Secara etimologi, lafazh i’tikaf berasal dari bahasa Arab yaitu ‘akafa yang memiliki makna al-hasbu atau memenjarakan.
Merujuk pada pengertian etimologi di atas, i’tikaf merupakan ibadah penyerahan diri kepada Allah dengan cara memenjarakan diri di dalam masjid (berdiam diri), dan menyibukkan diri dengan berbagai bentuk ibadah yang layak dilakukan di dalamnya.
Meskipun para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf, dikarenakan terdapat perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf. Namun, secara terminologi i’tikaf dapat diartikan berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan dengan tata cara tertentu disertai dengan niat.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan, akan tetapi waktu yang paling utama adalah dilakukan ketika bulan Ramadhan.
Terdapat beberapa dalil di dalam Alquran maupun hadis yang berbicara mengenai i’tikaf. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 125.
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud.”
Pada ayat 187 masih di al-Baqarah, Allah berfirman:
…..وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ ….
“…..Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…..”
Ayat di atas terdapat penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah tidak bercampur dengan istri. Hal ini dikarenakan sedang beri’tikaf yang merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.
Sedangkan dalil lain yaitu hadis, yang diriwayatkan dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah RA, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hukum Melakukan I’tikaf
Ditinjau dari hukum asalnya, i’tikaf adalah ibadah yang sunnah (mustahab) dilakukan. Hal tersebut merujuk pada sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas, para sahabat diberikan pilihan oleh Rasulullah SAW untuk melaksanakan i’tikaf. Sikap tersebut merupakan indikasi bahwa i’tikaf melihat pada asalnya tidak wajib. Namun, status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf.
Sebagaimana yang disandarkan melalui hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.” (HR. Bukhari).
Sejalan dengan hadis di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari mengatakan I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf.
Syarat dan Ketentuan Pelaksanaan I’tikaf
Secara umum, para ulama telah menyepakati bahwa dalam pelaaksanaan i’tikaf, terdapat empat rukun yang wajib dipenuhi, yaitu:
Pertama, orang yang beri’tikaf (mu’takif).
Ketetapan dari para ulama bahwa syarat dari sahnya seseorang sebagai mu’takif ada empat, yaitu Muslim, akil, mumayyiz, dan, suci dari hadats besar.
Kedua, niat beri’tikaf.
Fungsi dari niat saat beri’tikaf adalah untuk menegaskan perbedaan antara ibadah dan selain ibadah saat seseorang berdiam diri di masjid. Sebab, bisa saja orang yang berdiam diri di masjid bukan dalam rangka ibadah, misalnya sekedar duduk ngobrol dengan rekannya. Adapun niat i’tikaf yaitu:
نويت الاعتكاف لله تعالي
“Nawaitul I’tikaf Lillahi Ta’ala”
Ketiga, tempat i’tikaf (mu’takaf fihi). Ulama sepakat tempat untuk beri’tikaf adalah di masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah surah al-Baqarah 187:
…..وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ ….
“…..Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…..”
Keempat, menetap di tempat i’tikaf.
Hal yang Membatalkan Pelaksanaan I’tikaf
Berikut beberapa hal yang dapat membatalkan I’tikaf, yaitu:
Pertama, Jima’. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan pada surah al-Baqarah ayat 187 di atas.
Kedua, keluar dari masjid. Para ulama bersepakat bahwa di antara hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa adanya kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya kebutuhan mengambil makan maka diperbolehkan.
Pada bulan Ramadhan yang telah memasuki hitungan jari ini, mari untuk memaksimalkan ibadah puasa dengan melakukan I’tikaf jika hal tersebut memungkinkan. Melakukan I’tikaf tanpa meninggalkan kewajiban sehari-hari.
Jika pun dirasa belum memiliki kesempatan untuk beri’tikaf dapat memaksimalkan ibadah lainnya di bulan Ramadhan untuk meraih rahmat dan pengampunan Allah di bulan yang penuh berkah ini. Wallahu’alam.
(Isyatami Aulia/Fakhruddin)