Tunisia, Gaya Hidup, dan Demokrasi

Thobib Al-Asyhar
(Liputan Perjalanan Luar Negeri)

Tunisia adalah negara demokrasi berbentuk republik. Sekitar 98% penduduknya beragama Islam dan Islam sebagai agama resmi negara. Namun, baru sekitar 8 tahun pasca lengsernya Ben Ali dari presiden, publik Tunisia berani menunjukkan identitas keislamannya.

Kebijakan Ben Ali memang kontroversial. Orang menyebutnya sebagai tokoh sekularisme Tunisia. Salah satu yang dilarang di ruang publik di masa kepemimpinannya adalah penggunaan hijab bagi wanita. Hijab dianggap sebagai salah satu bentuk identitas kuno yang melawan arus modernisme Tunisia. Tunisia adalah negara bekas jajahan Perancis yang kulturnya kental dipengaruhi oleh Barat. Bahasa resminya Perancis dan Arab.

Kini, Tunisia sedang menatap masa depan yang lebih cerah. Mereka saat ini sangat aktif membangun infrastruktur di negaranya, seperti Indonesia. Mimpi lama mereka “sederhana”, ingin menjadi negara muslim modern, demokratis, toleran, dan maju seperti tetangga dekatnya, Eropa.

Gaya Hidup Masyarakat Tunisia

Sebagaimana kita tahu, Tunisia adalah bekas jajahan Perancis. Gaya hidupnya nyaris me-ngopy masyarakat Barat. Bebas dan egaliter. Konon, negeri-negeri yang dijajah Perancis, selain kehilangan kekayaan material (gold), juga kehilangan identitas asli atau kebudayaannya. Negara serupa bisa disebut seperti Maroko (Maghribi), Aljazair, dan Libya.

Gaya hidup masyarakat Tunisia yang paling mencolok adalah cara mereka berpakaian dan pergaulan. Sepenglihatan saya, gaya hidup mereka tidak jauh beda dengan orang Turki (setidaknya saya pernah lihat langsung).

Orang mau mengenakan pakaian apa saja boleh. Berhijab boleh. Mengenakan niqab tidak dilarang. Berbaju casual sopan silahkan. Yang pakai tank-top juga tidak sedikit. Perempuan nyopir ugal-ugalan banyak. Cewek ngerokok di cafe-cafe dengan pakaian aduhai juga nggak kehitung. Cewek bawa anjing ke mal juga ada. Pokoke bebas. Yang penting tidak mengganggu privasi orang lain.

Bagaimana dengan dunia hiburan? Layaknya ibu kota negara, Tunis banyak tempat-tempat hiburan dan wisata. Pantai-pantai, restoran, cafe, hiburan malam banyak. Bahkan di belakang wisma KBRI, ada kawasan danau Lac. Di situ ada tempat hiburan/wisata semacam Ancol dengan berbagai arena permainan, seperti Jet Coster, kora-kora, turangga, histeria, dan lain-lain. Saat saya dan rombongan ke wisma KBRI untuk jamuan makan malam, di belakangnya terdengar teriakan cewek-cewek ABG dan histeris yang sdg ikut berbagai permainan.

Yang menarik, di sebelah tempat wisata ini ada tempat wisata danau Lac. Tempatnya sangat indah, bersih, dengan view yang sangat amazing. Banyak muda-mudi berduaan sambil menikmati angin malam.

Jadi, kalau ada yang ingin ke Tunis, tidak salah kok dijadiin destinasi. Tidak harus ke Eropa juga.  Meski jauh di utara Afrika, tidak rugi loh kalau udah sampai sini. Apalagi kalau bawa bekel dolar banyak, mau kemana juga jadi.

Praktik Demokrasi Tunisia

Sebagai negara yang bertetangga dekat dengan Eropa, Tunisia memiliki watak kehidupan masyarakat yang egaliter dan demokratis. Mereka memiliki cara pandang yang bebas, dan sangat toleran atas berbagai perbedaan. Tak terkecuali terhadap aliran dan paham keagamaan.

Konstitusi Tunisia memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Orang bebas mempraktikkan ritus agama. Yang penting tidak mengganggu ketertiban umum. Namun di sini seperti ada yang paradoks. Konstitusinya menyuruh orang patuh pada ajaran Islam. Juga presidennya pun disayaaratkan harus Muslim. Tapi di sini tidak diizinkan mendirikan partai politik atas dasar agama. Juga larangan dakwah secara terang-terangan.

Artinya, Islam di Tunisia sebatas bingkai formil. Semua praktik kehidupan keberagamaan bersifat individual. Negara dan agama memiliki wilayah yang berbeda. Meski ada Republique Tunisienne Ministere des Affaires Religieuses (Wizarat al-Sayau’u al-Diny), tapi tetap saja agama dikembalikan pada urusan individu. Masing-masing orang dilarang sok tahu dalam masalah keyakinan dan keagamaan orang lain. Meski demikian, negara tetap memfasilitasi keperluan agama masyarakat yang berhubungan dengan administrasi, seperti ibadah haji, perkawinan, dan lain-lain.

Intinya, di Tunisia itu bebas soal beragama. Saleh dan tidak saleh adalah urusan masing-masing dengan Tuhannya. Agama tidak boleh dijadikan justifikasi perilaku yang dapat merugikan orang lain. Pokoknya, agama itu sangat privat. Buktinya? Yups, setidaknya saya tidak melihat orang-orang berduyun-duyun pergi ke masjid shalat Jumat. Mereka hidupnya, nyantai and slow. Secara masjid juga jarang di kota Tunis.

Terus, apakah Tunisia mengurus pengembangan wakaf (endowment) seperti di negara-negara Arab dan muslim lainnya? Ternyata di sini tidak ada urusan wakaf. Demikian juga persoalan sertifikasi halal tidak diurus oleh Kementerian Agama setemoat. Masalah halal, berarti bicara ekonomi, bukan bicara soal keagamaan. Jadi BPJPH jangan pernah mengajukan kerjasama dengan Kementerian Agama di sini.

Thobib Al-Asyhar(Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, Kabag Kerja sama Luar Negeri Kementerian Agama).

Bagaimana dengan aturan poligami di Tunisia? Ah pasti banyak yang pengen tahu nih. Apalagi belakangan ada tersebar info-grafis kalau pemerintah Tunisia mewajibkan poligami. Tidak! Itu HOAX besar. Jangan percaya terhadap info yang viral tanpa rujukan yang jelas. Pastinya para lelaki senang sekali terhadap soal-soal seperti ini. Apalagi disertai foto-foto cewek cantik Tunisia, dengan caption-caption menantang pulak. Sekali lagi stop hoax!

Lalu apa faktanya? Yups. Tunisia adalah negara Islam kawasan Arab pertama yang secara resmi menghapuskan poligami pada tahun 1956. Saat ini, Tunisia masih merupakan salah satu dari sedikit negara mayoritas Islam yang secara hukum telah melarang poligami. Jadi janganlah pada mimpi poligami di Tunisia ya bapak-bapak ganjen. Sueerrr dah. Bahkan poligami dalam hukum positif mereka sebagai tindak pidana. Wallahu a’lam



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia