Untuk kesekian kalinya, umat Islam dan bangsa Indonesia berduka. Kamis jam 06.15 (16/3) di kediamannya, Malang, Al-Mukarram Dr. KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999 -2009) berpulang ke haribaan Allah Swt, menyusul pendahulunya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Air mata pun mengalir mengiringi kemuliaan jenazah sosok humanis ke peristirahatan terakhirnya, di pemakaman keluarga, Komplek Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Kukusan Beji, Depok.
Beberapa jam, bahkan beberapa menit setelah informasi kewafatannya menyebar luas, bermunculan berbagai ragam kesaksian publik di media sosial baik dalam bentuk infografis maupun tulisan pendek dari beberapa tokoh dan masyarakat umum tentang sosoknya yang fenomenal. Rerata kesaksiannya seputar profilnya sebagai ulama mumpuni yang memiliki kedalaman ilmu, kelihaian retorik, dan sense of humor yang tinggi. Almarhum juga digambarkan sebagai tokoh pejuang keragaman yang konsisten memegangi prinsip dengan sifat-sifat lembutnya khas NU. Sehingga tidak heran jika Ketua Umum PBNU saat ini, KH. Said Agil Siraj, menyebut almarhum sebagai orang yang pantas menggantikan posisi Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU saat itu.
Dari sekian banyak ulasan di media, satu hal yang cukup menarik dari sosok alumni Gontor ini adalah kontribusinya terhadap harmoni dan kedamaian dunia. Kyai Hasyim sangat dikenal di dunia internasional. Bahkan saat serangan WTC 11 September 2001, dimana Amerika mengarahkan telunjuknya kepada dunia Islam, dan menangkap serta menghukum kelompok-kelompok Islam yang diduga terlibat dalam serangan tersebut, Kyai Hasyim berani mengatakan bahwa bukan Islam yang jadi problem, tetapi sekelompok kecil orang yang memiliki ideologi keras untuk merusak citra Islam.
Sebagaimana dimuat di laman www.nu.or.id (NU Online), kiprah Hasyim tersebut sangat nampak. Meski posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan atas peristiwa WTC, hal tersebut bukan berarti persoalan berhenti sampai di situ. Dalam kontek ini, Kyai Hasyim mengambil peran penting untuk memberi pemahaman tentang masyarakat Islam Indonesia kepada dunia internasional. Menurutnya, dunia internasional dipandang perlu mengetahui Islam di Indonesia yang tidak setuju agama dijadikan dasar tindak kekerasan. Sehingga, Kyai Hasyim memandang penting untuk membangun komunikasi dengan dunia luar secara intensif, tak terkecuali dengan Negeri Paman Sam.
Atas inisiatifnya tersebut, Kyai Hasyim lalu diminta datang ke AS untuk menjelaskan bagaimana pemahaman masyarakat Islam Indonesia terhadap agamanya. Dia kemudian memaparkan secara jelas dan tegas terkait peta dan struktur Islam.
“Saya gambarkan kepada pemerintah publik AS bahwa umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Kyai Hasyim seperti dikutip oleh NU Online.
Begitu pula terkait kelompok hard liners (garis keras), Kyai Hasyim menyarankan agar AS tidak menggunakan sikap respresif. Solusi yang ditawarkannya yaitu melalui pendekatan sosio-kultural. Pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving masih lebih tepat dan mengena daripada dengan cara-cara kekerasan. Karena kekerasan akan menimbulkan benci dan dendam yang pada akhirnya dapat memperbesar kekerasan baru yang tidak pernah selesai. Dengan demikian, gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama dan Tuhan secara perlahan akan dapat diatasi atau bahkan hilang.
Bukan sampai di situ, Kyai Hasyim juga terlibat aktif dalam Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian (World Conference on Religion for Peace/WCRP) ke 8 yang berlangsung di Kyoto, Jepang. Dalam event tersebut, Kyai Hasyim terpilih sebagai salah satu dari 9 presiden WCRP. WCRP merupakan organisasi lintas agama yang menghimpun tokoh-tokoh berbagai agama dari seluruh dunia dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Pada pertemuan di Kyoto, hadir 600-an tokoh ragam agama dari 100 negara di dunia. WCRP sendiri didirikan pada 1970 dan saat ini berpusat di markas PBB New York.
Beberapa program WCRP adalah menghentikan perang, mengakhiri kemiskinan dan melindungi bumi. Mereka telah berupaya untuk membantu upaya rekonsiliasi di Irak, menjadi mediator dalam perang antar suku di Sierra Leone serta membantu jutaan anak yang terinfeksi virus HIV di Afrika. Kyai Hasyim dipilih karena perannya dalam pengembangan perdamaian baik di tingkat nasional maupun internasional. PBNU telah menggelar International Conference of Islamic Scholar (ICIS) pada 2004 dan 2006 yang dihadiri peserta dari 53 negara. PBNU juga membantu resolusi konflik di Thailand Selatan.
Melihat peran Kyai Hasyim di atas cukup lah menggambarkan bahwa almarhum termasuk tokoh yang sangat diperhitungkan dunia. Tentu masih banyak peran-peran lain beliau, seperti dalam dunia pendidikan, pertemuan para tokoh sufi dunia, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, bukankah Kyai Hasyim hanyalah seorang tokoh yang dilahirkan dari pendidikan dalam negeri (lokal)? Kenapa “produk lokal” justru mampu berekspansi ke kancah global? Bukankah tidak sedikit “produk-produk” global, lulusan-lulusan universitas terkenal di Amerika, Eropa atau negara maju “hanya” menjadi tokoh lokal, bahkan tidak menjadi siapa-siapa?
Pertanyaan tersebut cukup menggelitik mengingat oleh sebagian kita masih meragukan “produk-produk” lokal untuk bisa tampil di dunia internasional. Ya, Kyai Hasyim merupakan salah satu pengecualian. Meskipun beliau dididik murni di dalam negeri, misalnya mulai dari MI, MTs, MA, Pesantren Gontor, pesantren salafiyah NU, dan IAIN, faktanya beliau justru menjadi tokoh dalam bidang kerukunan dan perdamaian dunia. Kira-kira faktor pendukung apa saja yang menjadikan Kyai Hasyim mampu berkiprah di dunia internasional. Ada beberapa faktor menurut hemat saya, diantaranya:
Pertama, kapasitas pribadi yang mumpuni, baik secara intektual, emosional, maupun spiritual. Siapapun akan menjadi apapun semuanya terpulang pada kapasitas dirinya. Kyai Hasyim yang dibesarkan murni dari pendidikan lokal mampu membuktikan bahwa “kedisinian” tidak menjadi penghalang untuk menembus batas prestasi level dunia. Anak pesantren yang dulunya hanya belajar ngaji kitab kuning dan mengarungi wisdom pesantren bisa menjadi “amunisi” dalam menaklukkan bentangan dunia yang sangat luas. Plus Kyai Hasyim pernah digembleng di pesantren Gontor untuk mendalami bahasa Arab dan Inggris sebagai modal penting kesuksesannya kelak, dan menjadi jendela bagi cakrawala kebesarannya hingga akhir hayatnya.
Kedua, sejak muda, Kyai Hasyim adalah aktifis organisasi. Di lingkungan NU pernah menjadi ketua ranting hingga memegang posisi puncaknya sebagai ketua PBNU. Demikian juga secara politik posisi beliau pernah menjadi anggota parlemen dari partai PPP, bahkan pernah menjadi Cawapres Megawati, meski tidak berhasil, dan sampai hembusan nafasnya yang terakhir beliau masih menjabat sebagai anggota Wantimpres. Keaktifannnya di Ormas dan di Parpol menjadikan dirinya makin matang dalam pandangan, sikap, dan perilaku sosialnya. Di lingkungan NU, Kyai Hasyim adalah tipe organisatoris yang handal, memiliki sikap disiplin dan pemahaman yang bagus dari sisi manajemen. PBNU di tangannya mengalami perubahan besar, khususnya dalam penataan manajerial yang sebelumnya kurang tertata di zaman Gus Dur. Dari sinilah bagaimana Kyai Hasyim mampu merancang, menyusun, memenej, memimpin, dan mengambil peran dalam berbagai problem solving keummatan, sehingga mengantarkannya sebagai sosok tangguh dan sukses.
Ketiga, jabatan puncak selama dua periode sebagai Ketua Umum PBNU, Organisasi Masyarakat (Ormas) terbesar dengan jumlah anggotanya sekitar 70 juta orang, tidak dapat dipungkiri yang dapat membuka jalan lempang kariernya di dunia internasional. Sebagai pemimpin tertinggi dari jamaah Nahdhiyyah yang tersebar di seluruh pelosok nusantara dan mungkin terbesar di dunia, menjadi sosok penting, baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi, baik lokal, nasional, maupun internasional. Ormas Nahdlatul Ulama (NU), adalah Ormas Islam yang paling seksi secara politik, sehingga daya magnetnya cukup tinggi. Siapapun yang memegangi pimpinan puncak akan menjadi daya pikat dari banyak golongan, termasuk dunia internasional yang berkepentingan, baik dalam dunia pendidikan, maupun kedamaian dan kerukunan. Politik nasional tidak akan pernah melupakan peran Ormas besar NU, selain tentu saja Muhammadiyah. Demikain juga di kancah internasional, NU sangat diperhitungkan karena dapat berkontribusi memberikan gagasan dan perannya untuk harmoni dunia.
Keempat, corak paham dan keberagamaan Kyai Hasyim adalah jalan Nahdliyyah, yaitu Islam jalan tengah, Islam yang menjunjung tinggi moderasi, Islam rahmatan lil ‘alamin. Model Islam nusantara ala NU yang diperjuangkan Kyai Hasyim telah membuktikan bahwa agama dapat berdialog dengan tradisi, sehingga agama tidak dalam posisi berseberangan atau berhadapan dengan kultur masyarakatnya. Pandangan Islam yang membawa rahmat yang diusung Kyai Hasyim di level lokal dan interrnasional seakan menjadi penawar di tengah berkecamuknya perang antara agama dan politik di negara-negara Timur Tengah. Dunia Islam merindukan Islam ramah, bukan Islam marah, yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia. Tingginya ancaman terorisme di level lokal, regional, dan internasional, Islam ala Indonesia yang dijaga ketat oleh NU dan Muhammadiyah mengantarkan Kyai Hasyim sering tampil di level dunia untuk menjelaskan tentang Islam damai seperti pengalaman Indonesia.
Berdasarkan keempat hal tersebut, dapat ditarik garis tegas bahwa kenapa Kyai Hasyim yang murni “produl lokal” pada akhirnya mampu berbicara di kancah internasional. Hal ini membuktikan bahwa “produk lokal” tidak boleh dipandang sebelah mata karena faktanya mampu menjadi rujukan dunia internasional. Dalam banyak kesempatan, para pemimpin negara Islam, seperti Bosnia, Rusia, Pakistan, dan lain-lain pernah dengan terus terang ingin belajar dengan Indonesia. Berkali-kali tokoh dunia Barat menyampaikan bahwa Islam Indonesia merupakan masa depan dunia Islam. Dan itu salah satunya diperjuangkan oleh sosok fenomenal Kyai Hasyim Muzadi yang saat ini telah meniggalkan kita semua.
Terima kasih pak Kyai atas inspirasi, dedikasi dan wisdom-nya yang engkau persembahkan untuk bangsa ini. Wallahu a’lam.
Dr. Thobib Al-Asyhar, M.Si.
Anggota Komisi Infokom MUI, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia.