Merevitalisasi MUI & LKAAM Sumatera Barat:
restrukturisasi & reformasi, sebuah opini dimasa krisis
Oleh Arif Abdullah A *
Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau dalam krisis, pun sama dengan banyaknya organisasi nirlaba lainnya, kesemuanya akan menghadapi kendala terhadap Permendagri No. 39 Tahun 2012, yang artinya tidak ada lagi dana hibah top to down yang diberikan oleh pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah kepada lembaga atau organisasi diluar pemerintah.
Walaupun sebenarnya kebijakan ini tidak sepenuhnya tepat, mengingat dana hibah APBD ataupun APBN banyak membiayai lembaga nirlaba karena kepentingan strategis pemerintahan juga, sepatut-patutnya dan sebijak-bijaknya ketika Permen ini ditekan, pemerintah menunjukkan goodwill untuk membantu transisi finansial lembaga tersebut, terlebih lagi ketika terdapat lembaga-lembaga sangat strategis untuk masyarakat, jika memang pemerintah tidak memiliki keterkaitan, dalam hal ini contohnya MUI dan LKAAM untuk masyarakat Sumatera Barat.
Memang permasalahan korupsi dan pemanfaatan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan seiring waktu menjadi punca dari masalah keluarnya kebijakan ini (Permen), tapi sekali lagi bukan tidak ada lembaga atau institusi yang baik, yang akhirnya terkena perlakuan pukul rata ini.
Ironi ini cukup beralasan, mengingat bagaimana dana desa digulirkan, seolah kita semua bernapas senang, tetapi sebenarnya menyimpan bom waktu yang tidak kalah sama besar dengan persoalan diatas, saya sendiri merasa ini adalah bad policy yang disepakati di waktu yang tepat, wallahualam.
Saat tulisan ini diselesaikan, solusi jangka pendek, berupa penggalangan dana dan komitmen pembiayaan sudah selesai dirumuskan oleh masyarakat, rakyat berbondong-bondong menyelamatkan lembaga yang bagi mereka menjaga marwah masyarakat, yang ternyata tidak dalam kacamata pemerintah, dan sekali lagi ini kepentingan masyarakat, tentu masyarakat bangsa ini juga yang harus menyelesaikan, apalagi ketika semua angkat tangan.
Untuk jangka panjang, sudah saatnya kita berfikir keras bagaimana lembaga ini diproyeksikan kedepannya, tidak bisa hanya sekedar memanfaatkan infaq untuk operasional, dihabiskan hanya untuk menyewa bangunan dan belanja pegawai, kita perlu lebih dari itu, kita perlu berfikir 10-20 langkah kedepan, bukan sekedar bermanfaat tetapi juga berlapis-lapis manfaat, seperti buku yang dituliskan penulis dari jawa itu.
Di era otonomi daerah, era tertib administrasi dan era hukum, langkah Pemerintah Provinsi untuk berhati-hati juga sangat perlu kita apresiasi, tidak perlu kita mengakal-akali dan bercermin buruk kepada siapapun yang menjauhi kemudharatan, yang perlu kita lakukan adalah mendukung dan membaca keadaan, kemudian mempersiapkan langkah solusi.
Ada banyak langkah solusi, strategis, efisien, jangka panjang yang dapat dilakukan, tapi kita semua sepakat kita harus berbenah, dan yang menariknya, inilah isu krisis yang naik publik pertama kali, dan jika Sumatera Barat bisa menghasilkan solusi yang konstruktif, maka inilah solusi alternatif untuk permasalahan yang serupa, yang sangat bermanfaat untuk kehidupan bermasyarakat kedepannya.
Ijinkan saya sampaikan paparan solusi yang dapat menjadi alternatif, jika setuju dapat dijalankan, dan jika tidak setuju, harap-harap ada solusi yang lebih maknyus yang sesuai dengan tuan-tuan sekalian.
Pertama, sebagai lembaga yang berinisiatif, maka kita mulai dengan pemerintah daerah, walaupun jika tidak, langkah pertama ini dapat diabaikan. Pemerintah Provinsi dengan kewenangannya mempermudah registrasi pelembagaan hukum masyarakat adat – suku, masjid – surau, jikalau perlu potong proses notaris, dengan mempekerjakan notaris di kantor-kantor registrasi untuk pembuatan SK kelembagaan dalam bentuk yayasan.
Kenapa pelembagaan ini penting, karena kita akan masuk ke era tertib administrasi, bagaimana secara hukum datuk-datuk dan masjid-masjid kita bisa masuk ke ranah hukum, dan infaq sedekah yang saat ini ditertibkan oleh pemerintah? Tentu dengan payung hukum, dan payung hukum yang paling dasar dalam hal ini adalah badan hukum, tidak perlu membuat AD/ART yang sedemikian rumit, cukup pakai saja blanko yang ada, dan disesuaikan dengan mufakat dengan ninik mamak anak kamanakan.
Kedua, baik MUI dan LKAAM beralih dari organisasi formal, kepada organisasi profesional, maka perlu diadakan “seperti” rapat tahunan yang dihadiri oleh pemangku kebijakan atau stake holder secara publik, legal dan jika bisa dapat menjadi referensi akademis, bentuk konferensi sangat efektif, sehingga aktifitas MUI berangsur dari satu konferensi ke konferensi lainnya, bagaimanapun juga tajdid dan tarjih sangat perlu untuk disosialisasikan, baik terhadap isu kontemporer maupun permurnian akidah. Juga untuk LKAAM berangsur dengan pola yang sama berjalan dari satu mufakat gadang ke mufakat gadang yang bisa diinisiasi sekali atau dua kali setahun, berpindah dari satu luak ke luak lainnya, dari satu koto ke koto lainnya. Inovasi pembangunan masyarakat adat perlu dijadikan good sample dan dikloning oleh masyarakat adat lainnya, dengan ini seperti sekali tepuk dua lalat; masyarakat adat terakui secara hukum dalam payung LKAAM, dan dengan konferensi ini setahap demi setahap memajukan cadiak pandai untuk maju ke konferensi mufakat sebagai Muallim, diakui sebagai cendekiawan.
Perlu dibedakan posisi MUI-LKAAM dengan Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dsb, jika Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama adalah ormas dengan keanggotaan perorangan, yang juga mengisi dari MUI maka MUI lebih layak disebut asosiasi, disusun dari himpunan ormas yang ada, sehingga kegiatan yang paling efektif adalah pertemuan antar ormas tersebut. Begitu juga LKAAM, simpul massa ada di organisasi paling kecil dari LKAAM yakni suku bukan anggota, yang saat ini harus diakui lemah dalam hukum formal, atau dengan kata lain tidak diakui secara kelembagaan memiliki satu kekuatan hukum.
Ketiga, memperkuat grassroot atau akar rumput, dengan memfasilitasi keanggotaan ormas, lembaga – institusi, masjid, juga perguruan dan madrasah. Masalah iuran menjadi perkara setelahnya, tentunya ditetapkan yang tidak memberatkan, yang konsekuensinya MUI sebagai lembaga penaung perlu memberikan pembekalan dan penguatan lembaga yang dinaunginya yang sifatnya sukarela, menurut nan patuik. LKAAM juga merevitalisasi perannya di grassroot, dengan secara nyata meminta dukungan suku-suku yang ada (sudah lama hilang dari kita lambang-lambang marawa suku), yang tentunya dengan keanggotaan, yang menariknya tentu akan ada diskusi sampai keorganisasian yang mana dapat bergabung, intuisi saya mengatakan mari kita mulai dari suku, dan diperwakilkan oleh nagari ataupun luak, melihat perkembangan partisipasi kedepannya.
Keempat, merasionalisasi peran infaq shadaqah sumbanga, lazis dalam MUI dan LKAAM, yang secara Undang-Undang transparansinya perlu dilaporkan ke lembaga yang ditunjuk negara, dalam hal ini BAZNAS. Di banyak negara maju, sedekah yang mereka sebut dengan charity hampir menjadi pendanaan alternatif yang dilegalkan oleh pemerintah, bahkan di inggris skema pendanaan charity ini mendapat dukungan sebagai pembiayaan yang distimulus oleh pemerintah dengan 25% dari setiap sumbangan yang dilakukan oleh masyarakat. Tentunya kita belum sampai kesana, sehingga cukup sampai pendanaan alternatif ini sebagai pembiayaan alternatif, bukan pembiayaan pokok yang sudah ditutupi oleh sistem iuran keanggotaan diatas.
Keempat poin tersebut rasanya tidak berlebihan untuk dicoba, tentu sesuai atau tidak ikut selera dari tuan-tuan sekalian, akan tetapi terlalu naif jika kita mencukupkan dan tidak mencoba merevitalisasi dan berharap pada kondisi yang akan bersahabat.
Hanya kepada Allah kita memohon diberikan jalan keluar.