Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Para Penyeru Kebaikan (1)

-bagian satu-

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada pada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal saleh dan berkata :”Seseungguhnya aku termasuk orang-orang yang beserah diri?” (Q.S. Fushilat : 33)

Mencermati dan mengikuti seruan-seruan kebaikan dari para penyeru, baik yang melalui media sosisal maupun elektronik tak jarang banyak kata-kata yang tak santun dan selalu begitu (berulang-ulang) tanpa peningkatan kualitas bahasa -baik lisan maupun tulis. Padahal kalau kita perhatikan petikan ayat di atas digunakan kata ahsan yang bermakna paling baik. Sementara sebagai seorang muslim kewajiban belajar bukankah sepanjang hayat? Apalagi sebagai seorang dai, maka sudah menjadi keharusan untuk meningkatkan keilmuannya, termasuk ilmu tentang komunikasi.

Selama masih hidup, maka peluang-peluang untuk meningkatkan kemampuan terbuka lebar. Masalahnya, terkadang dengan banyaknya “jam terbang” maka kesempatan menambah ilmu menjadi berkurang bahkan bisa jadi tidak ada waktu sama sekali. Apalagi ilmu komunikasi baik lisan maupun tulisan seakan tak penting. Padahal kalau kita mencermati lembaran siroh nabi kita, beliau adalah orang dengan tutur kata yang lembut dan menyentuh hati. Nah , ini pe-er buat para penyeru kebaikan untuk meningkatkan kualitas komunikasinya.

Kalau kita perhatikan kata yang digunakan alquran untuk menyeru kebaikan adalah da’a- ilaa atau yud’auna ilaa. Maka disini kemudian akan timbul kesan adanya dua “jarak”. jarak yang pertama adalah jarak antara penyeru dan dan yang diseru. Pemahaman adanya jarak ini seyogyanya kemudian melahirkan kesadaran bagi para dai untuk memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan kalam Allah dalam surat ibrohim ayat 4, “Dan tidaklah kami utus seorang utusan, melainkan dengan lisan kaumnya.” Semua utusan selalu merupakan salah seorang anggota masyarakat dimana ia akan diutus. Tujuannya tentu saja agar ia lebih mudah menjalankan misinya karena pengenalan akan sosio-kultur kaumnya.

Jarak yang kedua yang timbul dari penggunaan kata tersebut adalah jarak dengan tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas dakwah. Seorang dai sudah semestinya merasa bahwa ia pun sedang dalam menempuh perjalanan ke arah kebaikan bukan telah sampai agar timbul rasa rendah hati sehingga tidak terjebak kepada rasa sombong. Menyadari bahwa dirinya belum sampai kepada kebaikan bisa membantu dai untuk senantiasa belajar sekaligus terus menerus beramal sholeh sebagaimana tersirat dalam ayat ke-33 dari surat fushilat di atas.

Membekali diri dengan kemampuan komunikasi yang baik, pengenalan tentang kondisi sosio-kultur masyarakat serta kerendahatian bahwa antara penyeru dan yang diseru, maka keberhasilan dakwah menuju kebaikan (da’a ila Allah) insyaallah lebih mudah tercapai. Bagaimana kalau tidak? Maka para penyeru kebaikan tinggal berserah diri kepada Allah sebagaimana tersirat dari akhir ayat sebagai sebuah bentuk pengakuan bahwa hak hidayah sepenuhnya ada pada Allah. Wallahu a’lam. (j.rosyidi)

Sumber: http://www.insancendekia.org/grak/271-para-penyeru-kebaikan

Exit mobile version