Ini menarik, di negara mayoritas, ternyata solusi tidak berjalan dengan baik, entah kalangan yang bernegara tidak paham beragama atau sebaliknya.
Mamak saya Prof Bustanul Arifin SH dalam bukunya berjudul “Masa Lampau Yang Belum Selesai” menyampaikan adanya kemandekan evolusi dalam menyesuaikan hukum Pidana dan Perdata dengan keadaan Indonesia yang riil, yang berdasar Pancasila, Berbhinneka dan mayoritas beragama Islam.
Hal ini menjadikan hukum yang digunakan dan dipahami oleh masyarakat bisa jadi berbeda dengan hukum yang berlaku secara legal, dan ini adalah masalah besar. Perkara kemandekan intelektualitas ini bisa jadi diakibatkan kurangnya intelektual yang paham akan hal tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, jika dikalangan Intelektual saja terjadi kegersangan pemikiran seperti hal tersebut, apalah yang terjadi dikalangan awam.
Perkara seperti yang terjadi dewasa ini, kasus Ahok dan 411 di masyarakat mengikut persepsi dan pemahaman bahwa perkara ini adalah penistaan agama, dan dalam hukum dengan sangat mudah (persepsi saya) dicarikan aturan untuk lari dari persepsi masyarakat, bukan hanya karena oknum bermain, tetapi juga perundanganan yang tidak mengatur secara jelas hal ini.
Di beberapa negara yang saya amati (saya bukan ahli hukum), perkara penistaan agama sepertinya tidak bersentuhan dengan langsung dengan hukum formal, akan tetapi banyak pihak untuk menghindari kerugiaan in-material yang terlalu banyak, selalu melakukan langkah aman, yakni memberikan sanksi kepada pelaku, demi menjaga nama baik lembaga, instansi ataupun atribut non individu yang melekat kepada pelaku.
Di Indonesia, seperti yang kita saksikan, hal ini tidak berlaku, perkara berputar-putar pusing-pusing menjadi tontonan yang menghabiskan energi, entah apa maksudnya.
Berkusut-kusut seperti ini sama seperti pada umumnya yang terjadi di negara asia tenggara, tuduh menuduh, menunjuk yang kambing hitam, tidak menerima kesalahan, tidak pandai meminta maaf, dan masih bermuka jika berbuat salah, ini adalah tabiat buruk.
Jika ini adalah permasalahan karakter, karakter seperti ini adalah perkara pendidikan yang tidak selesai dari zaman Indonesia merdeka.
Jadi mengingat kisruh sosial yang coba diberikan banyak solusi oleh pemerintah tidak menjadi obat yang manjur, sepatutnya kita bertanya-tanya, kenapa perkara kecil ini dibesar-besarkan? kenapa pemerintah tidak segera menjawab MUI, kenapa aparat tidak segera merespon laporan, kenapa presiden harus lari dari massa yang datang, kenapa tiba-tiba polisi mengeluarkan helikopter untuk menyebarkan pamflet, kenapa mengambil urgensi makar dari internet, terlalu banyak kenapa artinya terlalu banyak perkara yang membentur akal logika normal.
Ketika pemaksaan logika dipaksakan oleh aparat dan pemerintah justru menjadikan pemerintah dan aparat harus menyiapkan langkah-langkah berikutnya yang kembali tidak masuk logika, dan bahkan cenderung bertindak represif pada publik, ketika ini terjadi maka menjadikan patut kita mengambil kesimpulan dan bertanya “Islamophobia atau Krisis Karakter?”, karena dua-duanya ternyata saat ini sama-sama penyakit intelektual yang beranak pinak dalam republik ini.
Harapannya, semoga kita tidak ikut tertular, lebih baik menepi sejenak.