■ Oleh : Dr Zainuddin SAg SH MH, Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Sulawesi Selatan, dan Dosen Hukum Ekonomi Islam Fakultas Hukum UMI Makassar
OPINI, muisulsel.com — Secara normatif, Islam dengan sumber rujukannya Al Quran dan Al Hadis memerintahkan kepada Umat Islam untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik.
Ayat yang memerintahkan untuk memakan makanan yang baik, yaitu makanan yang halal dan bermanfaat bagi kesehatan ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah (2) Ayat 168.Yang terjemahnya bahwa “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
Adanya perintah Allah Swt, dalam Q.S. Al-Baqarah (2) Ayat 168 di atas memberikan makna bahwa mengkomsusi barang halal dan baik merupakan bagian dari Syariah Islam.
Ali Musthafa Ya’kub memberikan 5 (lima) macam kreteria kepada suatu produk pangan yang dapat dikatakan halal, yaitu:
Makanan dan minuman tersebut thayyib (baik), yaitu sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa tidak menyakitkan dan menjijikkan,Tidak mengandung dhoror (bahaya),Tidak mengandung najis,Tidak memabukkan danTidak mengandung organ tubuh manusia.
Halal dan thayyib adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Halal diartikan adalah hal-hal yang tidak dilarang oleh syariat Islam.
Sedangkan thayyiban, setidaknya mencakup tiga hal pokok,
Statusnya halal,Tidak membahayakan badan, pikiran maupun jiwa, danLayak dan enak dikonsumsi.
Sementara thayyib artinya baik, baik dari segi gizi dan juga aman dimakan. Thayyib menjadi lawan kata dari khabits yang diartikan sebagai sesuatu yang rusak, buruk, atau tidak menyenangkan.
Karena itulah ia relevan menjadi lawan kata dari thayyib yang maknanya adalah baik atau menyenangkan.
Untuk menindaklanjuti perintah Allah Swt tersebut, Pemerintah Indonesia menyadari perlunya dasar yuridis untuk melegitimasi sebuah produk menjadi produk halal.
Salah satu cara yang dilakukan adalah sertifikasi halal melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Sertifikasi halal dalam sistem hukum nasional di Indonesia mempunyai kedudukan yang sentral, karena sertifikasi halal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan bagian dari sistem hukum.
Yaitu substansi hukum yang mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum serta bersifat imperatif.
Oleh karena itu, sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan konsumen.■ */bersambung
The post Urgensi Sertifikasi Halal Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat – 1 appeared first on MUI SULSEL.
Leave a Reply