Site icon Darulfunun El-Abbasiyah

Inferiority Complex dan Islam Nusantara

Cerita hari ini rada sedih. Saya ditugaskan untuk jaga satu stand Indonesia di dekat icon utama kota london, yaitu London Bridge. Para pemilik stand pameran minta ada penjaga dari mahasiswa Indonesia untuk membantu komunikasi dengan pengunjung. Ketika sampai disana, pemilik stand, yang namanya berbau Sunda, disana tampangnya terlihat tidak begitu senang begitu saya datang. Satu kawannya, seorang cewek, bertanya, “Mas ikhwan ya?”. Hah, emangnya kenapa pikir saya.

Lalu tidak berapa lama, satu mahasiswi yang akan berganti shift dengan saya mengajak bicara. “Mas, bapak itu maunya standnya dijaga perempuan”. OK lah, mungkin saya bisa ajak tukeran dengan kawan lain. Pas sudah cari2, eh ternyata ga ada yg bisa diajak tukeran. Balik lah saya ke pemilik Stand dan sampaikan bahwa tidak ada pengganti penjaga wanita. Dengan “cold blood” dia bilang, “Ya udah saya sendiri aja, Mas”.

Saya perhatikan gerak-geriknya, lho koq rada melambai!!! Paham lah saya alasan sebetulnya dibalik penolakannya. Orang macam gini biasanya baru pontang-panting cari makhluk berjenggot pas menjelang sakaratul maut, sekalian minta disolatin jenazah. Kita ga usah heran.

Lebih menyedihkankan lagi, buat transport ke lokasi acara saja secara normal sehari ini bisa habis 10 pound (silakan kalikan dengan rupiah). Koq iya membatalkan sepihak dengan alasan yang dibuat2.

Istri saya nasibnya lebih baik, meskipun nampaknya juga kurang diterima lantaran berjilbab dan bergamis lebar. Pemilik stand kain batik tempat dia berjaga kurang ramah melihat penampilannya.

Tapi satu yang ajib ya ikhwan, wanita2 bule lebih banyak menghampiri istri saya dan tanpa canggung bertanya panjang lebar tentang batik selama berjam2 ketimbang nyamperin penjaga2 dari kalangan mahasiswa yang seksi-seksi. Subhanallah. Saya heran, tapi tidak terlalu heran.

Orang-orang asli Inggris sangat ramah, jauh lebih welcome dari orang Indonesia sendiri terhadap muslim berjilbab, bercadar, berjenggot, dan bergamis. Itu pengalaman saya membandingkan hidup di Indo, Jerman, dan Inggris. Kampus saya sendiri berusaha menghindari jadwal kuliah sampai bentrok sama salat jumat, demi menghormati kaum muslimin. Kampus menerbitkan angket pertanyaan tentang waktu2 apakah Anda ingin kuliah tidak ada karena alasan relijius.

Minggu lalu pihak kampus meminta saya mengajar satu hari kuliah animasi 3D untuk bulan Juni ini khusus untuk mahasiswa PhD. Mereka bertanya, menu makanan apa yang saya inginkan setelah saya ngajar agar bisa disiapkan kampus. Saya jawab bulan Juni saya puasa Ramadhan, jadi tidak perlu menyiapkan menu buat saya. Diluar dugaan, staff kampus tersebut membalas bahwa dia tahun lalu ikutan puasa Ramadhan juga, padahal beliau non muslim.

Acara yang diselenggarakan kementrian KUKM ini kalo mau jujur, sangat membuat kita malu. Tidak satu pun acara2 begini berani menampilkan identitas kita sebagai negara muslim terbesar. Saya datang ke KBRI Jerman, selalu isinya arca-arca dan patung Bali. Sampai-sampai seorang bule muallaf Jerman ketika saya temani untuk mengurus visa Indonesia di Berlin bertanya dengan heran, “Zico, negaramu ini betulan negara muslim???”. Saya jawab, Ya.

“Kenapa ada patung-patung dewa ini di embassy kamu?” sahutnya.

Saya terdiam tidak bisa jawab. Pertanyaannya sangat menohok. KBRI yang seharusnya jadi simbol yang menggambarkan wajah utama negeri Indonesia dan penduduknya, jadi diwakili oleh gambaran tanah secuil yang orang namai pulau Bali. Dan patung2 itu bukanlah representasi penduduk Indonesia. Dan bule ini bertanya tepat di simbol tersebut.

Silakan survey, berapakah banyak penduduk Indonesia yang dirumahnya menyimpan arca Bali dibanding penduduk Indonesia yang dirumahnya menyimpan Quran? Apakah arca Bali ini mewakili gambaran mayoritas Indonesia?

Saya injakkan kaki di KBRI London, yah mirip-mirip juga nasibnya dengan KBRI Berlin. Meski saya tahu sebagian karyawan KBRI disana sudah menjalankan ibadah haji.

Inferiority complex.

Rasa malu dengan indentitas. Urusan identitas begini, saya lebih salut sama manusia yang asalnya dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Jumlah mereka bejibun di London. Mereka sukses taklukkan London. Orang-orang kaya penguasa ritel di London adalah mereka. Bahkan mereka pilih sendiri Gubernur mereka untuk London, Sadiq Khan!!!

Sukses mereka bukan dengan menanggalkan identitas mereka. Bukan.
Mohon maaf bangsaku.

Mereka ini puluhan tahun seliweran di London dengan mengenakan peci, gamis, dan wanitanya sebagian malah bercadar. Ga malu mereka dengan identitas. Sering saya melihat seorang yang saya kira dia Imam mesjid, karena air mukanya nampak seperti orang saleh dan berjenggot lebat. Ternyata dia seorang polisi, lengkap dengan pistol dan lencananya. Sejumlah petugas pemerintah di London ini ngga canggung sehari-hari bekerja dengan memakai peci. Mulai dari petugas kereta api, bis, pengatur lalin, dll.

Daerah Barking tempat saya tinggal beberapa minggu lalu lebih ganas. Cuman jarak radius 1 kilo dari rumah terdapat lima mesjid ke segala arah penjurunya. Restoran-restoran ayam “KFC” India dan dan toko2 daging halal bertebaran. Mereka tidak canggung pasang tulisan ayat Quran selebar plang Tokonya. Kadang gede2 ditulis kalimat syahadat persis didepan pintu kaca restoran. Toko daging halal dekat rumah saya unik lagi, Murattal disetel sangat nyaring di toko tersebut. Anda pernah lihat pemandangan tersebut di pasar-pasar Indonesia?

Buat salat jumat di mesjid terdekat rumah saya, saya harus tiba sejam sebelum khutbah dimulai jika ingin kebagian tempat solat didalam mesjid. Kalo tidak, pasti saya salat dihalaman mesjid, padahal mesjidnya tiga tingkat. Kalo apes, saya terpaksa ikut jumatan kloter kedua sejam kemudian.

Sembari memperhatikan tingkah bangsa kita di pameran ini, tiba-tiba saya disampiri seorang security. “Are you an Indonesian?”.. “Are you an Imaam here”. “No, I am just visitor”.

Hah, justru, sang sekuriti dengan jenggotnya dan jambangnya yang lebat itu jauh lebih pas sebagai imam dari pada saya. “Where are you come from”, tanyaku. “I was born here, but my parents came from Bangladesh”. Saya katakan dalam bahasa Bangladesh “Vallo Achi (Apa kabarmu?)”.

Kaget si Bangladesh ini dengan sapaan saya dalam bahasa ibunya. Ini emang kunci untuk mencairkan hati orang Bangladesh. Tapi saya pun ga kalah kaget. Seorang yang lahir di negara Inggris, tapi ga kagok sama krisis identitas.

“Saya malu dengan Bangladesh. Disana mesjid banyak dan azan terdengar dimana-dimana, tetapi mesjid sepi. Di Inggris, azan tidak terdengar, tapi salat jamaah di mesjid selalu penuh”.

“Sialan!!!” pikir gw dalam hati. Itu mah Indonesia banget.

“Muslim Indonesia jauh lebih baik dari Muslim Bangladesh”, ujarnya penuh semangat. Tetes air segede kepala turun dikepala saya, persis kayak Nobita diceramahin Suneo.

Puas lihat gonjrang-gonjreng, tari-tari, dansa-dansi, dan segala aksi ala Guruh Soekarno Putra di pameran Indo, seorang turis mendekati saya, “Are you Indonesian?”. “Yes”, I said.

“Apakah acara seperti ini rutin diadakan setiap bulan?”, tanyanya. Setelah menjawab pertanyaannya, saya balik bertanya, “Where are you come from”. Dijawab, “Saudi!”.

Oh great, mari kita buka kunci hati orang ini. “Ah, takallamta bi lughatil arabiyah (Jadi kamu berbicara dengan bahasa Arab)”.
“Naam”.
“Fushah (Fasih dalam Bahasa Arab Asli)?”, tanyaku.

“Aiwah”, katanya.

Benar saja dia terlihat senang ada orang Indo bicara dalam bahasa dia. Celakanya dia mulai menyangka bahasa Arab saya level native. Lalu dia bicara dengan cepat dan bertanya macam2. Untung dia pakai bahasa Arab asli. Umumnya kawan-kawan kami dulu orang-orang Arab Maroko dan Aljazair bicara dengan bahasa arab dialek darijah atau dialek alien lain.

“Apa rencanamu jika selesai kuliah disini nanti?”, katanya

Saya balas, “Orang-orang Indonesia butuh orang seperti kami sebagai pengajar dalam bidang komputer dan sains”. Dalam hati gw mikir nasibnya Dr. Warsito, Ricky Elson, dan jenius2 lain yang harus kick ass dari Indonesia, ato tidak kudu ngajar di mana aje ada kampus yang metromini lewat didepannya. Tapi udah telat rasanya kalau mau coba eksis di jalur artis.

“Nak, apakah kamu sudah mendakwahi orang-orang disini?”, katanya. Wah, pertanyaan berat ini. Saya jawab sebisanya terkait kegiatan kaum muslimin Indonesia di London.

Orang seperti kamu harusnya ngajar di Saudi. Allah akan memuliakanmu. Negara kami akan sangat memuliakanmu. Saya berdoa semoga kuliahmu dan istrimu segera selesai dan bisa bermanfaat bagi bangsamu. Tidak lama beliau pun pamit.

Lalu menjelang maghrib, tibalah waktunya pulang. Security Bangladesh itu menghampiri, “Brother, will see you again tomorrow?”.

“I will, Insha Allah”. Dan beliau pun nampak senang.

Saya habiskan sisa hari berdua istri melihat-lihat London Bridge yang indah ini dengan lampunya yang warni-warni. Malamnya bahkan jembatan ini nampak jauh lebih indah.

Ternyata, tidak perlu krisis identitas untuk dihormati orang. Bahkan waktu kita malu dengan identitas bangsa, itulah nampak mental asli kita sebagai negara bekas jajahan.

Exit mobile version