Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Era Metaverse, Sikap Umat, dan Kesiapan MUI

JAKARTA— Metaverse merupakan ruang digital yang yang memungkinkan para penggunanya dapat berinteraksi dengan orang lain secara real-time dan merasakan pengalaman seperti di dunia nyata.
Bahkan implikasinya tidak hanya sosial, namun juga ekonomi, politik dan agama.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Amirsyah Tambunan, menerangkan bahwa Alquran telah memberikan peluang yang begitu luas untuk berijtihad dalam hal bermuamalah.

Dia juga menyinggung mengenai haji virtual yang diresmikan Imam Masjidil Haram, Syekh Dr Abdurrahman As-Sudais.

“Ibadah haji adalah ibadah mahdlah yang tata caranya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. Ketika sudah ada dalil qath’i, maka akan semakin sedikit ruang dalam berijtihad terlebih jika tidak memenuhi rukun dan syarat tertentu,” terang Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PP Muhammadiyah itu.

Pada kesempatan itu pula, dia menekankan kepada masyarakat agar selalu melakukan tabayun setiap menerima informasi baru.
Buya Amirsyah menyarankan gunakan teknologi dengan dua sisi. Sisi pertama, untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi kedua teknologi harus dikuasai bukan malah menguasai kita.

“Utamakan bertabayun dulu sebelum percaya dan membagikannya kepada orang lain,” kata dia yang sekaligus Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta itu.

Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pelatihan MUI Jatim, Prof KH M Noor Harisudin, menyebutkan bahwa era metaverse ini adalah pengejawantahan dari respons hadits Rasulullah tentang perubahan sosial.

Dalam hadits ini, dijelaskan bahwa setiap 100 tahun akan muncul seorang mujadid (tokoh pembaruan), termasuk yang membahas soal Metaverse.

Menurut dia, beragama di era metaverse kerap disuguhi banyak pertanyaan masyarakat melihat berbagai permasalahan yang muncul.

“Sementara, Islam yang terdiri dari tiga unsur yakni tauhid, syariah, dan akhlak itu apakah ketiga unsur ini harus tetap terpenuhi dalam realitas virtual tersebut,” ujar guru besar ushul fiqh UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.

Prof Haris juga menyuguhkan sejumlah persoalan yang kemudian mungkin muncul di era metaverse, diantaranya soal akidah, ibadah mahdlah, aktivitas neouratik sebagai perbuatan mukallaf, transaksi, dan menikah di era metaverse.

“Tentu, ini akan membutuhkan pembahasan jauh lebih rumit dan pertanyaan mendasarnya adalah, siapakah manusia di era metaverse? Dan apakah tindakan digital di metaverse juga terikat oleh nilai moral?,” pungkas Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.

Menurut Prof Haris, dalam dunia Metaverse, manusia punya identitas virtual yang maya, selain identitasnya yang nyata. “Tentu kalau merujuk Ushul Fiqh, yang dihukumi mukallaf adalah yang di dunia nyata,” ujar dia.

Dia menegakan sholat, haji, puasa, dan ibadah lainnya, yang terhitung adalah yang dilakukan di dunia nyata.

“Sementara, yang dilakukan di dunia metaverse, tidak dianggap sah karena bukan dunia yang nyata”, ujar Prof Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia.

Diskusi di atas merupakan beberapa respons yang muncul dalam Webinar Nasional “Beragama di Era Metaverse” oleh Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, pada Selasa, 22 Februari 2022 lalu.

Guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof KH Biyanto, sebagai mengaku bahwa kajian ini adalah kegiatan pertama yang diadakan MUI Jatim dalam merespons topik yang sedang ramai dibicarakan sebagai era baru dari teknologi internet.

Dia menilai tema yang dibahas kali ini sangat menginsipirasi melihat di akhir Desember 2021 muncul kabar dari Arab Saudi yang meluncurkan program haji virtual metaverse.

“Hal ini menimbulkan banyak kontoversi dari banyak kalangan. Inilah pentingnya memahami pola beragama di era metaverse agar sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasulullah SAW,” tutur Prof Biyanto dalam sambutannya.

Senada dengan hal itu, Wakil Ketua MUI Jatim, Prof KH Abd Halim Soebahar, menjelaskan bahwa acara ini merupakan respons MUI terhadap kebutuhan masyarakar untuk menghadapi peluang sekaligus tantangan di era metaverse.

“Zaman boleh berubah, tapi MUI harus tetap konsisten dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat,” ujar sosok yang juga menjabat Ketua Senat Universitas UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu. (Infokom MUI Jatim/ Nashih Nashrullah).

Exit mobile version