JAKARTA — Selain kebutuhan mendesak karena adanya wabah Covid-19, Fatwa MUI terbaru tentang pemanfaatan harta zakat, infaq, sedejah untuk penanggulangan wabah virus Covid-19 muncul karena lahirnya pro kontra terkait pemanfaatan zakat di bangka belitung beberapa waktu lalu. Saat itu, penyaluran zakat di tengah Covid-19 khusus untuk kalangan Muslim ditengarai diskriminatif dan intoleran. Padahal, tutur Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH. Asrorun Niam Sholeh, pandangan seperti itu tidak tepat.
“Syarat mustahiq itu harus muslim iya, itu bagian dari ibadah mahdlah, maka ketika orang mempermasalahkan syarat mustahiq di dalam konteks zakat itu untuk muslim, kemudian dikaitkan dengan diskriminasi dan intoleran, tentu tidak tepat,” ujarnya saat mengisi MUI Dakwah Online, Senin (05/04) di Zoom.
Meski begitu, dia melanjutkan, zakat pada prinsipnya bisa dioptimalkan untuk solusi masalah kontemporer. Untuk masalah kesehatan misalnya, zakat bisa digunakan sebagai langkah preventif penyediaan masker bagi orang yang kesulitan memperoleh masker.
Peruntukan zakat sendiri, ujar dia, terbagi menjadi dua yaitu personal dan untuk kemaslahatan umum. Zakat untuk personal atau bersifat khusus itu tentu peruntukannya terikat dan dikhususkan untuk Muslim saja. Sementara zakat untuk kemaslahatan umum selain menjangkau Muslim, juga bisa mengjangkau kalangan non-muslim.
“Untuk yang bersifat khusus, maka dia terikat, dia harus muslim dan masuk kategori salah satu di antara delapan asnaf itu. Untuk kepentingan penyediaan masker, boleh tidak? Boleh. Untuk kepentingan kuratif boleh tidak? Boleh,” katanya.
Kiai Niam menekankan, etos keagamaan justru hadir untuk memberikan solusi permasalahan itu. Ketika zakat tidak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan individu, zakat masih bisa digunakan untuk asnaf yaitu fii sabilillah. Pengertian fii sabilillah ini diperluas sehingga menjangkau semua kalangan tanpa terkecuali.
“Ketika tidak mungkin untuk kepentingan pemanfaatan yang bersifat individu, bisa menggunakan asnaf yang lain yaitu fii sabilillah,” katanya.
“Ini kemudian ada perluasan pengertian fii sabilillah, apakah keluar dari koridor pandangan foquha (ahli fikih)? Tidak, ini soal bagaimana memberikan tafsir yang lebih dan kontekstual yang tetap memiliki transmisi dan juga sanad keilmuan di dalam koridor penetapan hukum Islam,” tegasnya. (Azhar/Din)
Leave a Reply