Oleh
Erni Juliana Al Hasanah Nasution
(Bendahara MUI, Tim Kerjasama MUI – BNPB dalam Penaggulangan Covid-19)
Pada 26 Juli 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memasuki usia yang ke 46 di tengah suasana keprihatinan yang dalam sebagai akibat pandemi Covid-19. Angka kasus pandemi yang terus meningkat menyebabkan fungsi fasilitas kesehatan kolaps, over capacity, pasien non-Covid-19 terabaikan, tenaga kesehatan kelelahan, oksigen langka, antrean panjang mobil pembawa jenazah di pemakaman menunggu giliran untuk dikuburkan, penggali kubur kewalahan, dan isak tangis keluarga terdengar dimana-mana. Yang melakukan isolasi mandiri (isoman) pun banyak yang tak tertangani dan akhirnya meninggal dunia di tempat isoman. Takziah virtual menjadi rutinitas hampir setiap hari.
Data statistik yang ditampilkan situs covid-19.go.id tidak menunjukkan tanda-tanda penurunun, bahkan kasus harian di Indonesia hampir selalu memecahkan rekor dari hari sebelumnya yang membuat Indonesia menjadi episentrum baru kasus Covid-19 di Asia. Banyak negara menutup penerbangan dari Indonesia di ataranya Filipina, Singapura, Uni Emirate Arab, Hongkong, Arab Saudi, Oman, Jepang, Taiwan, Bahrain, dan negaa-negara Eropa.
Saat ini (26 Juli) kasus positif di Indonesia mencapai angka 3.166.505, sembuh 2.509.318 dan meninggal 83.279 orang, lebih dari 584 orang di antaranya adalah ulama. Sehingga tidak berlebihan bila kita katakan 2021 ini adalah tahun duka cita bagi umat Islam.
Lantas apa yang bisa dilakukan MUI untuk umat dan bangsa? Sebagai lembaga strategis yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim di Indonesia, MUI sadar betul dengan tanggung jawabnya yang besar sebagai pelayan umat (khadimul ummah) dan sebagai mitra pemerintah (shodiqul hukumah). MUI hendaknya tidak melihat persoalan pandemi seperti yang dilihat masyarakat secara umum tapi melihatnya sebagai kejadian luar biasa yang membutuhkan upaya jalan keluar yang tidak sekadar soal urusan kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya tetapi sebagai persoalan agama, karena di lapangan sampai saat ini masih banyak terjadi pengabaian terhadap protokol kesehatan disebabkan karena pemahaman agama yang sempit. Oleh karena itu umat beragama secara umum membutuhkan bimbingan yang serius dari MUI untuk memberikan pencerahan, memberikan perspektif pemahaman agama yang mampu mendorong ke arah penanggulangan pandemi.
Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang abai, cuek, tidak mengindahkan protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah bahkan menolaknya dengan berbagai alasan, salah satunya dengan mengagap protokol kesehatan menjauhkan umat dari masjid, menganggu silaturahim, sehingga banyak di antara mereka yang tidak bersedia divaksin karena masalah ketidakpercayaan terhadap vaksin, mempersoalkan kehalalannya, dan sebagainya. Di sinilah MUI harus hadir, ulama harus tampil, turun bersama-sama umat dan pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.
MUI dengan cepat merespons kegelisahan umat khususnya yang menyangkut masalah ibadah, Sejauh ini sudah 14(empat belas) fatwa yang telah dikeluarkan MUI baik yang terkait masalah penyelenggaraan ibadah saat terjadi pandemi maupun yang terkait dalam penanggulangan wabah Covid-19 dan dampaknya. Fatwa-fatwa MUI hadir untuk memberikan panduan, tuntunan dan pedoman bagi masyarakat agar tetap bisa beribadah dengan aman dan tenang di masa pandemi. Agar masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhan daruriyahnya sesuai tujuan syariah Islam (maqashid syariah). Dalam kondisi pandemi pun kebutuhan umat akan agama (din), kehidupan (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (mal) sebagai kebutuhan daruriahnya harus tetap terpenuhi.
Dalam survei yang juga dilakukan LSI dan Indonesian Corruption Watch (ICW) selama 8-24 Oktober 2018 terungkap antara lain MUI merupakan lembaga non-pemerintah yang menduduki peringkat teratas. MUI memperoleh 73 persen tingkat kepercayaan publik. Masih berdasarkan hasil survei LSI Oktober 2018, ketika responden ditanya tentang profesi yang paling berpengaruh di Indonesia. Hasilnya, sosok ulama menjadi profesi yang paling berpengaruh untuk masyarakat dan paling didengar himbauannya sebesar 51,7 persen.
Di saat pandemi Covid-19 mendera Indonesia, berdasarkan survei dari Koalisi Warga Lapor Covid-19 dan Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU) yang dilakukan pada Juni 2020 dengan skala skor 1-5, ulama masih dipercaya sebagai sumber informasi terpercaya untuk Covid-19 menduduki posisi kedua dengan skor 3,8. Posisi pertama ditempati dokter/pakar kesehatan dengan skor 4,25, selanjutnya adalah pejabat pemerintah skor 3,73 dan keluarga skor 3,44. Sedangkan influencer/selebritas memperoleh skor 3,12 (katadata.co.id, 2020).
Dari hasil survei di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ulama masih tinggi. Perkataan-perkataan ulama masih diperhitungkan dalam kehidupan sosial keagamaan Islam Indonesia. Bahkan sebagai profesi, ulama paling berpengaruh karena identitas keilmuannya yang layak dijadikan panutan dan menjadi referensi publik dalam memilih dan mengambil keputusan tentang sesuatu hal. Modal sosial inilah yang harus di optimalkan MUI sebagai salah satu bentuk sumbangsihnya bagi bangsa ini.
Sebagai wujud kepedulian pada umat, MUI membentuk Satuan Tugas (Satgas) penanganan pandemi wabah Covid-19. MUI juga membuat gerakan nasional “penaggulangan Covid-19 berbasis fatwa MUI” ke-34 provinsi baik secara online maupun offline. Membentuk Tim nasional peduli Covid-19, sudah melaksanakan empat (empat) kali kegiatan vaksinasi secara mandiri, dan kegiatan vaksinasi bermitra dengan lembaga lain. Dan yang terakhir MUI membentuk Gerakan Nasional penaggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
MUI berkomitmen memaksimalkan kinerja penaggulangan pandemi Covid-19 bersinergi dengan semua pihak seperti BNPB dan Satgas Nasional Covid-19, TNI, POLRI, KADIN, BPKH, BAZNAS, dan kementerian/lembaga terkait termasuk dengan jejaring ormas-ormas Islam dan lembaga filantropi. MUI juga menyiapkan relawan untuk pendampingan keagamaan secara virtual pada pasien yang dalam isolasi serta menjadi konsultan tempat bertanya masyarakat juga melaksanakan pelatihan pemulasaraan jenazah.
Milad MUI yang ke-46 adalah momentum bagi MUI untuk bermunajat, bermusabah, melibatkan Allah SWT dalam setiap urusan kita. Seperti kata Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar “Kita kurang bersandar kepada Allah SWT, pada saat mengatasi pandemi Covid-19 ini kita hanya perkuat PPKM, vaksin, tidak ada nuansa imbauan Taqarruban ila Allah. Penanganan Covid-19 ini tidak akan berhasil tanpa disertai memohon dan taubatan nasuha pada Allah SWT atas perkenannya.”
Yang lebih penting lagi momentum introspeksi diri bagi kita semua, saatnya bertanya pada hati kecil kita masing-masing, kontribusi apa yang bisa kita lakukan, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil.
Suatu saat setelah pandemi ini berlalu, anak cucu kita bertanya, apa yang telah kita lakukan ketika pandemi menerjang negeri ini. Pandemi ini adalah masalah kemanusiaan melampau sekat agama, ras dan golongan, Marilah kita berpartisipasi sekecil apa pun, berkontribusi sesuai kemampuan, mematuhi protokol kesehatan, melakukan vaksinasi adalah seminimal mungkin rasa nasionalisme yang bisa kita berikan pada negeri ini. Pandemi ini hanya bisa ditanggulangi dengan kebersamaan.
Sudah menjadi tugas ulama untuk memberikan informasi yang mencerahkan, menenangkan, dan memberikan sikap optimisme kepada umat. Membangun optimisme bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya.
Tentu masih banyak hal lain yang harus dilakukan MUI untuk mengantarkan umat menjadi masyarakat yang berkualitas (khaira ummah). Di saat seperti ini umat dan negara membutuhkan pelayanan yang lebih prima (service excellent). Memenuhi dan memberi lebih dari sekadar yang dibutuhan bangsa ini dalam menghadapi pandemi. *