Feminisme kian menjadi isu fundamental yang terus digaung-gaungkan. Gerakan yang menuntut kesetaraan gender menjadi wacana sosial yang tidak habis-habisnya digalakkan. Konsep kesetaraan bukan lagi keniscayaan, hadir dalam jiwa feminis mewujud misi perubahan terhadap realitas sosial. Melalui feminisme, mereka mencoba mengorkestra ulang kerangka sosial dan abstraksi mental masyarakat dalam mematok konsep kesetaraan.
Istilah Feminisme dalam Islam merupakan “gerakan baru” dengan kecenderungan bias gender yang berlebihan. Abstraksi mental yang skeptisis dalam memandang entitas feminis dalam ruang sosial, menurut penulis, akan mengungkung seseorang dalam nihilisme berpikir. Sehingga potensi lupa pada orientasi hidup kemanusiaan sangat terbuka karena disibukkan dengan persepsi sementara.
Islam mengenal feminisme sebagai fantasi dalam ruang hampa: memperjuangkan hal yang eksistensinya memang suatu keniscayaan, an sich (Taufiq Apandi, 2015). Gerakan ini muncul sekitar 1984 di Eropa Barat yang merupakan distorsi tafsir teologis dan interpretasi tekstual keagamaan secara membabi buta. Sejauh ini, Paham ini cukup berhasil mendobrak paham keagamaan orang Islam.
Ada banyak sekali tuduhan berikut sanggahan dari paham tersebut. Penyebaran gerakan Feminisme yang brutal telah memaksa para wanita untuk berontak terhadap sebuah sistem kultural maupun struktural yang dianggap mendiskreditkan eksistensi mereka.
Salah satu pijakannya didasarkan pada adanya keyakinan Nabi Adam AS yang mempertanyakan organ vital yang terdapat dalam dirinya kepada Tuhan. Hal itu berimplikasi terhadap pencipataan Siti Hawa dari tulang rusuk Adam sendiri.
Penciptaan Hawa dari tulung rusuk Adam inilah yang diklaim cenderung menempatkan perempuan secara derivatif atau sekunder: dinomorduakan. Keberadaan perempuan tidak lebih hanya manifestasi pelengkap bagi jiwa lelaki. Oleh karena pelengkap, entitasnya bersifat instrumental dengan orientasi pragmatis. Perempuan bernilai dan berfungsi jika memiliki orientasi pragmatis di depan laki-laki.
Di lain sisi juga, gerakan feminis menyoal otoritas perempuan sebagai mujahid tafsir terhadap teks-teks kitab sebagai sumber ajaran Islam. Feminisme menganggap agama Islam tidak memberikan ruang yang sama kepada perempuan menjadi mufasir dalam menginterpretasikan teks-teks kitab keagamaan.
Menurut mereka, kealpaan perempuan sebagai mufasir berimpliksi pada dominasi instuisi dan kerangka berpikir maskulin terhadap objek turunan eksposisi yang memungkinkan adanya unsur marginalisasi perempuan di dalamnya.
Ketika gerakan feminisme masuk ke dalam Islam, gerakan ini mempunyai dampak yang cukup signifikan dan cenderung destruktif. Melalui doktrin teologis feminis, mereka mencoba mengotak-atik ulang kemantapan syariah dalam Islam. Hal ini didorong salah kaprah memaknai ajaran Islam sebagai legal doktrinal pembaharuan, di antaranya:
Terdapat reinterpretasi teks yang menyimpang. Islam sangat menjunjung kesetaraan. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Alquran surah Al-Hujarat ayat 13. Namun pamor ayat tersebut tergantikan dengan justifikasi dari ayat yang dijadikan legitimasi gerakan feminis, seperti surat An Nisa ayat 34 atau Ali Imran ayat 36. Padahal kalau dicermati lebih dalam makna penggalan ayat itu memiliki konstruksi moral yang lebih berarti dari sekadar kata-kata yang termaktub di sana.
Menurut Muhammad Asad (2016), surah An Nisa ayat 34 misalnya lafaz qawwamuna bukan berarti menjadi alasan untuk melakukan mearginalisasi perempuan, melainkan sebuah pengayoman sebagai tanggung jawab laki-laki, atau Ali Imran ayat 36, di mana harus dipahami bahwa kelahiran Maryam lebih bermakna dibandingkan dengan kelahiran laki-laki seperti yang seorang ibu dambakan pada masa itu.
Selanjutnya, kurangnya pemahaman terhadap konsep ontologis manusia. Gerakan feminis menuntuk kesamaan (equality) di semua lini, kelas, pendidikan, pekerjaan, bahkan melampaui kondisi normal biologis permepuan. Hal ini diakibatkan mereka tidak memahami kondisi ontologis yang secara kodrati melekat dalam jiwa laki-laki dan perempuan. Allah SWT Pencipta makhluk (Khaliq), memang menciptakan laki-laki “satu tingkat” di atas perempuan baik secara fisik, mentalitas, dan intelektual.
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.”
(QS Al Baqarah ayat 228).
Misalnya, terdapat penelitian yang menujukkan IQ laki-laki lebih tinggi, namun tidak dapat dimungkiri ketekunan perempuan juga melebihi, atau takaran nafsu manusiawi dengan keseimbangan tekanan birahi. Hal itu bukan mejadi alasan untuk mendomistifikasi (inferior) perempuan, melainkan sebagai suatu kondisi untuk saling melengkapi, di satu sisi juga, tanggung jawab seorang laki-laki lebih berat dalam mengarahkan, membimbing dan mengayomi.
Dari banyak tuduhan yang diberikan, setidaknya ada dua faktor, menurut penulis, yang mendikte adanya paham tersebut terus bermunculan.
Pertama, yakni faktor internal yang muncul akibat sikap skeptisis jiwa feminis. Mereka cenderung pesimis dalam memaknai entitas dan merefleksi nilai personal dalam hidup. Kenaifan dalam memaknai diri dalam tatanan sosial mengakibatkan mereka lari dan menuduh sistem struktural keagamaan yang berafiliasi secara kultural dalam hidup keseharian memarginalisasi perempuan.
Padahal kalau ditelisik, manusia yang diterminkan dengan makhluk rasional (Aristoteles, the animal that reason) dengan otodidak ditempatkan dalam kebebasan dan otoritas yang bisa dipertanggungjawabkan. Manusia hidup dalam konstelasi percaturan dinamika paham dan perbedaan. Kondisi instrinsik manusia yang demikian otonom seharusnya bisa ditaruh dalam dialektika kemanusiaan tadi menjadi ruang asosiasi kebenaran.
Kedua, faktor eksternal yang secara kultural merupakan asumsi kolektif masyarakat. Konsepsi gender tentu adalah hasil rumusan kultur masyarakat dalam memposisikan laki-laki dan perempuan. Terdapat takaran hidup di mana lini sektor sosial yang harus didominasi antara keduanya. Terlepas dari takaran tersebut, maka sanksi menyimpang akan berlaku di sana.
Gerakan feminis dalam menyikapi konsep gender masyarakat cenderung subordinatif sehingga berdampak pada destruktifikasi sistem keagamaan yang dianutnya selama ini. Sifat pesimistik dalam pergulatan gender membuat mereka memberikan tafsiran menyimpang sebagai tandingan paham baru dengan mengangung-agungkan perempuan.
Kita memang tidak bisa menampik bahwa konsep maskulin-feminim masyarakat tidak hanya hadir mengisi sistem sosial, akan tetapi membentuk normatif etik mematok seksualitas di luar manusia, seperti semiotik-linguistik, warna atau profesi. Namun kerangka berfikir yang sehat akan memungkinkan perempuan tetap survive sesuai perannya.
Bersamaan dengan maraknya dialog feminisme Islam dalam ruang-ruang dakwah, kajian akademis di kampus, dan organisasi keislaman, femisnisme harus bisa dikawal sesuai fitrah Islam. Asosiasi paham feminis jangan sampai mewujud oase perjuangan untuk mendiskreditkan agama melalui tafsiran tekstual suka-suka.
Agama Islam secara fitrah tetap mengakui adanya kesetaraan gender sebagai proses keseimbangan hidup. saat ini, dialog feminisme yang berkembang dalam Islam diharapkan bisa menafsirkan ulang konsep gender melalui perspektif Islam yang benar. ( A Fahrur Rozi/ Nashih)