JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (26/7) genap berusia 46 tahun. Di usia tersebut, MUI telah melewati perjalanan yang cukup panjang dengan berbagai dinamika dalam menjawab permasalahan keumatan dan kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan fatwa untuk menjawab berbagai macam fenomena sosial yang berada di tengah masyarakat serta untuk prespektif Islam di Indonesia menjadi tanggung jawab yang terus-menerus di emban oleh Majelis Ulama Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, KH Asrorun Ni’am selaku Ketua MUI Bidang Fatwa memberikan tanggapannya tentang beberapa pertanyaan yang ditanyakan oleh masyarakat kepada dirinya seperti pertanyaan bagaimana Fatwa MUI ke depannya mampu merespons tantangan kebangsaan dan keislaman. KH Asrorun Ni’am menjelaskan, “Untuk pertanyaan pertama sesuai dengan pedoman penetapan fatwa ada tiga sifat Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam konteks penetapannya yang pertama adalah responsible terhadap perkembangan aktual yang terjadi di tengah masyarakat.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia dibahas dan di tetapkan untuk merespons atas perkembangan aktual dan kontemporer di tengah masyarakat guna dijadikan sebagai pedoman dan panduan.
Kemudian yang kedua adalah proaktif bila ada perkembangan mutakhir dalam aktivitas sosial kemasyarakatan dan juga perkembangan teknologi informasi komunikasi, perkembangan teknologi pangan, perkembangan teknologi kesehatan dan berbagai bidang yang terkait dengan al-ahkam al-amaliyah maka Majelis Ulama Indonesia secara proaktif melakukan pembahasan dan juga penetapan fatwa.
Ketiga adalah antisipatif bisa jadi sesuatu masalah belum terjadi tetapi ada indikasi ke depan akan terjadi, jadi ini sifatnya prediktif maka guna memberikan panduan terkait masalah yang akan terjadi Majelis Ulama Indonesia membahas dan menetapkan fatwa”.
Beberapa saat kemudian muncul pertanyaan kembali tentang bagaimana Fatwa MUI diinternalisasikan dalam sistem hukum negara dan kehidupan sehari-hari di masyarakat Muslim Indonesia. KH Asrorun Ni’am menjelaskan, “Untuk pertanyaan kedua ini di samping penetapan fatwa sebagai pedoman dan panduan bagi masyarakat, fatwa juga ditunjukkan untuk menjadi dasar di dalam pengambilan kebijakan publik khususnya yang beririsan masalah-masalah keagamaan. Makanya di samping proses ifta’ juga ada komitmen untuk proses tadwinul fatwa, proses kodifikasi dan juga penyerapan fatwa dalam norma hukum di tengah masyarakat. Norma hukum kenegaraan baik itu di level undang-undang, kemudian peraturan pemerintah, peraturan presiden, kemudian perda dan lain sebagainya. Ini penting di dalam kerangka menjalankan fungsi Majelis Ulama Indonesia sebagai khadimul ummah dan shodiqul hukumah, nah di dalam konteks negara demokrasi pembangunan kebijakan publik harus di dasarkan pada nilai, norma,dan juga pandangan mayoritas masyarakatnya dan di sinilah peran Majelis Ulama Indonesia untuk harus mengutamakan ketentuan hukum Islam di dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat”.
Di samping pembahasan fatwa-fatwa yang bersifat tertulis seperti yang dipahami publik selama ini Majelis Ulama Indonesia juga mendedikasikan untuk kepentingan khadimul ummah atau pelayan umat dalam memberikan tausiyah, memberikan nasihat, memberikan jawaban, memberikan konsultasi terkait masalah-masalah keagamaan.
“Ada call center kemudian ada ruang interaksi tanya jawab keagamaan, menyediakan waktu untuk kepentingan konsultasi keagamaan di kantor Majelis Ulama Indonesia dengan dilayani oleh para ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia,” kata Kiai Ni’am menjelaskan mengenai pertanyaan apa program MUI yang bersentuhan langsung dengan akar rumput. (Zulfikar Rakasiwi/Din)
Leave a Reply