakan tinggal di tengah-tengah masyarakat Jepang kepada para santri di daerah asal masing-masing.

Program yang bertujuan memperdalam pemahaman antara Jepang dan masyarakat Muslim Indonesia dilaksanakan setiap tahun sejak 2004 dengan pembiayaan penuh dari pemerintah Jepang.

Tahun ini, sebanyak sembilan guru dan pimpinan pesantren serta seorang pendamping dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN mengunjungi Tokyo, Hiroshima, dan wilayah Kansai untuk melakukan berbagai kegiatan antara lain peninjauan ke sekolah, program homestay, dan dialog lintas agama pada 3-12 Oktober.

Proses seleksi dilakukan oleh PPIM dengan menilai pesantren-pesantren yang berpengaruh di wilayahnya, jumlah santrinya cukup banyak, kiainya dipandang oleh masyarakat sekitar, serta memiliki sekolah formal yang bisa dikembangkan.

Salah satu kisah sukses dari program kunjungan para pimpinan pesantren ke Jepang dapat dilihat dari sebuah pesantren diniyah putri di Padang Panjang, Sumatera Barat.

“Kini selain terinspirasi untuk membuat pesantrennya lebih bersih dan nyaman, pesantren tersebut telah bekerja sama dengan sekolah di Jepang untuk program pertukaran pelajar. Jadi setiap tahun beberapa santri dari Sumatera Barat dikirim ke Jepang dengan biaya mereka sendiri,” ujar Jamhari.

Kesuksesan program kunjungan pimpinan pesantren ke Jepang ternyata menarik minat guru-guru agama dari negara lain untuk berpartisipasi dalam program serupa.

Pada 2016 sebanyak 10 pimpinan pesantren dari Malaysia telah mengikuti langkah Indonesia, dan saat ini guru-guru agama dari Filipina sedang menjajaki keikutsertaan mereka untuk program yang sama.



Beasiswa Tahfidz

Nama Beasiswa  Ketentuan Keterangan
IAIN Imam Bonjol Padang 2 Juz http://uinib.ac.id/uin-padang-akan-seleksi-beasiswa-ppa-dan-tahfidz-tahun-anggaran-2017/
UIN Suska Riau
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 5 Juz http://www.umy.ac.id/kuliah-di-umy/beasiswa/beasiswa-hafizh-muhammadiyah-umy-hafizh
Universitas Muhammadiyah Surakarta 15 Juz http://pmb.ums.ac.id/hafidz/
IAIN Surakarta 10 Juz http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=4308
IAIN Zawiyah Cot Langsa Aceh 5 Juz http://iainlangsa.ac.id/berita/2017/09/22/1007/pengumuman-seleksi-beasiswa-tahfidz-alquran
 Universitas Al-Azhar Jakarta 7 Juz
Nilai rata-rata 7.5
http://beasiswa.uai.ac.id/tata-cara-beasiswa-tahfidz-quran/
 UIN Malang 10 Juz http://beasiswa.uai.ac.id/tata-cara-beasiswa-tahfidz-quran/


Burn Your Ship

Tahun 710 M Thariq ibn Ziyad membakar kapal-kapal yg ditumpanginya bersama 7,000 tentara, setelah mendarat di Gibraltar. Dengan demikian mereka hanya punya pilihan maju menghadapi 25,000 tentara Spanyol, hasilnya Islam berjaya 8 abad di Spanyol yang kemudian menjadi Andalusia.

Berabad-abad lamanya pemuda-pemuda Spanyol memendam cita-cita untuk melakukan hal yg sama dengan Thariq, sebelum akhirnya -8 abad kemudian – Hernando Cortez membakar kapal – kapalnya ketika mendarat di Mexico dan menaklukannya. Hasilnya hingga kini bahasa Spanyol menjadi bahasa yang dominan di hampir seluruh benua Amerika.

Kini 13 abad setelah Thariq ibn Ziyad, 5 abad setelah Hernando Cortez – apa yang bisa kita taklukkan ? Bisa jadi kita tidak menaklukkan apa-apa karena kita tidak berani membakar kapal-kapal kita masing-masing. Kapal berupa pekerjaan rutinitas, kapal berupa birokrasi, tradisi dan berbagai bentuk kejumudan yang mengungkung kita seperti katak dalam tempurung.

~ Muhaimin Iqbal (Gerai Dinar – iGrow)



Diaspora Pemuja Berhala

oleh : Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

Siapa bilang di Kakbah dan Masjidil Haram tidak ada berhala? Di Mina, Arafah, dan Nabawi yang dikenal tempat-tempat suci nan mustajab dalam prosesi haji. Pun di banyak tempat kaum muslimin di berbagai belahan negeri. Berhala-berhala itu masih juga menampakkan diri!

Latta, Uzza, Manat, Hubal, Manaf, dan berhala-berhala lain yang dituhankan bangsa Arab Jahiliyah memang sudah dimusnahkan pada Fath Makkah ratusan tahun lalu dari tempat yang disucikan umat Islam se-dunia itu. Apalagi, berhala Marduk dan Nabu dari bangsa Kaldea yang dihancurkan Nabi Ibrahim pada era Namrudz sang pemimpin politheisme ternama.

Namun berhala-berhala klasik masih tersisa dalam jelmaan lain, yakni ego-diri pada perangai orang-orang beriman yang dipicu hawa nafsu. Ego-diri untuk beribadah melebihi kemestian hingga menjurus ke hal yang dilarang ajaran. Ego-diri ketika harus berebut tempat-tempat mustajab hingga tak memberi kesempatan orang lain. Ego-diri berjamarat yang tidak jarang dapat membahayakan diri dan sesama. Ego-diri tatkala kepentingan terganggu, hingga terlihat watak aseli manusia sebagai pemuja hasrat duniawi dalam perebutan mata’ al-ghurur.

Di sudut-sudut terjauh dari kota suci, manusia berebut banyak kepentingan hidup yang seringkali keras dan berjalan pintas. Perebutan lahan dan aset. Perebutan materi dan kekayaan. Lebih-lebih perebutan tahta dan kuasa yang serbaniscaya. Bahkan berebut paham agama secara ananiyah-hizbiyah dengan membawa nama Tuhan, Nabi, dan Kitab Suci. Sumber muasalnya ialah kepentingan diri dalam egosentrisme berbalut hawa nafsu, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut sebagai “ibu dari semua berhala”.

Berhala nafsu

Hawa nafsu manusia untuk sebesar-besarkan berebut dunia bagi kepentingan sendiri secara berlebih sungguh berdiaspora dalam sejarah umat manusia dulu hingga kini. Bukan hanya untuk urusan muamalah keduniaaan yang sejatinya berwatak sekuler seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya. Hatta untuk urusan agama, ego dan nafsu diri itu sering menyala dalam sakralisasi yang samar hingga terbuka. Agama dan paham keagamaan yang bertahtakan nafsu ego-diri dapat menjelma menjadi kekuatan hegemoni untuk menguasai, memukul, menyingkirkan, dan mengusir pihak lain yang duanggap beda, lemah, dan kecil.

Ketika kepentingan diri secara individu maupun kolektif begitu berlebihan dan menjadi rakus, maka sejatinya bersifat tahlih ‘an nafs, menuhankan ego diri sebagai bentuk lain pemberhalaan. Ketika para Nabi Allah diutus untuk mengajak pada jalan Tuhan yang yang satu (tauhid)), risalah yang utama ialah bertauhid dan mencegah perilaku menyekutukan Allah. Allah sendiri sebenarnya tidak memerlukan apakah Dzat-Nya disembah atau disekutukan, namun jantung terdalam dari ajaran tauhid ialah sikap hanif (jernih nan autentik) dalam bertuhan sekaligus ihsan (berbuat kebajikan yang utama) terhadap sesama insan dan lingkungan kehidupan.

Musuh utama tauhid sebenarnya bukan hanya syeitan atau iblis yang suka menyesatkan jalan manusia beriman. Ajaran tauhid juga meniscayakan penundukkan ego-manusia yang sering paling digdaya dan merasa benar di jalan salah sebagaimana para penyembah berhala dalam teologi politheisme atau paganisme pada era zaman Nabi. Namrudz dan umatnya yang fanatik sebagai pemyembah berhala harus membakar Nabi Ibrahim karena dianggap menghina dan menghancurkan berhala-berhala sesembahan yang mereka bikin sendiri.

Sikap kepala batu dan kebodohan yang tak mau berubah itulah yang disasar dari ajaran tauhid para Nabi Allah atas tindakan para penyembah berhala itu sebagaimana firman Allah: “Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” (QS Al-‘Araf: 191)”. Padahal mereka tahu, bahwa “berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (QS An-Nahl: 20).

Dalam sejarah para penyembah berhala maka bukan hanya batu, kayu, dan segala bentuk patung yang dituhankan. Namun juga penuhanan atau pendewaan terhadap manusia yang dianggap perkasa seperti raja-raja dan penguasa, bahkan orang yang dianggap suci. Ibn Abbas dan Ibn Katsir mengupas, bahwa muasal pemyembahan berhala yang terjadi pertama kali di zaman para nabi utusan Allah dinisbahkan pada nama-nama ulama yang dianggap suci dan ahli ibadat yang kemudian dipersonifikasikan ke dalam beragam simbol fisik yang kemudian mereka sembah. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr, sebagai nama-nama berhala pada masa Nabi Nuh konon adalah keturunan dari Nabi Adam yang mereka sucikan.

Hawa nafsu pun menyeruak menjadi berhala di balik pemberhalaan tuhan-tuhan buatan manusia kaum paganisme itu. Hingga Allah berfirman yang artinya, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS Al-Furqaan: 43). Menurut Ibnu Katsir, bahwa “bagaimanapun orang tersebut menganggap baik suatu perkara dan memandangnya baik menurut hawa nafsunya, maka dalam pandangannya hal itu adalah agamanya dan madzhabnya”.

Maka, Allah tidak pernah mentoleransi kemusyrikan, karena selain secara teologis sikap tersebut berlawanan dengan syahadat dan tauhid, pada saat yang sama seringkali berakar pada hawa nafsu dalam beragama dan dalam kehidupan umat beragama. Pada setiap perintah beribadah kepada Allah, sering disertai dengan larangan menyekutukan-Nya. Selebihnya, kemusyrikan dan pemberhalaan itu sungguh merupakan pandangan hidup yang sangat rapuh sebagaimana diperingatkan Allah, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut: 41).

Harapan terbesar dari spirit keagamaan yang autentik tentu saja agar segala ibadah yang berulang-tetap dilakukan umat beriman sejak shalat lima waktu perhari, jumatan per minggu, haji per tahun, umrah berkali-kali, membaca Alquran hingga tahfidh, serta segala ritual lainnya dapat mengubah keangkuhan ego-diri. Umat neriman agar makin menjadi shalih secara pribadi dan sosial serta mengubah lingkungan kehidupan untuk lebih berkeadanan dan berperadaban utama. Lebih-lebih pada diri mereka yang berilmu agama tinggi dan pemimimpin kaum beriman, sebagai sosok dan figur warasat al-anbiya!

Sumber keangkuhan

Manusia itu memiliki watak dasar angkuh diri. Angkuh karena kuasa tahta, harta, dan segala digdaya dunia. Bahkan angkuh diri karena kuasa ilmu dan agama. Keangkuhan itu sering menyeret manusia pada perangai suka melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (QS Al-Alaq : 6-7). Fir’aun bahkan dengan arogan mengaku diri sebagai tuhan yang maha tinggi. Padahal, Tuhan mengingatkan, meski angkuh diri melebihi Fira’aun, manusia itu tidak akan melampaui tingginya gunung. Sebuah metafora betapa lemah atau dhaifnya manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta.

Manusia angkuh, sabda Nabi, cirinya dua yaikni suka menolak kebenaran yang datang dari orang lain, serta gemar merendahkan sesama. Mereka yang bertahta dan berkuasa menindas rakyat jelata. Mereka yang berharta mengeksploitasi kaum papa. Mereka yang berilmu merendahkan yang bodoh. Merasa paling besar jumlah pengikut semena-mena terhadap yang sedikit dan minoritas. Mereka yang merasa Pancasilais menganggap lainnya tidak Pancasila, bahkan menuding anti-Pancasila. Bahkan, tidak jarang mereka yang merasa paling benar dengan paham agamanya mencerca dan memperolok paham lain yang berbeda darinya.

Karena keangkuhan diri melebih takaran, lalu terjadi pemberhalaan paham, pandangan, pemikiran, dan apa saja yang dimilikinya secara fanatik-buta. Lalu terjadi segala kedunguan logika. Segala pandangan dan paham yang berbeda diamggap sesat dan menyesatkan tanpa dalil dan argumen yang kokoh.

Orang lain dilarang berbuat sekehdaknya lalu dicap intoleran, radikal, dan ekstrem. Sementara dirinya bebas berkata, berpikir, dan berbuat apa saja yang sebenarnya sering berwatak ekstrem, radikal, dan intoleran. Kebenaran dan kesahalan hanya berpatokan pada dirinya, yang angkuh dan merasa diri paling banyak.

Akibatnya, keberagamaan dan apapun logika berpikir para manusia angkuh diri itu tak menyentuh sukma terdalam ajaran agama nan autentik. Mereka berpikir, berkata, dan bebuat layaknya buih di lautan sebagaimana Firman Allah, yang artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (QS Ar-Ra’du: 17)

Karena angkuh diri, mereka sering tersesat dan merasa benar di jalan salah layaknya berenang di lautan buih sering menjadikan insan beriman dan berilmu sekalipun menjadi kerdil diri. Manakala yang berbuat sesat jalan itu orang-orang awam tak berilmu, boleh jadi khalayak akan memakluminya. Namun menjadi paradoks jika yang salah jalan dan angkuh dalam kesalahannya itu mereka yang beriman dan berilmu. Angkuh diri di jalan salah yang dibenarkan dan disakralkan sungguh merupakan ironi kebenaran dalam jejak hidup kaum beriman dan berilmu. Inilah wujud lain pemberhalaan paham keagamaan yang berkarakter ghuluw, serba ekstrem dalam wajah lain. Mereka yang berilmu agama tinggi pun, karena keangkuhannya lantas menjadi kerdil.

Dalam khazanah Islam klasik dikenal istilah “Ash-Shaagiir”, ulama yang ilmunya tampak mumpuni tetapi perangainya kerdil. Ketika Ibnu Mubarak ditanya “Siapakah itu Ash-Ashaghir?”. Dia menjawab, yakni “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata”. Ulama atau mereka yang berilmu tetapi pikiran, ujaran, dan tindakannya sungguh tidak mencerdaskan dan mencerahkan. Sebaliknya tampak naif, bodoh, dan dungu. Ilmunya selain kehilangan kedalaman dan filosofi kebenaran yang autentik, pada saat yang sama tak dibalut hikmah hingga mengerdilkan dirinya. Iman dan ilmunya boleh jadi telah terkontaminasi berhala hawa nafsu.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan pada halaman republika.co.id pada Ahad (17/9)

http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-11939-detail-diaspora-pemuja-berhala.html



Kunjungan Silaturahmi dari Dharma Wanita Departemen Perhubungan Propinsi Sumbar

Alhamdulillah pada hari Senin, 18 September kemarin Panti Asuhan Al-Falah Darul Funun El-Abbasiyah mendapat kunjungan dari Dharma Wanita Departemen Perhubungan Profinsi Sumatera Barat, dalam kunjungan ini tamu yang berjumlah lebih dari 50 rombongan juga memberikan bantuan sembako dan infaq sedekah untuk Panti Asuhan.

 



Menristekdikti Dorong Negara OKI Kembangkan Pusat IPTEK

Indonesia mendorong seluruh negara anggota Organisasi Kerjasama Islam/OKI agar dapat mengembangkan berbagai Science Center di berbagai kawasan. Pembentukan berbagai center tersebut akan memberikan dampak positif terutama terhadap generasi muda yang sejak usia muda telah diperkenalkan terhadap Ilmu Pengetahuan dan teknologi.

Hal tersebut ditekankan oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI, Prof. Dr. Mohamad Nasir, pada saat memberikan pernyataan atas nama Pemerintah RI pada pertemuan para Menteri Ristek negara-negara anggota OKI di Astana, Kazakhstan, tanggal 9 September 2017.

Menristekdikti juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas tenaga pendidik karena hal ini akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan murid yang berkarakter serta memiliki sikap kritis, jujur dan kreatif. Selain itu, isu kualitas pendidikan juga perlu diperhatikan sebagai syarat bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera di seluruh negara OKI.

Peningkatan jumlah dan kualitas pendidikan tinggi (vocational education) juga perlu terus dilakukan untuk menunjang kegiatan industri di seluruh negara OKI. Oleh karena itu Indonesia mendorong kalangan industri dapat terlibat di dalam pengembangan vocational education dimaksud.

Menristekdikti juga telah menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk menyampaikan berbagai rencana Indonesia dalam memajukan Iptek nasional, antara lain: pembangunan terbagai science and techno parks; capacity building programme; pertukaran Professor di tingkat global; serta penyelenggaraan kerjasama riset dan pengembangan serta techno entrepreneurship.

Pertemuan tingkat Menteri para Menristek negara anggota OKI diselenggarakan sebagai salah satu pertemuan pada rangkaian Konperensi Tingkat Tinggi OKI mengenai Iptek yang diselenggarakan di Astana Kazakhstan, tanggal 10-11 September 2017. Delegasi RI pada pertemuan puncak KTT akan dipimpin oleh Wapres RI. Selain pertemuan tingkat Menteri, rangkaian pertemuan juga telah dimulai dengan pertemuan tingkat pejabat tinggi (Senior Official Meeting/SOM).

KTT OKI mengenai Iptek merupakan KTT tematik pertama di bawah kerangka forum kerjasama OKI. Tema KTT ini adalah “Science, Technology, Innovation and Modernization of the Muslim World”. KTT diselenggarakan atas kesepakatan seluruh negara OKI pada berbagai pertemuan KTT OKI, termasuk KTT OKI terakhir yang diselenggarakan di Istanbul pada bulan April 2016. Seluruh 56 negara anggota OKI telah berpartisipasi pada rangkaian pertemuan KTT OKI Iptek ini.

Pada akhir KTT, diharapkan seluruh Kepala Negara/Wakil Kepala Negara akan mengesahkan beberapa dokumen akhir, yaitu dokumen OIC Science, Technology and Innovation 2026 serta dokumen Astana Declaration. Dokumen OIC STI 2026 pada intinya merupakan road map Iptek negara-negara OKI untuk periode 2017-2026; sedangkan Astana Declaration akan berisi deklarasi bersama seluruh Kepala Negara/Wakil Kepala Negara OKI mengenai hal-hal utama mengenai pengembangan iptek di negara OKI bagi kepentingan seluruh umat manusia.

img-20170909-wa0013
Astana, 9 September 2017



Last Sermon of Prophet

After praising, and thanking Allah he said:

“O People, lend me an attentive ear, for I know not whether after this year, I shall ever be amongst you again. Therefore listen to what I am saying to you very carefully and TAKE THESE WORDS TO THOSE WHO COULD NOT BE PRESENT HERE TODAY.

O People, just as you regard this month, this day, this city as Sacred, so regard the life and property of every Muslim as a sacred trust. Return the goods entrusted to you to their rightful owners. Hurt no one so that no one may hurt you. Remember that you will indeed meet your LORD, and that HE will indeed reckon your deeds. ALLAH has forbidden you to take usury (interest), therefore all interest obligation shall henceforth be waived. Your capital, however, is yours to keep. You will neither inflict nor suffer any inequity. Allah has Judged that there shall be no interest and that all the interest due to Abbas ibn ‘Abd’al Muttalib (Prophet’s uncle) shall henceforth be waived…

Beware of Satan, for the safety of your religion. He has lost all hope that he will ever be able to lead you astray in big things, so beware of following him in small things.

O People, it is true that you have certain rights with regard to your women, but they also have rights over you. Remember that you have taken them as your wives only under Allah’s trust and with His permission. If they abide by your right then to them belongs the right to be fed and clothed in kindness. Do treat your women well and be kind to them for they are your partners and committed helpers. And it is your right that they do not make friends with any one of whom you do not approve, as well as never to be unchaste.

O People, listen to me in earnest, worship ALLAH, say your five daily prayers (Salah), fast during the month of Ramadan, and give your wealth in Zakat. Perform Hajj if you can afford to.

All mankind is from Adam and Eve, an Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over black nor a black has any superiority over white except by piety and good action. Learn that every Muslim is a brother to every Muslim and that the Muslims constitute one brotherhood. Nothing shall be legitimate to a Muslim which belongs to a fellow Muslim unless it was given freely and willingly. Do not, therefore, do injustice to yourselves.

Remember, one day you will appear before ALLAH and answer your deeds. So beware, do not stray from the path of righteousness after I am gone.

O People, NO PROPHET OR APOSTLE WILL COME AFTER ME AND NO NEW FAITH WILL BE BORN. Reason well, therefore, O People, and understand words which I convey to you. I leave behind me two things, the QURAN and my example, the SUNNAH and if you follow these you will never go astray.

All those who listen to me shall pass on my words to others and those to others again; and may the last ones understand my words better than those who listen to me directly. Be my witness, O ALLAH, that I have conveyed your message to your people”.



Hikmah dan Keutamaan Qurban Iedul Adha

Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:

1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban

Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]

2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah

Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]

4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa

“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]

5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]

Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”

6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]

7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 – 107]

(Fimadanidotcom)



Menyesal Aku Kehilangan Hidayah

Zaman tempat kita hidup sekarang begitu dinamis. Begitu cepat berubah. Keadaan kemarin sangat berbeda dengan hari ini. Hari ini bisa jauh tertinggal dibanding esok. Tentu, perubahan-perubahan itu berpengaruh terhadap keadaan kita. Seseorang bisa tiba-tiba jadi kaya raya. Bisa juga dari mapan jatuh pailit dan bangkrut. Dampak lainnya juga terjadi pada kondisi hati. Pagi beriman, siapa sangka sore hari menjadi kafir. Pagi kafir, sore hari mendapat hidayah. Dulu, di zaman dimana perubahan dan efek yang ditimbulkannya tidak sedahsyat sekarang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbicara tentang cepatnya perubahan kondisi hati.

لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَسْرَعُ تَقَلُّبًا مِنَ الْقِدْرِ إِذَا اسْتَجْمَعَتْ غَلَيَانًا

“Sungguh hati anak Adam itu lebih cepat berubah daripada (getaran) ketel di saat mendidih.” (as-Sunnah oleh Ibnu Abi Ashim, No: 182).

Perhatikanlah teko saat air di dalamnya mencapai titik didih. Tutupnya bergetar. Bergeser dari posisinya semula. Uap air yang bergemuruh membuatnya bergetar. Bergerak dan terus berubah. Kondisi hati manusia lebih cepat lagi berubahnya dari keadaan tersebut.

Ada sebuah kisah yang menunjukkan betapa hati itu sangat mungkin berubah. Dalam Tarikh Dimasyq No. 74431, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah kisah:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada penguasa Kerajaan Ghassan, Jabalah bin al-Iham (al-Ayham) mendakwahkan Islam kepadanya. Jabalah menyambut seruan itu dan memeluk Islam. Ia membalas surat Rasulullah, berisikan pernyataan keislamannya. Tak lupa sebagai penghormatan, ia bawakan hadiah untuk beliau. Jabalah pun menjalankan keislamannya. Dan hidup sebagai seorang muslim.

Dalam riwayat al-Waqidi, Jabalah turut serta dalam Perang Yarmuk di barisan orang-orang Romawi. Setelah itu ia memeluk Islam di masa Umar bin al-Khattab.

Waktu terus berjalan. Jabalah masih setia dengan ikrar Islamnya. Hingga ada satu kejadian yang mengubah hidupnya. Saat ia berada di Pasar Damaskus, seorang laki-laki Badui dari Muzainah menginjak jubah mewahnya. Sontak Raja terakhir Kerajaan Ghassan ini menempelengnya. Kemudian si Badui mengadu kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Ditetapkanlah qishash untuknya. Dibalas tempeleng oleh si Badui. Jabalah berkomentar, “Tidakkah kau lihat, wajahku ini sebanding dengan wajah kakekku.” Maksudnya, aku ini keturunan ningrat. “Sungguh agama ini keterlaluan jeleknya,” kata Jabalah mencela Islam. Ia pun murtad dan memeluk Nasrani. Kemudian lari bersama sekelompok pengikutnya menuju wilayah Romawi.

Ketika menafsrikan ayat:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).

Syaikh Sa’id al-Kamali membawakan kisah Jabalah bin al-Iham. Kata beliau:

Jabalah bin al-Iham raja terakhir Kerajaan Ghassan datang menemui Umar. Umar bergembira dengan keislamannya. Kemudian ia tawaf di Ka’bah dan pakaiannya terinjak oleh seorang Badui bani Fazarah. Jabalah menempelengnya. Laki-laki itu mengadu kepada Umar, “Jabalah bin al-Iham menempelngku,” katanya. Kemudian Umar memanggil Jabalah, “Kau memukulnya?” tanya Umar. “Bayarlah tebusan atas pukulanmu. Jika tidak, kuperintahkan dia untuk membalasmu,” lanjut Umar.

“Bagaimana bisa demikian. Aku ini seorang raja sementara dia hanya orang pasar?” tanya Jabalah keheranan. “Islam menjadikan kalian berdua setara (di mata hukum),” jawab Umar.

Jabalah mengatakan, “Aku menyangka, setelah memeluk Islam aku lebih mulia dibanding di masa jahiliyah.”

Umar menjawab, “Tinggalkan itu semua. Tidak bermanfaat sama sekali. Bayar tebusan atau engkau dihukum setimpal.”

“Kalau begitu aku pindah agama Nasrani saja,” jawab Jabalah kesal.

“Kalau kau murtad menjadi Nasrani, kupenggal lehermu,” kata Umar.

“Jika demikian, biarkan aku. Aku akan memikirkan urusan ini nanti malam,” kata Jabalah.

Di malam harinya, ia bersama orang-orang yang setia dengannya pergi menuju wilayah Romawi. Lalu memeluk agama Nasrani.

Dialah Jabalah bin al-Iham, pernah berjumpa orang shaleh seperti Umar. Bahkan tawaf bersamanya mengelilingi Ka’bah. Tapi ia wafat memeluk agama Nasrani. Jika demikian, bagaimana orang-orang yang hanya pernah duduk-duduk di majelis ustadz. Dekat dan ngobrol bersama mereka. Tentu kita lebih berhati-hati lagi.

Di akhir hayat ia menyesal dan menggubah bait syair penyesalannya.

تنصرت الأشراف من عار لطمة *** وما كان فيها لو صبرت لها ضرر
تكنفني فيها لجاج ونخوة *** وبعت بها العين الصحيحة بالعور
فيا ليت أمي لم تلدني وليتني *** رجعت إلى القول الذي قاله عمر
ويا ليتني أرعى المخاض بقفرة*** وكنت أسيرا في ربيعة أو مضر
ويا ليت لي بالشام أدنى معيشة *** أجالس قومي ذاهب السمع والبصر

Aku menjadi Narani karena malu dari tamparan Padahal balasan itu tidak bahaya kalau aku bersabar
….
Aduh celaka sekiranya ibuku tidak melahirkan Aduh celaka, seandainya aku tunduk dengan apa yang dikatakan Umar
Aduh celaka coba kutahan sakitnya rasa melahirkan Atau menjadi tawanan di Rabiah atau Mudhar
Aduh celaka sekiranya aku tetap di Syam walaupun rendah kehidupan Bersama kaumku, pergi, melihat, dan mendengar

Pelajaran:

Pertama: Hati itu cepat berubah.

Kedua: Kesombongan dapat menghilangkan hidayah.

Ketiga: Pernah bertemu, bersama, berteman dengan orang shaleh tidak menjamin hidayah. Sebagaimana Abu Thalib tidak memeluk Islam, padahal sering bersama Nabi. Kebersamaan dengan orang shaleh hendaknya dimanfaatkan untuk menambah ketakwaan dan ilmu bukan untuk menjadi bahan cerita. Karena hal itu tidak bermanfaat menambah iman dan takwa.

Keempat: Strata sosial yang tinggi dan harta bisa menjadi penghalang hidayah.

Kelima: Hidayah Islam itu lebih nikmat dibanding nikmat kedudukan, harta, dan kesenangan dunia lainnya. Karena Jabalah merasakan kenikmatan dunia di wilayah Romawi, tapi ia tetap menyesal. Dan berharap mengulang kehidupan, tinggal di Syam walaupun menjadi orang biasa.

Keenam: Memperbanyak doa memohon kepada Allah agar memberikan ketetap hati.

Read more http://kisahmuslim.com/5981-menyesal-aku-kehilangan-hidayah.html



Sepatu dan Tas dari Kulit Babi

Hati-hati bila membeli produk sepatu dan tas. Periksa dengan hati-hati, pastikan apakah bahan yang dipakai berasal dari kulit sintetis atau dari kulit binatang asli. Bila dari kulit binatang asli, pastikan apakah ia berasal dari kulit binatang yang diharamkan, seperti kulit babi. Cek terlebih dahulu dengan teliti, jangan sampai salah beli.

Hati-hati bila membeli produk sepatu dan tas. Periksa dengan hati-hati, pastikan apakah bahan yang dipakai berasal dari kulit sintetis atau dari kulit binatang asli. Bila dari kulit binatang asli, pastikan apakah ia berasal dari kulit binatang yang diharamkan, seperti kulit babi. Cek terlebih dahulu dengan teliti, jangan sampai salah beli.

Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Beliau mengijinkan kulit dari semua jenis hewan (termasuk hewan haram) boleh dipakai setelah disamak, dengan satu pengecualian, yaitu : kulit babi. Oleh karena itu, kulit babi tidak boleh dipakai sebagai bahan sepatu.

Sedangkan Imam Daud az-Zahiri berpendapat lain. Beliau berpendapat bahwa setelah disamak, semua kulit hewan, baik yang dagingnya halal maupun yang diharamkan (termasuk kulit babi), dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, kulit babi boleh dipakai sebagai bahan sepatu.

Kulit sepatu merk Beebug dan Anyo punya pola seperti kulit babi walaupun sudah diberi warna yang berlainan (pink, purple dll). Ketika ditanyakan kepada salesgirl-nya apakah bahan yang dipakai adalah kulit babi (pigskin), maka dijawab dengan bangga bahwa itu memang kulit babi. Dengan bangga dikatakan pula bahwa itulah keunggulan produknya. Pemakaian pig-skin akan menciptakan kenyamanan bagi pemakai, di samping tentunya empuk dan keringat tidak berbau.

Sepatu merk-merk tersebut di atas banyak pula dijual di beberapa mall terkemuka di Indonesia, seperti di Plaza Indonesia (Jakarta). Sepatu Kickers pun punya pola yang sama. Pabrik sepatu Merk Next juga memberikan konfirmasi sama bahwa ada beberapa produknya yang memakai kulit babi. Mereka meminta konsumen bertanya sebelum membeli.

Selain dipakai sebagai bahan untuk membuat sepatu, kulit babi juga dipakai sebagai bahan pembuatan jaket, sarung tangan, tas, dll. Sarung tangan dengan bahan kulit babi pernah ditemukan di Sarinah Thamrin (Jakarta). Sementara belum ada laporan mengenai tas dan jaket berkulit babi dijual di Indonesia. Di luar negeri, termasuk di Tokyo, dijual secara terbuka.

Ciri kulit babi dapat dilihat dengan jelas. Apalagi apabila dilihat secara langsung. Ada polanya, seperti ada pori-porinya. Selain itu, ada tiga titik-titik kecil seperti tusukan jarum yang berdeketan. Ada yang membentuk garis lurus, setengah lingkaran atau segitiga.

Apabila kita lihat secara langsung, maka Insya Allah kita akan langsung faham. Tanda titik 3 berpola segitiga (lubang tersebut mirip bekas tusukan jarum) merupakan tanda khas kulit babi, dan tidak dapat hilang mesti telah diolah/disamak. Allaahu a’laam bish-showwab.

Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P
Sumber: http://kibar-uk.org/2012/08/28/sepatu-dan-tas-dari-kulit-babi/



Beasiswa Dokter Muhammadiyah

A. Deskripsi Beasiswa Dokter Muhammadiyah

Beasiswa Dokter Muhammadiyah adalah suatu program bantuan biaya pendidikan yang diberikan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta kepada kader-kader Muhammadiyah. Beasiswa diberikan pada mahasiswa baru yang berasal dari Panti Asuhan Muhammadiyah/Aisyiyah dan Pondok Pesantren Muhammadiyah/Aisyiyah yang mempunyai motivasi dan kemampuan akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi. Beasiswa yang diberikan adalah biaya selama kuliah (SPP, DPP, bantuan biaya hidup, buku dan penelitian) kepada calon mahasiswa baru program studi Pendidikan Dokter dan Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

B. Persyaratan Calon Penerima

  1. Warga Negara Indonesia
  2. Lulus Sekolah Menengah Umum dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Tahun 2017, 2016 atau 2015.
  3. Pendidikan orang tua/ wali setinggi-tingginya S1 (Strata 1) atau Diploma 4
  4. Berpotensi akademik baik.
  5. Tidak buta warna.
  6. Tidak mampu secara ekonomi yang ditunjukkan oleh surat keterangan dari Kelurahan/ Desa setempat.
  7. Merupakan anak asuh Panti Asuhan Muhammadiyah/Aisyiyah atau Pondok Pesantren Muhammadiyah/Aisyiyah dari keluarga kurang mampu
  8. Merupakan kader Muhammadiyah

C. Cara Mendaftar

Cara mendaftar Beasiswa Dokter Muhammadiyah sebagai berikut :

  1. Mengisi formulir pendaftaran Beasiswa Dokter Muhammadiyah yang dikeluarkan oleh Biro Penerimaan Mahasiswa Baru UMY
  2. Melampirkan surat keterangan dari Panti Asuhan/Pondok Pesantren bahwa yang bersangkutan tinggal di Panti Asuhan/Pondok Pesantren minimal selama 2 tahun;
  3. Melampirkan surat keterangan dari Pimpinan Cabang atau Pimpinan Daerah Muhammadiyah;
  4. Melampirkan Surat Pernyataan Kesediaan mengabdi di Amal Usaha Muhammadiyah bidang Kesehatan di seluruh Wilayah Indonesia;
  5. Melampirkan fotokopi ijazah SMA yang dilegalisir (Bagi yang lulus tahun 2016 dan 2015);
  6. Melampirkan fotokopi raport SMA dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 (6 semester) yang dilegalisir (Bagi yang lulus tahun 2016 dan 2015);
  7. Melampirkan fotokopi raport SMA dari kelas 1 sampai dengan kelas 3 (5 semester) yang dilegalisir (Bagi yang lulus tahun 2017);
  8. Melampirkan Surat keterangan tentang prestasi/ peringkat siswa di kelas dan bukti pendukung prestasi lain (Jika ada);
  9. Melampirkan fotokopi Kartu keluarga atau Surat Keterangan tentang susunan keluarga;
  10. Menyerahkan pasfoto hitam putih terbaru ukuran 3 x 4 sebanyak 2 lembar (Foto sebaiknya sama dengan foto dalam ijazah);
  11. Surat Keterangan tidak mampu dari Kelurahan atau Kecamatan;
  12. Surat Keterangan Gaji Orang Tua dari tempat kerja orang tua atau surat keterangan penghasilan dari Kelurahan/Desa setempat;
  13. Bagi pendaftar yang sudah yatim/piatu/yatim piatu, dapat melampirkan fotokopi surat/akta kematian orang tua dari Desa/ Kelurahan setempat;
  14. Melampirkan Profil atau Program Pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah oleh Pimpinan Muhammadiyah setempat;
  15. Foto rumah/tempat tinggal keluarga tampak depan, samping, dan dalam (dicetak dan ditempel di kertas).

Info: http://www.umy.ac.id/kuliah-di-umy/beasiswa/beasiswa-dokter-muhammadiyah



Kenapa Wartawan

Tengah malam di akhir Februari 1981. Aku berdiri di atas sajadah, shalat istiqarah. Memohon kepada Allah, pilihan hidup: wartawan atau bukan. Ketika bangkit, aku melihat cahaya terang membayang di depanku. Akupun yakin wartawan adalah pilihan.

Pagi sekali aku melapor ke seniorku Muchlis Sulin (alm),Dia menyerahkan selembar telegram dari Kantor Majalah Berita Mingguan Tempo, seperti mandat penunjukkan seorang koresponden.

Sejak itu, berbekal segumpal tekad, dengan sepeda motor, hingga lima tahun kemudian aku memburu berita di dua provinsi sekaligus, Sumatera Barat dan Riau, plus Kabupaten Kerinci, provinsi Jambi. Hujan panas, siang dan malam aku lalui mengejar berita dan memenuhi dealine yang tak boleh tertunda.

Aku sadar Tuhan menolongku. Kuliah masih tersisa setahun lagi. Kakak sandaranku, usahanya sedang payah. Ibu yang mengasuh adik-adikku juga sudah tua. Ayah, sudah meninggal 1972 kala aku baru naik kelas dua Aliyah. Hidup di rantau itu bak “Menangguk angin lalu”, ujar kakak angkatku, pedagang kaki lima, memberi semangat.

Ditemani mesin ketik kecil setiap malam aku duduk di atas sebuah bangku di depan meja milik teman. Begitupun hatiku sejuk meski kamar kayu yang kusewa tanpa plafon, bila tidur siang mesti daiatas handuk terbentang.

Berita? Tak ada peristiwa dan kejadian yang terabaikan. Politik, hukum, kriminal, ekonomi dan bencana alam, semua lini aku jalani. Itu menyadarkan ku wartawan tak cukup mengandalkan panca indra.

Aku terus membeli buku. Aku datangi orang-orang pintar. Mawardi Yunus Rektor Unand saat itu, ekonom Hendra Esmara, Alfian Lain. Juga Khaidir Anwar dan Muchtar Naim sering aku datangi ke rumahnya. Buya MD. Datuk Palimo Kayo Ketua MUI, Idrus Hakimi Da. Rajo Pangulu Ketua LKAAM adalah orang yang aku rasa amat sayang padaku.

Bila senggang, berdiskusi di kantor Zahiruddin Direktur LBH, bersama A. Kadir Usman, Asma Naim dan pengacara muda kala itu. Pengusaha, dokter, guru besar Ilmu hukum, pejabat kepolisian, tentara, dan kalangan pejabat Pemda Sumatera Barat, semuanya aku datangi. Dengan mereka aku berdiskusi melengkapi diri mendukung profesi.

DBagiku sederhana alasannya.“Ayah cuma satu, Bapak boleh seribu”. Aku menimba ilmu dari mereka. Karena aku tahu, perusahaan pers itu adalah gabungan pergurun tinggi dan bisnis informasi.

Aku terus memburu berita. Berita-berita yang tak tergarap wartawan Sumatera Barat, baik karena jauh lokasinya atau karena berat medan dan persoalannya, aku garap. Begitupun, jangankan dijentik, dihardik orang pun, Inshaallah, belum pernah.

Semua itu tak membuat aku bangga. Cuma asyik dan larut saja. Dan itu membuat aku lupa, aku juga pemuda lazimnya punya waktu senggang sedikit bersenang-senang, mungkin juga merasakan kebahagian berteman wanita. Tapi kepuasanku justru kala berhasil mengungkap sebuah peristiwa membuat banyak orang tertolong dan masyarakat terbantu.

Hampir 30 tahun, kujalani profesi itu, dari Tempo ke Majalah Gatra diselingi Harian Singgalang, Majalah Zaman, dan Forum Keadilan. Dengan keringat itu aku dayung hidup keluarga dan anak-anakku bertongkat sebuah sikap,” berjalan lurus berkata benar”. Meski akibatnya, umpatan dan pujian, disukai atau dibenci, datang silih berganti, Alhamdulillah,ke empat anakku bisa bersekolah layaknya anak-anak lain.

Wartwan pakaiannya dan penampilannya seadanya. Suatu hari aku diundang bermakalah disebuh hotel ternama. Aku buru-buru menaruh sepeda motor di depan hotel itu. Eh, aku diusir satpam agar memarkir sepeda motor di belakang.

Melihat tampang rada kusam satpam mengikuti aku ke ruang pertemuan. Aku terus ke depan mebawakan makalah. Ketika keluar, dia berusaha memberi hormat. Aku mengangguk saja. Dan, kembali ke sepeda motor ku.

Yang terberat di profesi ini memang karena tak kaya. Celakanya, punya sedikit harta ditatap curiga. Bayangkan, menyumbang satu truk bata untuk gedung organisasi kemahasiswaanku, dianggap tak ada. Boleh jadi karena itu yang pernah menaruh hatipun menjauh pergi.

Maka, kepada keluarga dan anak-anakku, kutanamkan.Kalian lahir dari seorang wartawan. Jangan dendam pada keadaan.(*)



Mengaji Tanpa Sanad

Dr MAZA (Assoc. Prof. Dato’ Dr. Mohd Asri Zainul Abidin), Mufti Perlis, Malaysia.

Soalan: Dr MAZA, saya sering didatang oleh pihak tertentu yang menyatakan jika kita belajar hadis atau baca hadis sedang kita tiada sanad sendiri yang bersambung adalah salah. Mereka mengajak saya berguru ustaz dari Indonesia yang katanya banyak sanad. Kata mereka kita hanya boleh mengaji hadis dengan ustaz-ustaz tertentu sahaja ini yang ada sanad. Saya tidak faham masalah ini, habis macam mana hendak ikut Nabi s.a.w kalau kena tunggu sanad? Muzairi, Seremban.

Jawapan Dr MAZA: Saudara, ramai orang terikut-ikut dengan sesuatu dakwaan tanpa mereka cuba memahami sendiri perkara tersebut.. Demikianlah dalam isu sanad ini. Perbahasan ini terlalu luas, saya ringkaskan kepada beberapa perkara berikut;

1. Apakah itu sanad? Sanad ialah rangkaian periwayatan dari seorang perawi kepada perawi yang lain sehingga sampai kepada matan (teks) yang diriwayat. Matan tersebut boleh jadi hadis, atau perkataan sahabat, atau tabi’in atau selainnya. Tujuan sanad adalah untuk menyelidiki sejauh manakah kesabitan sesuatu riwayat.

Adakah perawi yang dusta, atau dipertikaikan atau lemah dari segi hafalan, atau rangkaian riwayat itu terputus yang menandakan para perawi tidak bertemu antara satu sama lain yang kesemuanya itu akan menjejaskan nilai sesuatu riwayat. Ini yang disebut oleh tokoh agung tabi’in, Muhammad ibn Sirin (meninggal 110H):

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Dahulu ahli hadis tidak bertanya tentang sanad, namun apabila berlaku fitnah (perbalahan dalam kalangan umat Islam) maka ahli hadis pun bertanya: “Sebutkan untuk kami para perawi kamu”. Maka dilihat ahli Sunnah (yang berpegang dengan sunnah) lalu diambil hadis mereka, dilihat pula ahli bid’ah lalu tidak diambil hadis mereka” (Riwayat Muslim).

2. Sebenarnya, tujuan sanad sudah tertunai dengan terkumpulnya hadis dalam kitab-kitab hadis seperti yang dilakukan al-Bukhari (meninggal 256H), Ahmad bin Hanbal (meninggal 241H), Muslim (meninggal 261H), al-Nasai (meninggal 303H), al-Tirmizi (meninggal 279H), Abu Daud (meninggal 275), Ibn Majah (meninggal 273H), Ibn Hibban (meninggal 354H), Ibn Abi ‘Asim (meninggal 287H) dan lain-lain.

Mereka telah memberitahu sanad bagi setiap hadis yang mereka riwayatkan. Maka yang perlu dikaji ialah sanad antara mereka kepada Nabi s.a.w. Adapun antara kita kepada mereka, tidak diperlukan kerana kitab-kitab itu telah pasti yakin dari mereka disebabkan tersebar dengan begitu luas diakui milik mereka secara sepakat. Jika ada pihak yang inginkan sanad sekarang ini, mungkin sekadar satu tradisi yang tidak lagi mempunyai tujuan asal sanad iaitu memastikan kesahihan riwayat.

Inilah yang disebut oleh al-Imam Ibn al-Solah (meninggal 643H): “Sesungguhnya riwayat dengan sanad yang bersambung pada zaman kita ini dan beberapa zaman sebelum ini bukanlah bertujuan untuk membuktikan kesabitan apa yang diriwayatkan. Ini kerana tidak terlepas sanad-sanad tersebut (zaman beliau dan beberapa zaman sebelum itu) dari perawi yang tidak tahu apa dia diriwayatkan, atau tidak dabit (memelihara tulisan dan ingatan) apa yang dia catatkan dengan satu dabit yang layak untuk dipegang kesabitannya…” (Ibn al-Salah, Siyanah Sahih Muslim, 115, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami).

Jika ini yang diucapkan oleh al-Hafizd Ibn al-Salah 800 tahun lepas, bagaimana mungkin ada puak yang menyatakan sesiapa tiada sanad di zaman ini tidak boleh dipegang pengajian hadisnya? Ibn al-Salah pada zaman itu telah memaklum bahawa sanad sudah hilang fungsi asalnya disebabkan perawi yang tidak lagi boleh dipegang. Maka memadailah dengan sanad yang ada dalam kitab-kitab hadis.

3. Maka hendaklah kita fahami, tujuan sanad bukan untuk bermegah-megah tetapi untuk mengkaji latar belakang perawi yang terbabit. Ini kerana para pengumpul tidak hidup pada zaman Nabi s.a.w, sebaliknya hanya bergantung kepada perantara iaitu para rawi.

Bukan semestinya yang menjadi rawi mendapat pengiktirafan, sebaliknya ramai perawi yang wujud nama mereka dalam sanad dipertikai dan tohmah disebabkan tidak berkelayakan dalam periwayatan lalu hadis mereka dianggap daif atau mungkin juga palsu. Nabi s.a.w bersabda:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ

“Pada akhir zaman akan ada para dajjal lagi pendusta. Mereka membawa kepada kamu hadis-hadis yang tidak pernah kamu dan bapa-bapa kamu mendengarnya. Kamu hendaklah berhati-hati dengan mereka agar mereka tidak menyesatkan kamu dan memfitnah kamu (menipu kamu sehingga yang batil disangkakan benar)”. (Riwayat Muslim).

Maka, sanad menjadi banteng dari pembohongan atas nama Nabi s.a.w.

4. Para dengan itu asas kepada pengkajian sanad itu seperti yang disebut oleh al-Syeikh Mahmud al-Tahhan: “Sesungguhnya dalam pengkajian sanad, pada asas ianya berpegang kepada ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dan sejarah para perawi”.( Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, m/s 140). Inilah dua asas penting dalam mengkaji kepada sanad. Sesiapa yang ingin memperkatakan tentang sanad, dia hendaklah memahami dua aspek ini dengan baik.

5. Al-Jarh wa al-Ta’dil terdiri daripada dua perkataan Al-Jarh dan al-Ta’dil. Al-Jarh ialah sifat-sifat rawi yang menyebabkan ditolak hadisnya dan tidak diterima riwayatnya. Sementara al-Ta’dil bermaksud, sifat-sifat rawi yang menyebabkan diterima riwayatnya dan dijadikan hujah hadisnya. Dalam ilmu hadis, ada kitab-kitab khas mengenai latar belakang para perawi atau dikenali dengan Kutub al-Rijal seperti Mizan al-‘Itidal, Taqrib al-Tahzib dan banyak lagi.

Termuat dalam kitab-kitab tersebut latar sejarah perawi dan juga komentar para penganalisa hadis mengenai diri mereka. Setiap rawi akan dinilai apakah dia kuat atau lemah dalam riwayat, atau mungkin juga seorang pendusta. Dalam kitab-kitab ini juga akan dibongkar kejahatan para pendusta yang memasuk dan mencipta hadis-hadis palsu.

Para ulama hadis telah mengembelingkan usaha yang begitu hebat dalam meneliti dan menilai peribadi-peribadi para periwayat. Sanad adalah pengesan utama dalam mengenali hadis-hadis yang datang daripada para pendusta. Apakah nama guru-guru melayu atau Indonesia atau tarekat itu ada dalam senarai tersebut sehingga boleh dibuat kajian mengenai mereka?

6. Aspek kedua yang dikaji dalam sanad ialah sejarah para periwayat atau dikenali dengan Tarikh al-Ruwah iaitu ilmu mengenai sejarah para rawi Dalam ilmu ini akan dibahaskan mengenai latarbelakang setiap perawi; tarikh lahir, tarikh kematiannya, guru-guru yang dia ambil hadis mereka , tarikh pengambilan hadis daripada guru-guru berkenaan, pelajar yang mengambil hadis daripadanya, negeri dia tinggal, pengembaraannya dalam mengambil hadis, tarikh dia sampai ke negeri-negeri yang diambil hadis daripada tokoh-tokohnya, tarikh pengambilan hadis daripada sesetengah tokoh sebelum tokoh-tokoh tersebut ikhtilat (berlaku kekeliruan) dalam periwayatan dan berbagai lagi.

Ilmu ini sangat penting untuk mengetahui sejauh manakah benar dakwaan seseorang rawi bahawa dia benar-benar mengambil hadis daripada rawi sebelumnya. Dengan ilmu ini dapat dilihat sejauh manakah berlakunya kesinambungan sanad, atau ittisal al-Sanad. Setelah sejauh mana pula ia kukuh.

Sanad yang tidak bersambung menafikan kesabitan sesebuah hadis, maka hadis dianggap tidak sabit untuk disandarkan kepada Nabi s.a.w. Ini kerana syarat bagi hadis yang thabit ialah bersambung sanad. Apakah hal ini boleh dilaksanakan ke atas yang ingin bermegah-megah dengan sanad di zaman ini.

7. Kesimpulannya, sanad di zaman ini sudah tiada nilai asal sanad iaitu mengkaji ketulenan riwayat. Ini kerana, para ulama yang mengumpul hadis seperti Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lain telah pun menyatakan sanad antara Nabi s.a.w dan mereka. Kitab-kitab mereka telah tersebar dan tiada pertikaian yang menafikan kitab-kitab tersebut daripada mereka.

Maka, sanad antara mereka dan kita sudah tidak diperlukan lagi. Jika ada yang memiliki sanad pun selepas zaman mereka sekadar suatu kenangan tentang tradisi pengajian hadis pada zaman dahulu. Saya sendiri memiliki banyak sanad yang bersambungan antara saya sehingga kepada para pengumpul hadis seperti al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lain-lain.

Namun, apalah erti semua itu, kerana jika ditimbang para perawi selepas itu termasuklah saya, tentulah tidak mencapai tuntutan yang sepatutnya. Jika mencapai pun, tiada faedahnya kerana kitab-kitab tersebut memang telah diyakini penulis. Cumanya yang mesti dikaji adalah sanad-sanad antara mereka dan Nabi s.a.w, atau rawi terakhir terutama para sahabat dan tabi’in.



Kordoba Rujukan Penguasa Eropa Soal Kota Modern

Dalam bahasa Arab, ia bernama al- Qurthubah al-Thayyibah. Letaknya di Semenanjung Iberia (kini Spanyol). Kota ini mencapai zaman keemasannya di bawah kesultanan Khalifah al-Hakam II (wa fat 976). Sang khalifah rupanya juga se orang yang haus akan ilmu pengetahuan.

Dalam setiap lawatannya ke negerinegeri luar, ia kerap memborong bukubuku untuk memperkaya perpustakaan pribadi. Sebagaimana Baghdad di timur, Kordoba juga menjadi pusat aktivitas intelektual, utamanya penerjemahan teksteks dari pelbagai peradaban dunia ke dalam bahasa Arab.

Tidak kurang dari 70 perpustakaan publik tersebar merata di seantero Kordoba dalam abad ke-10 Masehi.Tidak meng herankan bila kota ini mendapatkan julukan Permata Eropa. Sebab, hampir seluruh Eropa, utamanya yang didiami bangsa Frank (Prancis) atau Roma sekalipun, di saat yang sama sedang diliputi Abad Kegelapan.

Kota ini dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang amat jarang dijumpai kotakota lain di penjuru Eropa. Misalnya, lampu-lampu penerangan, jalan umum yang bersih, kolam-kolam air mancur, bangunan-bangunan indah, taman, hingga toko-toko buku. Segenap fasilitas umum itu sudah dibangun sejak kekuasaan Khalifah Abdurrahman I, sang amir pertama Kordoba (756-788).

Oleh karena itu, Kordoba menjadi rujukan bagi para penguasa Eropa untuk mendapatkan kemewahan hidup. Seperti di lansir dari MuslimHeritage.com, umpamanya Raja Leon atau penguasa Barcelona memerlukan seorang dokter, perancang bangunan atau busana, mereka akan mencarinya di Kordoba. Meskipun dikuasai Islam, penduduk Kordoba merupakan masyarakat yang heterogen.

Dalam era Khalifah al-Hakam II, Universitas Cordoba mulai mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, lembaga tersebut menjadi perguruan tinggi yang paling disegani seantero Eropa pada masa itu sebanding dengan Universitas al-Azhar di Kairo dan Universitas Nizamiyah di Baghdad.

Banyak pelajar dari berbagai wilayah Ero pa, Afrika Utara, serta Asia, datang untuk menimba ilmu di sini. Apalagi, kam pus itu terbuka kepada baik Muslim ataupun non-Muslim. Salah satu tokoh Kristen yang ikut belajar di sini adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kelak menjadi Paus Sylvester II.

Di sekitar Kordoba juga terdapat Madinah az-Zahra, yakni sebuah kompleks kota-benteng yang menakjubkan. Pem bangunannya bermula pada 936 Masehi atau dalam masa Khalifah Abdur Rahman III. Perlu waktu 25 tahun lamanya hingga Madinah az-Zahra selesai dengan sempurna. Lokasinya berada sekitar lima kilometer dari pusat kota Kordoba.

Secara arsitektur, penampaknya mencontoh istana Diansti Umayyah klasik di Damaskus. Hal itu seakan-akan bermakna, sang khalifah hendak mencari akar budayanya ke Suriah. Baru pada 947 Masehi, pusat pemerintahan mulai pindah ke Madinah az- Zahra dari Kordoba. Di puncak kemakmurannya, Madinah az-Zahra berpenduduk sekira 12 ribu jiwa.

Di dalamnya lengkap dengan bangunan-bangunan indah, taman-taman dengan sistem irigasi yang andal, serta tentu saja istana sang khalifah. Dalam perspektif modern, Madinah az-Zahra merupakan sebuah kawasan hunian urban. Setengah abad lamanya kota-benteng ini berdiri kokoh. Sebab, mulai 1010 hingga tiga tahun kemudian, perang saudara melanda.

Beberapa ilmuwan Muslim pada zaman keemasan Kordoba antara lain pakar ilmu medis al-Zahrawi (wafat 1013). Orang Eropa menyebutnya Abul casis (berasal dari panggilannya, Abu al-Qasim). Dia dikenal sebagai Bapak Ilmu Bedah di dunia kedokteran. Karyanya yang paling terkemuka adalah Kitab al-Tasrif, yang merupakan ensiklopedia tentang praktikpraktik bedah medis. (Republika)



Karenamu PII

Tahun 1969 aku berusia 13 tahun, masih kelas satu Tsanawiyah Negeri Padang Japang, sebuah jorong dari Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota. Aku diajak ikut basic training Pelajar Islam Indonesia (PII). Kenapa aku? Mungkin karena suka berantam. Tapi juga ketua seksi olahraga, ketua seksi Muhadharah, lalu di kelas tiga menjadi ketua Osis.

Mungkin karena masih anak-anak selama training sering disuruh tampil memimpin acara dan memimpin nyanyi PII. Instrukturnya ada yang galak ada amat penyang. Yang pertama itu Adli Fauzi, Marlis. Yang kedua Yusmar, Asma Kasim, Misrawati, Iyar, dan sejumlah nama lainnya. Mereka sudah di Aliyah, bahkan sudah kuliah.

Aku tak sendiri. Ali Amri, Muzni My, Rosmania Perangin-angin, Syofyan Saragih, Dasril, Adia Putera, Zulfadli, Djanewar. Banyak lagi. Aku sudah lupa. Dari pengurus wilayah ada Nasrul Hamzah, Djasril Sair, Ummiati Syarif. Itu yang aku ingat. Tahun berikutnya aku ikut lagi basic training. Istrukturnya Masri Lamsayun, Harma Zaldi, Sukhyar Iskandar, beberapa PII-wati dari PW PII Sumbar.

Ketika terjadi pergantian pengurus Cabang Kewedanaan Guguk – Suliki (dua kecamatan), Ali Amri jadi Ketua dan aku jadi sekretaris. Tak punya kantor. Surat-surat dialamatkan ke aku di sekolah. Tahun 1971 sehabis ujian akhir Tsanawiyah, aku diikutkan Perkampungan Kerja Pelajar se-Sumatera di Situjuh Lima Nagari, Limapuluh Kota. Hebat. Pesertanya siswa SLTA, bahkan sarjana muda. Aku yang terkecil. Tapi pendekatan kemasyarakatanku dianggap, oke.

Sebagai pengurus, yang masih anak-anak, kami biasa berurusan ke kantor polisi dan camat di Dangung-Dangung sekitar 4 Km dari sekolahku. Kadang jalan kaki saja. Ketika rapat kami dikuntit polisi, kami ngumpulnya di pondok penjaga durian. Polisinya bingung. Ini anak PII apa penjaga durian, gitu.

Soal dana organisasi tak payah. Asal memberitahu warga, di masjid atau di sekolah, ada saja uang. Aku pun sering membohongi orang tua, minta uang sekolah, tapi ikut acara PII.

Meski di jorong, kami tak minder sama PII-wan/wati dari kota. Maklum, kami punya kebanggan. Saa perang kemerdekat jorong itu jadi basis Syekh Abbas Abdullah, Panglima Jihad Sumatera Tengah. Zaman PDRI, Presiden PDRI, Syafruddin Prawira Negara, dan sejumlah menteri dan gubenur tinggal di situ.

Tahun 1942 Soekarno mendatangi Syekh Abbas Abdullah meminta pendapatnya tentang dasar-dasar negara yang akan dimerdekakan. Moh. Natsir pun dua kali datang kemari. Pertama tahun 1948 kala menjemput Syafruddin Prawira Negara. Kedua, 1966 bersama barisan KAPPI/ Kami yang dipimpin KB PII Binahar Daud berjalan kaki dari Padang. Semua itu ikut mewarnai semangat kami.

Tahun 1975 aku dan Ali Amri kuliah di Payakumbuh. Kami menempati sebuah rumah tua yang mungil di Koto Nan Ampek. Rumah itu pernah jadi Kantor PII Daerah Limapuluh Kota/Payakumbuh. Aku menemukan sebuah papan nama PII yang sudah luntur. Juga jejak stempel HMI Cabang Payakumbuh di atas selembar surat.

Satu hari datang Ibu Fatimah Yulinas KB PII dan alumni HMI, dosen di Fakultas Adab, yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Ia bertanya,”kemana hilangnya generasi muda Islam Limapuluh Kota Payakumbuh”. Aku tak tahu menjawabnya. Senior dari kalangan HMI yang ada di rumah itu pun tak tahu menjawabnya.

Tak tahu harus berunding kemana, aku bawa papan dan bekas plang PII itu ke bengkel mobil DKB, di seberang rumah kami. Aku minta dibuat plang nama PII dan HMI. Tak punya duit, uang jajanan ku sebulan kugunakan. Setelah jadi, aku pasang berdempetan di depan rumah reot itu. Eh, hari-hari berikutnya aktivis HMI dan PII berdatangan. Di situ aku bertemu Risman Muchtar, Zulfahmi Khatib, Rusydi Ramli dan sejumlah yang lain.

Saat libulan puasa, kami adakan basic training di Ma’had Islami. Risman jadi pembina. Eh, aku malah jadi ketu kosumsi. Instrukturnya yang paling tip, Zulfarizal Khaidir. Singkat cerita, kemudian dibentuklah Pengurus Daerah PII Payakumbuh Limapuluh Kota, dan Pengurus Cabang HMI Payakumbuh. Ali Amri jadi Ketua PD, aku wakilnya.

Aku pun jadi pelatih vollyball di beberapa kampung sampai terbentuk club volly ball PII, yang cukup diperhitungkan di Payakumbuh. Aku juga mengajar merangkai janur, merangkai buah, merangkai bunga, di beberapa kelompok PKK, kemudian jadi basis dan simpatisan PII.

Tahun 1977 aku pindah karena kampus kami disatukan di Padang. Setahun di Padang, tiap pulang kuliah aku ikut membantu kakak angkat berjualan jeruk di Pasar Raya. Aku mengumpulkan teman-teman membentuk group volksong. Mereka kemudian aku ajak mendirikan Komisariat HMI Fakultas Adab. Rapat di Gedung PGAI, hidangannya jeruk sekarung. Secara aklamasi aku terpilih jadi ketua. Tapi aku serahkan pada temanku Khairusdi. Dia ketua, aku wakilnya.

Tahun 1978 aku ikut kegiatan koran kampus, masih stensilan, Karya Tulis namanya. Karena produktif, aku, Zaili Asril, Shofwan Karim, Yulizar Yunus, Alirman Hamzah, Adi Bermasa, Ema Yohana, minta diterbitkan Koran Kampus, Sautul Jamiah. Pembantu Rekktor II, Sofyan Ras Burhani menolak. Kami beritakan dia di koran Haluan. Sofyan Ras marah. Tapi akhirnya Koran Kampus itu disetujui diterbitkan. Hingga kini masih tetap terbit. Yulizal Yunus Pemimpin Redaksi, aku Pemimpin Usaha.

Tahun 1981,kuliah setahun lagi. Aku diangkat jadi Koresponden Majalah berita Mingguan TEMPO untuk Sumatera Barat, merangkap kerja di Harian Singgalang dan Majalah Forum Keadilan. Saat yang sama Zaili Asriel jadi Koresponden Kompas, Adi Bermasa Koresponden Majalah Panji Masyarakat, Herman L, Koresponden Majalah Fokus, Alirman Hamzah koresponden Koran Pelita. Ketika semua itu aku cerita pada Rektor Sanusi Latief di rumahnya, beliau menangis terharu. ” Cita-cita bapak sudah kesampaian, bukankah bapak dulu mau kami ini jadi cikal bikal media Islam,” kataku. Ia terus meneteskan air mata.

Tahun 1995 aku bergabung dengan Majalah Berita Mingguan GATRA. Karena kesibukan itu aku hanya sesekali datang menghadiri pertemuan di Kantor Pengurus Wilayah PII di Belakang Olo. Begitu juga dengan pengurus HMI. Tak aneh jika aku tak jadi “lakon” utama di PII maupun di HMI. Aku cuma jadi pelengkap peserta saja.

Toh, aku merasa, kalau bukan karena PII, karena Sapta Sanggup Seorang Kader PII, aku takkan sukses jadi wartawan. Pekerjaan ini penuh tantangan pisik dan piskologi, moril dan materil. Menyita waktu, tenaga dan pikiran sekaligus. (Fachrul Rasyid Hf)



Al-Azhar Mesir, Mercusuar Ilmu Dunia Islam

Kota yang terletak di daerah delta Sungai Nil ini sejak zaman purba menjadi pusat peradaban dunia. Pada awal abad ketujuh, Islam menguasai Mesir di bawah komando Amr bin Ash.

Salah satu pusat intelektual yang masyhur di Kairo adalah Universitas al- Azhar. Namanya berasal dari masa Dinasti Fatimiyah yang menguasai Mesir periode 909-1171.

Menurut Ensiklopedia Islam, peletakan batu pertama Masjid Raya al-Azhar, cikal bakal universitas tersebut, terjadi atas perintah Khalifah al-Mu’izz Lidinillah (953-975). Pembangunan masjid ini tuntas pada 971. Awalnya, nama masjid tersebut bukanlah al-Azhar, melainkan Jami’ al-Kahhirah. Adapun nama al-Azhar dinisbahkan kepada gelar putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra.

Pada awalnya, kegiatan belajar-mengajar di lingkungan al-Azhar dilatari kepentingan mazhab yang dianut penguasa setempat. Namun, dalam perkembangan berikutnya institusi tersebut menjadi lembaga pendidikan tinggi. Kegiatan akademis untuk pertama kalinya berlangsung pada 975 di al-Azhar.

Pemberi kuliahnya adalah Abu hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu’man selaku qadi tertinggi Dinasti Fatimiyah kala itu.Jadwal yang lebih teratur berkat dorongan Wazir Ya’kub bin Killis atas izin Khalifah al-Aziz Billah Abu Mansur Nazzar (wafat 996 Masehi).

Saat kekuasaan beralih ke Dinasti Ayyubiyah, Universitas al-Azhar tak terlalu berkembang pesat. Ini lantaran kampus tersebut masih kuat menganut paham sebagaimana dinasti sebelumnya, Fatimiyah.

Perlahan, tapi pasti, para penguasa dan kalangan elite Dinasti Ayyubiyah berupaya menghidupkan lagi aktivitas intelektual di al-Azhar. Mereka mengundang para sarjana dari pelbagai penjuru Dunia Islam untuk datang dan mengajar di sana.

Dalam masa berikutnya, Dinasti Mamluk (1250-1517), Universitas al- Azhar sempat vakum 100 tahun lamanya. Bagaimanapun, periode ini merupakan masa yang penuh kemelut di pelbagai belahan Dunia Islam. Di timur, Baghdad porak-poranda akibat serangan bangsa barbar, sedangkan di Barat terjadi pengusiran di Andalusia.

Dalam momentum itulah, banyak sarjana Muslim dari timur dan Barat yang menyelamatkan diri ke Mesir. Tidak ada alasan untuk menunda aktivitas keilmuan di al-Azhar karenanya. Dinasti Mamluk mendukungnya dengan mengimbau para ulama agar membukukan pengajaran mereka.

Jabatan syekh atau rektor Universitas al-Azhar baru terbentuk pada 1517 Masehi. Seorang rektor al-Azhar berhak memberikan penilaian atau reputasi kepada para sarjana, guru, mufti, dan hakim. Sistem pengajaran di al-Azhar adalah lingkaran-lingkaran studi dalam masjid (halaqah), dengan syarah, diskusi-diskusi (niqasy), dan dialog (hiwar).

Sebelum tahun 1872, ijazah tidak diperoleh para mahasiswa melalui ujian, te tapi keputusan pribadi para guru dengan ketentuan yang ketat. Misalnya, untuk mahasiswa kuliah tertentu, ia di wajib kan mendampingi seorang guru besar sampai wafatnya sehingga diharapkan dapat mencapai taraf keilmuan yang setara.

Selain itu, ada pula ketentuan lain. Bilamana ada mahasiswa yang merasa mampu dalam matakuliah tertentu, ia berkesempatan mengajar dan memberikan fatwa terkait ilmu itu. Perpustakaan al-Azhar berdiri sejak 1879 Masehi dengan jumlah koleksi awalnya sebanyak 7.700 buku. (Republika)



Alhamdulillah 1000 Al-Quran untuk 2016/2017

(Laporan penutup program waqaf quran 2016/2017)

Alhamdulillah, berkah dari Allah atas upaya kita untuk mengadakan 1000 Al-Quran terjemah yang ditujukan kepada imam muda: siswa TPA, remaja masjid, siswa pesantren, dsb yang insyaallah menjadi bekal yang sangat berharga dan menjadi shadaqah jariyah untuk para mawaqif.

Pengadaan Al-Quran dapat kita selesaikan dalam bulan Ramadhan tahun ini, berjangka waktu 10 bulan dari bulan Agustus tahun lalu.

Ada banyak masukan dan kesan dari para penerima dan orang tua, salah satunya adalah rasa syukur menerima, memiliki berkualitas sejak usia dini/muda dan dapat mentadabburi Al-Quran milik sendiri.

Dari orang tua dan masyarakat berharap program ini dapat diteruskan dan diperluas manfaatnya. Untuk itu kami insyaallah akan meneruskan program ini dan mengundang para shalihin untuk ikut berpartisipasi sebagai waqif.

Biaya untuk satu set Al-Quran sebesar Rp. 50.000.

Link penggalangan terbaru https://kitabisa.com/tabunginfaq2017