JAKARTA— Terdapat tiga hal yang menjadi dasar pembahasan dan penetapan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP).
Hal ini diungkapkan anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, dalam Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, di Aula Buya Hamka, Gedung MUI, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/2022).
Diketahui sebelumnya, KUHP mengenai hukum pidana yang masih digunakan di Indonesia, diluar pasal-pasal sektoral merupakan warisan dari penjajahan Belanda. Kemudian, pada 2015 lalu, DPR menginisiasi RKUHP untuk menggantikan KUHP warisan Belanda itu.
‘’Ketika kami membahas, sebagaimana kami membahas undang-undang yang lain. Terkait pembahasan dan putuskan, (dalam) konteks RKUHP yang kami bahas dan putuskan menyangkut tiga hal,’’ kata Arsul Sani
Pertama, kata Arsul, terkait dengan politik hukum penalisasi. Arsul menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan pembahasan mengenai apakah sebuah perbuatan itu masuk ke dalam pidana atau tidak.
‘’Terkait politik hukum penalisasi, saya tidak mengistilahkan kriminalisasi. Karena kriminalisasi konotasinya ada sebuah perbuatan yang tidak mempunyai pidana, tetapi dijerat pidana,’’ ujarnya.
Oleh karenanya, ungkap Arsul, pembahasan mengnai politik hukum penalisasi pembahasannya sangat penjang.
‘’Ketika kami berdebat apakah penyebaran ideologi Komunisme dan Marxisme perlu dipidanakan atau tidak, itu pertimbangannya panjang. Saya ingat soal itu saja, saya berdebat dua pekan di DPR,’’ jelasnya.
Kedua, papar Arsul, setelah politik hukum penalisasinya disepakati, maka yang perlu diperhatikan dan dibahas, yakni mengenai substansi pengaturan.
‘’Saya kasih contoh soal pemidanaan hukuman mati, apakah Indonesia akan mengikuti tren negara-negara demokrasi di dunia yang menghapuskan secara total terkait hukaman mati,’’ kata Asrul yang juga Wakil Ketua MPR RI.
Asrul mengungkapkan ada beberapa negara sahabat yang memberikan nasihat kepada DPR untuk mengahapuskan hukuman pidana mati secara total. Tetapi, tegas Asrul, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa pidana hukuman mati tetap dipertahankan.
‘’Maka perdebatannya substansi pengaturan. Apakah akan ditempatkan sebagai pidana pokok atau akan rubah posisinya. Maka yang disepakati bahwa pidana mati kita pertahankan, tetapi tidak lagi menjadi pidana pokok,’’ ungkapnya.
Wakil Ketua Umum PPP ini mengatakan, hukuman mati akan ditempatkan sebagai pidana khusus. Hukuman mati harus dijatuhkan oleh hakim secara alternatif.
‘’Apa alternatif? Maknanya kira-kira seperti ini, ada pasal yang mengatur pidana dengan hukuman mati. kemudian hakim menjatuhkan hukuman mati, maka yang bersangkutan akan menjalani dahulu hukuman penjara 10 tahun,’’ ujarnya.
Kemudian, jelasnya, selama menjalani hukuman penjara selama 10 tahun berkelakuan baik, melakukan taubatan nasuna, melakukan semua sebagai warga binaan yang baik, maka akan merubah hukuman mati, menjadi hukuman seumur hidup.
‘’Mempertimbangan konsep pemahaman dan perubahan, pemidanaan, kita bukan balas dendam, tapi memperbaiki orang,’’ tegasnya.
Ketiga, tutup Asrul, bagaimana merumuskan itu dalam redaksionalnya.
Kegiatan yang digelar Komisi Hukum dan HAM MUI ini membahas 14 isu yang dianggap krusial dan perlu kajian yang lebih mendalam dalam RKUHP di antaranya mengenai pidana mati, hukum yang hidup dalam masyarakat, dan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib.
Dalam kegiatan ini dihadiri sejumlah tokoh di antaranya Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Edward Hiarej, Wakil Ketua MPR yang juga Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, dan Ketua MUI Bidang Hukum dan HAM KH Noor Achmad. (Sadam Al-Ghifari, ed: Nashih)
Leave a Reply