JAKARTA— KH Miftah Maulana Habiburrahman atau lebih dikenal dengan Gus Miftah adalah seorang dai kondang yang dikenal dengan gaya berdakwahnya yang nyentrik. Ia menyebut bahwa menjadi seorang dai adalah pekerjaan mulia karena mempromosikan akhirat dengan caranya masing-masing.
“Jika ingin menampilkan Islam sebagai sebuah agama yang menyenangkan, maka jadikan akhlak dan perilakumu menjadi menyenangkan, makanya saya menyebut dai itu sebagai SPA (sales promotion akhirat),” kata gus miftah dalam Program Ngopi (Ngobrol Pintar di MUI), yang tayang di TV MUI, Rabu (15/7).
Gus Miftah dikenal dengan cara dakwahnya yang berkeliling didalam klub malam bersama para kelompok orang yang terstigma buruk karena pekerjaannya di dunia hiburan malam.
Dia menyangkal bahwa setiap pekerja malam adalah orang-orang yang hidup tanpa iman dan tak percaya Tuhan.
Menurutnya, setiap Muslim pasti memiliki iman hanya saja ketebalannya yang berbeda-beda. Seseorang yang masih tergetar pintu hatinya ketika dibacakan ayat-ayat Allah, maka dianggap masih memiliki iman walaupun hanya setebal helai rambut.
“Ini mereka beriman tapi mungkin toh ketebalannya berbeda-beda. Imam Al-Ghazali menyebut Iman itu seperti angin, kadang kencang kadang pelan,” kata dia.
Pimpinan pondok pesantren Ora Aji ini juga membagikan pengalamannya dalam mengajak orang lain memeluk Islam. Dia menyampaikan bahwa dirinya mampu diterima banyak kalangan lantaran cara Gus Miftah dalam berdakwah selalu terkesan menyenangkan dan menyajikan Islam sebagai agama yang sangat moderat dan damai.
Gus miftah juga berpesan kepada para pendakwah agar berhati-hati dalam berperilaku, karena setiap tindak tanduknya akan dilihat dan dinilai masyarakat. Terlebih karena pendakwah akan membawa branding Islam kemanapun, jadi penilaian masyarakat akan agama Islam juga bergantung pada sikap dan perilakunya.
Dia menyebut, wajah seorang mualaf ketika masuk Islam itu tergantung pintu masuknya, jika pintu masuknya keras maka akan menjadi Islam yang keras, kalau pintu masuknya marah maka Islam mereka akan penuh dengan kemarahan.
“Kalau pintu masuknya lebay maka Islamnya akan penuh dengan kelebayan, tapi kalau pintu masuknya adalah ramah maka akan menjadi Islam yang ramah,” tuturnya. (Nurul/Nashih)