■ Oleh : Mustari Mustafa, Guru Besar Filsafat UIN Alauddin Makassar
ARTIKEL, muisulsel.com — Saat ini kita berada dalam era yang kita sebut dengan berbagai nama, seperti : post-modern, revolusi industri 4.0, era digital, era Internet of Everything (IoE), yang diyakini akan menjadi masa depan industri jaringan dan teknologi komunikasi.
IoE sendiri diawali oleh Internet of Thing (IoT). Dalam konsep IoT, semua benda terkoneksi dan bisa “berkomunikasi” via jaringan internet.
IoE menyempurnakan konsep tersebut. IoE memungkinkan semua hal terkoneksi, mulai dari manusia, data, proses, dan benda-benda, semuanya terhubung via internet.
Era ini sering disalahpahami oleh manusia pasca modern karena melihat begitu kuatnya pengaruh internet yang kemudian menuding bahwa zaman berpikir atau zaman berfilsafat sudah berakhir, berpikir sudah terganti oleh browsing dan googling.
Dalam filsafat, memang ada sebutan bahwa filsafat sudah mati, yang dihubungkan dengan pengumuman Filosof Post Modern Friedrich Nieztsche bahwa tuhan sudah mati.
Kesalahpahaman terjadi karena “akhir” atau “kematian” yang dimaksud itu sebetulnya adalah cara-cara berfilsafat yang kadaluwarsa, tidak adaptif, dan terpaku pada satu mazhab (mazhab oriented).
Maka Filsafat atau Logos di era digital ini adalah berpikir yang mendalam (cogito), adabtif, terbuka dan moderat.
Sebenarnya di sini, kita menghadapi masalah yang lebih berbahaya daripada wacana-wacana tentang kematian Logos. Apakah kita masih berpikir mendalam di era serba internet ini ? Apakah arti berpikir di zaman kita ?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tapi ketika menggariskan apa tugas cerdas manusia sesudah diberi pengetahuan oleh Allah ta ‘alla, berarti kita sedang diharuskan untuk menemukan jawabannya.
Di dalam al Quran surat al Imran 190, Allah ta ‘alla antara lain menegaskan :
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.
Di dalam ayat yang lain, yaitu surat al Raad ayat 3, Allah ta ‘alla menegaskan :
فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang cerdas ialah orang yang mampu mengintrospeksi dirinya dan suka beramal untuk kehidupannya setelah mati. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah swt. dengan harapan kosong”.
Ayat maupun hadits seperti di atas, mudah kita hafal, bahkan—”ini berita baiknya”, mahasiswa-mahasiswa kita sudah pandai dan mudah meng-quotes ayat dan hadits ke dalam makalah atau skripsi-skripsi mereka.
Namun problem yang masih crucial dan fundamental ialah bagaimana memahami dan untuk apa memahami ayat dan hadis itu ?
Saya menemukan, umumnya-anak-anak kita terutama pada jurusan-jurusan non ushul al diin, baru sampai pada “menempel-nempel” ayat-hadits pada lembaran karya tulisnya.
Baca Juga: Kecerdasan di Era Digital. Bag 1
Kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa atau siapa pun, ini adalah kemampuan dan capaian sementara kita dalam menjalankan tugas kita di kampus ini, dan dengan kemauan untuk berpikir dan bertindak cerdas-lah yang kemudian akan meningkatkan capaiannya.
Dunia digital ini menuntut kita untuk beradaptasi dan bertransformasi secara cerdas. Adaptasi ini merupakan suatu proses yang dinamis terus-menerus yang mencakup respon mental dan tingkah laku dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan.
Berdasarkan kekuatan iman (spiritual), kematangan sosial, kematangan intelektual, dan kematangan emosional. Allah ta ,alla menyebutkannya sebagai berikut :
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر
Artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3).
Di akhir abad 20 filsuf dan sosiolog Prancis Jean Baudrillard telah bicara tentang “simulacra” yaitu kondisi kita saat ini, ketika realitas telah diganti dengan simbol.
Menurutnya, pengalaman kita – politis, ekonomis, psikologis, erotis – tidak lebih dari pada simulasi kenyataan. Teks video, gambar di internet membingkai atau merekayasa peristiwa seolah-olah terjadi. Kita berada di dalamnya.
Saat ini ketika sebagian besar orang menundukkan kepala melihat layer ponselnya, analisis Baudrillard tampak semakin terbukti. Isi Zoom, Whatsapp, Tik Tok, dan Twitter, terasa lebih real dari pada orang yang duduk di depan kita.
Kita menjadi gagap menghadapi kenyataan. Situasi pun makin parah manakala kita tidak mampu menakar dan memfilter isi media-media sosial yang bertaraf hoaks, berita palsu, atau foto gambar yang mendistorsi kenyataan yang hakiki.
Industri kebohongan akhirnya mewarnai ruang privat kita untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebencian timbal balik.
Jika fenomena ini tidak kita mengerti dengan baik dan ke-mengertian itu bertumpu pada ke-berpikiran secara substansial (menyentuh hakikat realitas), fundamental (menyentuh dasar realitas), dan radikal (menyentuh akar realitas) – maka kita sesungguhnya hidup dalam ke-tidak-mengertian, hidup dalam kepalsuan, atau semu.
Keunggulan manusia sejati ditandai oleh “berpikir” (hayawaanun natiq), Cogito ergo zum (Aku ada karena aku berpikir) sementara manusia palsu hanya menjadi pelayan atau robot media di tangannya sendiri – “Aku klik maka aku Ada” yang mendegradasi berpikir menjadi sekadar proses teknis, seperti browsing dan googling. Ini bisa sangat berbahaya..!
Bukan ini yang diwariskan oleh nabi dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan para nabi lain kepada kita. Para nabi dan rasul, meskipun ada Kekuatan dan Kekuasaan Allah swt. yang begitu dekat dengan mereka namun ketangkasan dan kecerdasan berpikir tampak ditonjolkan.
Kisah nabi Musa as. yang tercatat di dalam al Quran surat as Syuaraa ayat 23 – 29 patut menjadi referensi kita :
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.
قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُۥٓ أَلَا تَسْتَمِعُونَ
Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?”
قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ ءَابَآئِكُمُ ٱلْأَوَّلِينَ
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”.
قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ ٱلَّذِىٓ أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ
Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”.
قَالَ رَبُّ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَآ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ
Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”.
قَالَ لَئِنِ ٱتَّخَذْتَ إِلَٰهًا غَيْرِى لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ ٱلْمَسْجُونِينَ
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”.(*)
Jawaban-jawaban nabi Musa as. Ini membuat bapak angkatnya tidak berkutik secara logika, Firaun naik pitam dan hanya menunjuk penjara untuk menakut-nakuti pemimpin cerdas seperti nabi Musa as.
Logika cerdas nabi Musa as. merupakan warisan penting dan menuntun kita untuk bekerja keras dengan akal yang cerdas.(*)
*) Disampaikan/Khutbah Jumat, tanggal 21 Januari 2022 Di Masjid Agung UIN Alauddin Makassar, Samata Gowa.
The post Kecerdasan Era Digital appeared first on MUI SULSEL.
Leave a Reply