Tidak ada kekerasan dalam Islam tanpa Jurisdiksi

Seorang kawan Jamaican Preacher pernah mengajukan persoalan serupa ketika dalam perantauan di Inggris, yang menjadikan saya perlu memberikan penjelasan yang bisa dipahami oleh kaean tersebut, saya sampaikan kembali semoga berguna bagi kawan-kawan yang lain.

Kekerasan yang dimaksud memang di sah kan sebagai pendekatan syariat dalam Agama, jika kita melihat Taurat / Old Testament, terdapt syariat yang keras berbuat dosa makan bertaubat dengan harakiri, jumlah rakaat dalam shalat, jumlah ibadah, dsb.

Untuk kita yang suka membaca sejarah Musa maka akan menemukan hal ini, baik dalam Opd Testament maupun kisah yang diangkat kembali dalam Al-Quran, sebagian besar ayat yang di klaim oleh orientalis sebagai hujjah kekerasan dalam Islam pada umumnya bercerita tentang Bani Israel sebelumnya, seperti ayat qisas.

Menariknya ketika risalah Nabi Isa turun, pendekatan muamalah ini jauh bertolak belakang, pendekatan lunak pun diperkenalkan, tidak salah jika orang-orang yang membaca New Testament memahami pendekatan kasih dalam risalahnya, walaupun dalam segi Ibadah masih dalam kuantitas yang cukup besar.

Kemudian apa menariknya Islam, ini pertanyaan berikutnya yang ditanyakan kawan saya, saya sampaikan yang dikukuhkan dalam Islam adalah Wasathiyah, yakni salah satunya dapat dipahami pendekatan baik keras (seperti kaum Nabi Musa) maupun lunak (seperti kaum Nabi Isa) hanya bisa dijustifikasi dalam bentuk pelembagaan keadilan, semua pendekatan tsb hanya bisa disahkan dalam yurisdiksi, keputusan ketua, pemimpin, sidang hakim, jumhur dan musyawarah.

Mengakui kekerasan dalam Islam sama seperti mengakui kekerasan dalam pendidikan, dalam pengasuhan anak, dalam keseharian, yang realita ini selalu ada tapi tidak pernah diakui, setidaknya begitu saya melihat peradaban bangsa di eropa.

Mereka memaki, mereka menghardik anak-anak juga tidak jauh lebih baik daripada kita disini, tetapi mereka tidak pernah mengakui kekerasan dalam pendidikan mereka, setidaknya dalam konsep legal dan akademik mereka.

Pun begitu hendaknya kita sebagai Muslim, maupun sebagai entitas lainnya.

Mengakui keerasan itu seperti mundur beribu langkah ke dalam zaman batu yang belum menerima risalah, seperti narasi Kartini “Habis gelap terbitlah terang”, maka apa yang jelas terlihat dalam terang sulit disampaikan jika obor selalu dibiarkan padam dalam kegelapan.