Oleh: Dr Mujahidin Nur Lc MA, anggota Komisi Infokom MUI, penulis novel best seller “Pelukan Terakhir Ibunda Aminah”
Panas matahari sedang memuncak. Cuaca seakan sedang mengamuk. Angin menghembuskan hawa panas yang membakar dibarengi sinar matahari yang menjilat-jilat permukaan bumi. Unta-unta pun merendahkan kepala dan lehernya ke tanah, berlindung dari angin yang membakar dan menghamburkan debu-debu.
Ditengah terik yang begitu menyengat Aminah, didampingi Muhammad dan Barakah siang itu meninggalkan Yatsrib sesudah berjiarah ke makam suaminya Abdullah. Beberapa lama sesudah perjalanan mereka lalui, tiba-tiba Aminah merasakan sakit yang menusuk-nusuk dada. Ia menoleh pelan ke arah pembantunya, Barakah dan berkata dengan lirih, “Ini adalah perjalanan yang panjang, wahai Barakah.”
Pada mulanya Barakah hanya terdiam. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud tuan putrinya. Dengan tersenyum simpul, ia menjawab, “Ini adalah jalan yang telah kita lewati sejak sebulan yang lalu, Tuan putriku. Aku pikir tidak ada satu pun yang berubah. Kita telah menempuh jarak dua marhalah, masih tersisa delapan marhalah lagi. Dengan kehendak Allah, kita akan melewatinya dan sampai ke Makkah dengan selamat.”
Beberapa saat suasana hening. Kafilah kecil ini kembali berjalan menyusuri gurun pasir yang tandus. Tiba-tiba Aminah merasakan sakit di dadanya semakin dahsyat dan menjadi-jadi. Sambil menahan rasa sakit yang makin tak terperi itu ia berkata kepada Barakah dengan suara sedih, “Tidak, wahai Barakah. Perjalanan ini akan menjadi perjalanan panjang yang tiada akhir.”
Pandangan matanya mulai lemah. Kepalanya pening. Kemudian pelan-pelan Aminah menoleh memandangi putranya tercinta, Muhammad SAW. Ia berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang, “Bagaimana denganmu, wahai Muhammad SAW?” sesudah mengatakan itu tiba-tiba mata Aminah terpejam pelan.
Muhammad SAW menoleh ke arah ibunya. Tatapan mata Muhammad SAW yang tajam bisa menyingkap betapa rasa sakit yang sedang diderita oleh ibunya tercinta. Tiba-tiba dada Muhammad SAW bergemuruh, hatinya merasakan kepedihan yang tiada tara. Ia mendekap ibunya kuat-kuat sambil berkata, “Ada apa, ibuku? Buka matamu dan lihatlah aku. Bicaralah kepadaku, Ibu!” Namun perempuan mulia itu tetap diam. Ia terkulai lemas dengan mata terpejam.
Muhammad SAW segera mengambil air kemudian mengalirkannya ke kedua telapak tangannya yang mungil, perlahan ia mengusap wajah ibunya, lalu ia menggapai tangan ibunya sambil mencoba membangkitkannya. Barakah yang berada disampingnya berusaha untuk membantu Muhammad SAW dengan rasa sedih yang menggelora. Namun Aminah tak juga bangkit dan tidak pula membuka kedua matanya. Ia masih terbujur di atas sekedup dengan napas terengah-engah. Muhammad SAW berteriak-teriak panik. Sedangkan Barakah menampari kedua pipinya.
Melihat Aminah terbujur dan kepanikan Muhammad SAW serta Barakah, Kafilah pun berhenti. Para tabib segera bertindak mengobati Aminah. Mereka berusaha menyelamatkan bidadari kafilah dan cahayanya yang terang. Aminah seorang figur agung yang mempunyai hati yang lembut, kecerdasan pikiran, dan keindahan jasmani.
Hati mereka teriris-iris menyaksikan Aminah dan anak kecilnya yang meratap. Sesudah beberapa lama mereka berusaha, tiba-tiba mereka terdiam. Wajah mereka pucat pasi. Dari sudut mata mereka butiran-butiran bening menetes pelan menyusuri pipi. Mereka merasakan kesedihan dan penyesalan yang sangat hebat karena tidak dapat menyembuhkannya. Mereka tertunduk diam tanpa kata, mengalirkan air mata, berpikir apa yang akan dapat mereka perbuat saat takdir Tuhan menjemput.
Ketika hati masing-masing dilanda kakalutan yang hebat, tiba-tiba Aminah terlihat membuka matanya. Wajah Muhammad SAW, Barakah, dan rombongan kafilah seketika berhias cahaya kebahagiaan. Dengan tatapan yang lembut Aminah memandangi Barakah, sesudah itu bibirnya berusaha mengatakan sesuatu disela-sela napasnya yang terengah-engah, “Muhammad SAW, wahai Barakah! Aku tinggalkan ia di bawah penjagaanmu,” ujarnya dengan nada berat.
Sesudah menyelesaikan kalimatnya Aminah kemudian menoleh ke arah putranya dan berkata dengan suara amat lirih, “Aku titipkan engkau kepada Allah, wahai anakku, Zat yang menghendakkimu sendirian tanpa ayah dan ibu semata-mata karena hal yang di ketahui oleh-Nya. Dialah zat yang Mahapemurah. Dia akan menjaga serta melindungimu dengan kasih sayang ayah dan ibumu.”
Kembali Aminah menoleh ke pembantunya. Dengan tatapan lemah ia kembali mengulangi perkataanya kepada Barakah, “Muhammad, wahai Barakah! Engkau akan menggantikanku sebagai ibunya. Jagalah ia! Kembalilah ke Makkah bersamanya dan serahkan ia kepada kakeknya, Abdul Muthalib. Bukalah kedua matamu lebar-lebar. Awasi para penjahat yang selalu berkerumunan di sekitarnya di perkampungan bani Sa’ad dan Yastrib.”
Kemudian Aminah menoleh kembali ke arah putranya, ia merasa ajalnya semakin dekat. Dengan detak jantung yang naik turun, ia berkata, “Tuhan telah memanggilku, Anakku, dan aku akan memenuhi panggilannya. Aku tidak bisa menunda lagi. Tuhan menghendaki aku berbaring didekat ayahmu, untuk selamanya, seperti yang aku harapkan. Jangan kau lupakan ibumu yang di semayamkan di tengah-tengah padang pasir. Jangan kau lupakan ayahmu yang terbaring di Yastrib. Berhentilah sejenak untuk mendoakan kami ketika engkau sedang melakukan perjalanan ke negeri Syam dengan membawa perniagaanmu yang besar, juga saat engkau kembali dari sana. Roh kami selalu bersamamu Muhammad, di saat engkau pergi dan pulang. Kami akan bahagia saat engkau berdiri di sisi kuburan, menyampaikan salam kepada kami. Ibumu dan juga ayahmu, Wahai Muhammad SAW!”
Mulut yang fasih itu tiba-tiba terkatup. Kata-kata pun terputus. Tak ada lagi suara yang penuh belas kasih. Muhammad SAW berteriak-teriak histeris. Betapa tidak kesedihan sesudah berjiarah dan menyaksikan pusara ayahnya, Abdullah ternyata bertambah dengan perpisahan yang harus ia rasakan karena kepergian ibunya tercinta, Aminah, untuk selama-lamanya. Muhammad SAW menangis tegugu-gugu membuat semua orang yang mendengarnya larut dalam mahaduka yang mendalam. Barakah yang berada disampingya tak kalah sedih dengan yang dirasakan Muhammad SAW.
Ia menangis tersedu-sedu dan menumpahkan semua air matanya ditengah gurun pasir yang tandus. Seluruh kafilah berkumpul mengitari Aminah, kedukaan merajai suasana dan menggenangkan air mata mereka. Tangisan si kecil Muhammad yang kini yatim piatu, sendiri, tanpa ayah dan ibu menghancurkan hati mereka berkeping-keping.
Sesudah kesedihan yang mereka rasakan sedikit berkurang. Mereka kemudian mengurusi jenazah Aminah. Ketika mata mereka secara seksama menyaksikan wajah Aminah mereka melihat cahaya terang, dan menemukan senyum lebar di bibirnya. Mereka bertanya-tanya tentang keindahan dan keagungan yang belum pernah mereka saksikan ini.
Setelah Barakah menciumi Aminah dengan tangis dan isak, ia membungkus jasadnya dengan kain kafan, lalu menyerahkannya kepada kafilah. Mereka pun membawanya ke liang lahat yang telah mereka persiapkan di tengah padang pasir Abwa’. Di sana, menaruh jasad suci itu, lalu menuruknya dengan tanah. Sejenak mereka berdiri di sisi depan kuburan, menangis, berdoa, dan memintakan rahmat.
Setelah itu, mereka kembali ke tunggangan masing-masing, berjalan ke kota Makkah dalam diam. Hati mereka tersayat-sayat oleh tangis si kecil yang merengek-rengek serta meminta agar di kembalikan kepada ibunya dan di tinggalkan sendirian di samping kuburannya. Barakah pun tidak berhenti meratap. Ia memeluk Muhammad SAW dengan kedua lengannya. Bersama si kecil, ia menaiki unta Aminah dan meninggalkan unta yang lain berjalan di sampingnya. Setelah meninggalkan Aminah di tengah padang pasir tanpa harapan untuk kembali bertemu, seluruh kafilah berjalan dengan hati teriris-iris. Muhammad SAW dan Barakah tangis mereka pecah disepanjang jalan menuju kota Makkah.*
Tag:
Maulid nabi, rasulullah, muhammad, ibu rasulullah, ibunda nabi, aminah, lahirnya muhammad, kota makkah, lahirnya nabi