Tengah malam di akhir Februari 1981. Aku berdiri di atas sajadah, shalat istiqarah. Memohon kepada Allah, pilihan hidup: wartawan atau bukan. Ketika bangkit, aku melihat cahaya terang membayang di depanku. Akupun yakin wartawan adalah pilihan.
Pagi sekali aku melapor ke seniorku Muchlis Sulin (alm),Dia menyerahkan selembar telegram dari Kantor Majalah Berita Mingguan Tempo, seperti mandat penunjukkan seorang koresponden.
Sejak itu, berbekal segumpal tekad, dengan sepeda motor, hingga lima tahun kemudian aku memburu berita di dua provinsi sekaligus, Sumatera Barat dan Riau, plus Kabupaten Kerinci, provinsi Jambi. Hujan panas, siang dan malam aku lalui mengejar berita dan memenuhi dealine yang tak boleh tertunda.
Aku sadar Tuhan menolongku. Kuliah masih tersisa setahun lagi. Kakak sandaranku, usahanya sedang payah. Ibu yang mengasuh adik-adikku juga sudah tua. Ayah, sudah meninggal 1972 kala aku baru naik kelas dua Aliyah. Hidup di rantau itu bak “Menangguk angin lalu”, ujar kakak angkatku, pedagang kaki lima, memberi semangat.
Ditemani mesin ketik kecil setiap malam aku duduk di atas sebuah bangku di depan meja milik teman. Begitupun hatiku sejuk meski kamar kayu yang kusewa tanpa plafon, bila tidur siang mesti daiatas handuk terbentang.
Berita? Tak ada peristiwa dan kejadian yang terabaikan. Politik, hukum, kriminal, ekonomi dan bencana alam, semua lini aku jalani. Itu menyadarkan ku wartawan tak cukup mengandalkan panca indra.
Aku terus membeli buku. Aku datangi orang-orang pintar. Mawardi Yunus Rektor Unand saat itu, ekonom Hendra Esmara, Alfian Lain. Juga Khaidir Anwar dan Muchtar Naim sering aku datangi ke rumahnya. Buya MD. Datuk Palimo Kayo Ketua MUI, Idrus Hakimi Da. Rajo Pangulu Ketua LKAAM adalah orang yang aku rasa amat sayang padaku.
Bila senggang, berdiskusi di kantor Zahiruddin Direktur LBH, bersama A. Kadir Usman, Asma Naim dan pengacara muda kala itu. Pengusaha, dokter, guru besar Ilmu hukum, pejabat kepolisian, tentara, dan kalangan pejabat Pemda Sumatera Barat, semuanya aku datangi. Dengan mereka aku berdiskusi melengkapi diri mendukung profesi.
DBagiku sederhana alasannya.“Ayah cuma satu, Bapak boleh seribu”. Aku menimba ilmu dari mereka. Karena aku tahu, perusahaan pers itu adalah gabungan pergurun tinggi dan bisnis informasi.
Aku terus memburu berita. Berita-berita yang tak tergarap wartawan Sumatera Barat, baik karena jauh lokasinya atau karena berat medan dan persoalannya, aku garap. Begitupun, jangankan dijentik, dihardik orang pun, Inshaallah, belum pernah.
Semua itu tak membuat aku bangga. Cuma asyik dan larut saja. Dan itu membuat aku lupa, aku juga pemuda lazimnya punya waktu senggang sedikit bersenang-senang, mungkin juga merasakan kebahagian berteman wanita. Tapi kepuasanku justru kala berhasil mengungkap sebuah peristiwa membuat banyak orang tertolong dan masyarakat terbantu.
Hampir 30 tahun, kujalani profesi itu, dari Tempo ke Majalah Gatra diselingi Harian Singgalang, Majalah Zaman, dan Forum Keadilan. Dengan keringat itu aku dayung hidup keluarga dan anak-anakku bertongkat sebuah sikap,” berjalan lurus berkata benar”. Meski akibatnya, umpatan dan pujian, disukai atau dibenci, datang silih berganti, Alhamdulillah,ke empat anakku bisa bersekolah layaknya anak-anak lain.
Wartwan pakaiannya dan penampilannya seadanya. Suatu hari aku diundang bermakalah disebuh hotel ternama. Aku buru-buru menaruh sepeda motor di depan hotel itu. Eh, aku diusir satpam agar memarkir sepeda motor di belakang.
Melihat tampang rada kusam satpam mengikuti aku ke ruang pertemuan. Aku terus ke depan mebawakan makalah. Ketika keluar, dia berusaha memberi hormat. Aku mengangguk saja. Dan, kembali ke sepeda motor ku.
Yang terberat di profesi ini memang karena tak kaya. Celakanya, punya sedikit harta ditatap curiga. Bayangkan, menyumbang satu truk bata untuk gedung organisasi kemahasiswaanku, dianggap tak ada. Boleh jadi karena itu yang pernah menaruh hatipun menjauh pergi.
Maka, kepada keluarga dan anak-anakku, kutanamkan.Kalian lahir dari seorang wartawan. Jangan dendam pada keadaan.(*)