Oleh KH Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Jawa Timur
Pada Sabtu, 12 Juni 2021, saya pertama kali ke RSI Jemursari Surabaya. Saya melakukan test swab antigen dan dinyatakan positif. Pihak RSI Jemurasri meminta saya isolasi di sana, namun saya meminta isolasi mandiri saja dan diizinkan dokter. Sebelum pulang ke rumah, saya melakukan foto rontgen dan ketika itu belum tahu hasilnya.
Dua hari kemudian, Senin 14 Juni 2021, saya kembali datang ke RSI Jemurasri karena nyeri di kepala yang tak tertahankan. Swab PCR saya menunjukkan hasil positif. Saya pun kemudian melaksanakan foto rontgen untuk kali kedua.
Setelah dua pekan, seorang perawat menemui saya dan menanyakan aktivitas saya selama dua hari (Sabtu-Senin) itu. Saya menjawab hanya isolasi mandiri dalam rumah. Perawat ini datang sambil membawa hasil foto rontgen dua kali. Ternyata di dada saya penuh bintik hitam, saya merasakan napas yang berat, dan memerlukan ventilator. Perubahan dalam dua hari ini berlangsung cepat dan drastis. Beberapa fungsi paru-paru saya menurun dan mengarah ke gagal napas.
Saya merasakan napas yang putus-putus. Bahkan untuk sekadar membaca satu ayat pendek di juz ‘Amma, saya harus mengambil napas dua kali. Jujur, virus Covid-19 ini sangat mengganggu paru-paru. Saya bersyukur para dokter dan perawat terus memantau kadar saturasi oksigen sehingga stabil di angka 96-98. Saya tidak putus-putus mengucapkan alhamdulillah karena Allah SWT telah memberikan kesempatan melewati proses berat ini.
Dari sini saya sadar, mungkin ini yang dituduhkan banyak orang tentang di-Covid-kan atau di-Corona-kan. Sebab, setiap kali masuk rumah sakit, apalagi dengan penyakit bawaan (comorbid), tiba-tiba menjadi positif Covid-19. Sebelumnya biasa-biasa saja namun ketika masuk rumah sakit langsung Covid-19. Tuduhan seperti itu kurang berdasar sekaligus jahat terhadap kerja ikhlas tenaga medis.
Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat para dokter menentukan penyakit berdasarkan bukti medis. Hampir setiap hari darah saya diambil untuk masuk lab, tensi darah saya dipantau tiga kali sehari, dan harus menjalani tiga kali foto rontgen. Sedangkan kita yang awam kerap menuduh macam-macam tanpa bukti dan hanya dugaan. Dalam hal ini kita dihadapkan dengan dua ayat Alquran yaitu:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Mahmengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs Yūnus: 36)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 36)
Saya tidak berusaha membela para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Posisi mereka sejak awal pandemi sudah benar. Saya hanya mengajak agar kita lebih pandai menilai kerja-kerja ikhlas mereka merawat pasien Covid-19. Sehingga kita tidak terus-terusan berada dalam jurang ketidaktahuan.